ANOMI

Ada yang salah denganku.

Aku tidak tahu pasti perihalnya, mungkin hanya perasaanku semata.

Barangkali ini hanya sesuatu yang semestinya kuabaikan.

Tadi pagi, aku memutuskan kembali berenang di danau setelah mempertimbangkan banyak hal. Salah satunya, akhir-akhir ini aku seringkali melupakan sesuatu. Beberapa memori seharusnya terpatri berada dalam kepala. Namun, bila diri ini berusaha mengingat, tiada apa-apa padanya selain kehampaan.

Sepertinya aku hanya sedang gila.

Kekacauan bermula saat papa menelponku selepas sekolah. Tanpa perlu basa-basi bertanya kabar, beliau segera memaksaku untuk berkunjung ke rumah sakit jiwa tempat mama dirawat. Dalihnya ialah asumsi bahwa mama sudah menunjukkan kemajuan selama proses terapi.

"Semua sudah baik-baik saja, Sone." Ujar beliau dengan nada riang, "Mama juga membutuhkan dukunganmu agar sehat kembali."

Kendati ingat pasti sudah menjawab dengan penolakan, diri ini malah terlupa perihal yang terjadi setelahnya. Rasanya seperti tidur sembari berjalan. Malam itu, tetiba aku telah berada di kamar rawat mama, menatap wajah tirus beliau yang kian kuyu. Selantas terpaksa melempar seringai tipis walau enggan.

Netra kami saling bersitatap dengan canggung selama sekian detik.

"Sone." Papa meremas bahuku, "Ayo, peluk mamamu."

Aku mendongak, terpaksa mengambil langkah. Namun sesuai terkaan, diri ini segera mendapati serapah dan selemparan apel yang mengenai batang hidung. Amukan mama kembali tercungkil bersebab hadirku dan memaksa perawat untuk kembali mengamankannya di atas pembaringan.

Kendati kerap lupa, aku tidak pernah lupa bahwa mama tengah sakit. Wanita tua itu sedang menuai derita fana yang disemainya sejak hari pemakaman Lena. Begitu pula papa. Beliau terlalu menderita akan obsesi untuk mengembalikan mama pada kewarasan. Mungkin aku juga tidak ada bedanya, selain terlampau pandai menyembunyikan kerongsokan mental dibalik senyum bebal.

Kami bertiga sama-sama menderita. Penuh derita.

Sial, aku terlalu banyak mengulang kata.

Selain sering lupa, aku juga sadar bahwa sering mengulang banyak hal. Aku makan berulang kali. Aku mandi berulang kali. Aku tidur berulang kali. Aku juga didatangi ingatan yang sama berulang kali, dan itu membuatku semakin ingin terus lupa.

Selayaknya semalam aku kembali teringat hari ketika kami pergi liburan dengan bahagia, hari ketika kami menaiki kapal pesiar, hari ketika Lena merajuk ingin bermain di dek, hari ketika aku tanpa sengaja mendorong adikku itu hingga dilahap ganasnya lautan, hari ketika kami semua berduka setelah jasad Lena tidak bisa ditemukan oleh regu penyelamat.

Juga hari ketika mama mulai melampiaskan murkanya padaku.

Hari saat mulai mama berteriak, mencubit, menampar hingga menghantamkan wajahku ke tembok. Hal yang kuingat tentang hari itu hanyalah pandangan yang memerah, bau besi pada hidung dan suara makian yang berputar-putar di kepala.

Hari-hari buruk. Ingatan buruk.

Semuanya kian memburuk setelah anak-anak di kelas tahu perihal kecelakaan itu. Semula hanyalah penggunjingan dalam diam, tapi kian berlarut saat mereka mulai berani mendaulatku sebagai 'pembunuh' dan menorehkan berbagai cacian pada mejaku dengan bantuan tipp-ex.

"Lena mati gara-gara kamu."

"Mati sana, dasar pembunuh!"

"Awas, jangan membuat Sone marah."

"Pendosa masuk saja ke neraka!"

Mereka semua bangsat.

Berkatnya, diri berhasil terjerumus sebagai sosok pesakitan bertemankan senggukan tangis. Kemudian, aku memutuskan untuk berenang di danau demi meredam segala guncangan dalam kepala.

Sejak tragedi di kapal sialan itu, diri ini bagaikan memiliki ikatan dengan air. Cara air mengelilingi tubuh dan menghilangkan suara-suara bising di sekitaran, membuatku terbuai agar terus berada dalam rengkuhannya. Seolah aku mulai mengerti bagaimana detik-detik terakhir Lena sebelum merenggang nyawa.

Hening. Senyap. Nyaman. Juga mematikan.

Akan tetapi, aku seperti tahu cara menaklukkan air. Aku tahu cara membiarkan diri ini terapung, menyelam hingga nyaris menyentuh dasar danau. Atau hanya diam di dalam air, untuk mengetahui sampai batas mana diri ini bisa bertahan.

Air membuat Lena mati, tetapi air malah membuatku hidup. Itu yang kutahu.

Di dalam jernihnya air danau, aku bisa mendengar pikiran asliku. 16 tahun masa hidupku. Masa remajaku. Keluargaku. Impianku. Termasuk segala pengandaian yang aku ciptakan dalam angan selama ini.

Tidak ada pikiran buruk.

Namun, saat aku kembali ke permukaan, kenyataan menghantamku seketika. Lantas terbitlah hasrat supaya diri ini senantiasa berada di bawah air. Teringinkan untuk membiarkan air memenuhi setiap lubang hampa pada daksa, lantas membuatnya teralirkan dalam pembuluh darah. Aku ingin membiarkan air menghanyutkan diri ini menuju sisi lain, tempat yang tenang dan damai.

Tempat dimana aku seharusnya bisa terus berada dan tidak perlu kembali lagi.

Seperti halnya yang pernah diteriakkan mama saat ikut mendorongku hingga terjatuh dari atas geladak kapal, "Jangan pernah keluar dari air sebelum kau kembali bersama Lena!"

Besok, aku akan pergi berenang lagi.

Mungkin kali ini akan sedikit lebih lama, karena aku harus kembali menemukan Lena.

***

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top