48b. Kembali (2)
Tak lama kemudian, sebuah kelotok datang dari arah hilir. Penumpangnya tiga orang. Sepasang suami istri dan satu anak balita. Deka dan Urai melambai-lambai memanggil mereka.
Kelotok itu menepi. Penumpangnya keheranan menemukan dua orang yang berpakaian ala zaman dulu. Karena baju pemberian Tambi Dohong dicuci, Urai membalut tubuhnya dengan tapih pinjaman dari menantu Damang Batu. Sedangkan Deka bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek model kuno yang ia dapat dari Bue Dohong.
"Kak, kami boleh menumpang?" tanya Deka dengan sopan dalam bahasa Indonesia.
"Kalian dari mana?" tanya lelaki muda pemilik kelotok.
Deka senang karena orang itu juga menggunakan bahasa Indonesia. Berarti mereka benar telah kembali ke masa kini. "Kami tersesat. Ceritanya panjang. Kalau boleh tahu, desa apa di dekat sini?" tanya Deka lagi.
"Tumbang Anoi, Dek." Orang itu menunjuk kelokan sungai di arah hilir, dari mana kelotok itu datang.
Deka dan Urai saling pandang. "Tumbang Anoi?"
Orang itu mengamati Urai dan Deka bergantian. "Semalam, ada orang dari Banjarmasin mencari keluarganya. Apa itu kalian?"
"Siapa namanya, Kak?" tanya Urai.
"Aduh, saya lupa. Orangnya tidak terlalu tinggi. Kira-kira berumur empat puluhan."
"Om Dehen?" Urai seakan tak percaya.
Mata orang itu berbinar. "Nah, itu namanya. Dehen."
"Om saya masih di Tumbang Anoi?" tanya Urai lagi.
"Masih. Dia menginap di rumah kepala desa. Mari saya antar."
Urai dan Deka pun naik ke perahu. Pemiliknya memutar arah ke hilir hanya demi mengantar mereka.
"Terima kasih, sudah membuat Kakak repot."
"Sama-sama, Dek."
Perahu kecil bermesin satu bergerak lebih cepat dari perahu bertenaga dayung. Hanya membutuhkan waktu setengah jam, mereka sudah sampai di lanting belakang rumah Damang Batu.
"Sudah pernah ke sini?" tanya pemilik kelotok.
Deka dan Urai mengangguk. Mereka masih takjub pada tempat ini. Suasana zaman sekarang tentu saja sangat berbeda. Rumah-rumah tamu sudah tidak ada. Balai adat dan kompleks tempat rapat damai sudah tinggal tonggak-tonggaknya. Yang masih terpelihara bagus adalah betang Damang Batu. Dinding bangunan itu sekarang dicat rapi berwarna cokelat tua. Saat mereka tiba di samping rumah, tampaklah ukiran di tangga naik, sandung, dan sapundu telah diperbarui dengan warna-warni cerah. Halamannya pun dipugar dan diperkeras dengan pasir, serta diberi pagar keliling.
"Ya, ampun, Kodeka. Kita kembali ke tempat yang sama, tapi dalam kondisi yang sangat berbeda," ucap Urai dengan haru. Baru beberapa saat lalu, mereka berbicara dan bahkan makan bersama Damang Batu. Sekarang, tokoh besar itu hanya tinggal nama, namun warisannya terus dirasakan hingga saat ini.
"Rasanya seperti mimpi," ucap Deka. Suaranya dipenuhi rasa kagum. "Di tempat terpencil seperti ini, orang-orang dari seluruh penjuru Kalimantan datang dengan semangat perdamaian. Hebat nggak, sih?"
"Hebat banget!"
Deka sangat setuju. Semangat persatuan seluruh Dayak itu tetap dirasakan hingga hari ini. Biarpun Belanda menganggap rapat damai Tumbang Anoi sebagai penaklukan, tapi berkat semangat persatuan itu perlawanan terhadap penjajah terus berlanjut. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1919 berdiri Sarikat Dayak—di kemudian hari berganti nama menjadi Pakat Dayak—yang melanjutkan perjuangan mengangkat harkat dan martabat rakyat Dayak. Di masa perang revolusi, pejuang-pejuang Dayak bermunculan demi mengembalikan kedaulatan Republik Indonesia di Kalimantan dari tangan Belanda. Salah satunya seorang bernama Tjilik Riwut, pemimpin operasi terjun payung pertama AURI tahun 1947 di desa Sambi, Kotawaringin.
"Padahal di zaman itu, sebagian besar dari mereka belum kenal sekolah, loh," imbuh Urai.
"Nah, itu dia! Cuma berbekal niat yang tulus," ucap Deka lagi.
"Niat yang tulus dan disiplin dalam memegang janji," imbuh Urai. "Kalau orang-orang nggak setia pada janji, percuma aja bikin kesepakatan."
Deka mendengkus lirih dan tersenyum getir. "Sayang, di zaman kita, kesetiaan bisa dibeli, Rai."
Urai mencibir. "Nggak semua orang bisa dibeli juga kali!"
"Masa? Contohnya?" Deka balas menantang. Seperti biasa, alisnya terangkat, matanya melebar dan bibirnya mengerucut.
Urai menepuk dada. "Hatiku Kodeka! Hatiku nggak bisa dibeli!"
"Hilih, lihat aja nanti!" Deka melengos dan melanjutkan langkah menuju halaman depan.
"Apaan, sih?" gerutu Urai sambil menyejajari langkah Deka.
"Kalau dipikir lagi, aku merasa kecil dibandingkan Simpei, Pandih, Tilung, Riwut, Damang Batu, dan para pejuang itu," ucap Deka, lirih dan seperti ditujukan ke diri sendiri.
Urai menoleh karena tidak biasanya Deka bicara mendalam seperti ini. "Kamu mikir apa, Kodeka?"
Deka mengangkat bahu. "Ah, enggak. Aku jadi mikir apa yang bisa aku sumbangkan buat bangsa ini. Selama ini, aku cuma sibuk dagang dan mikirin diri sendiri."
"Wow, mantap! Otakmu ternyata sehat!" cibir Urai. Deka kontan membalasnya dengan desisan geram. Urai santai saja menanggapinya, cukup dengan tertawa kecil.
"Ngomong-ngomong, gimana nasib Jala dan Jojang? Apa mereka berdamai?" tanya Deka kemudian.
"Sepertinya begitu. Sebab menurut catatan sejarah, semua perselisihan antar suku diselesaikan dengan damai."
"Oh, benar. Aku cuma penasaran seperti apa penyelesaiannya. Semoga Jala dapat hukuman berat!"
Urai terkekeh. "Dendam amat sama Jala. Ada hubungan apa sih kalian?"
Deka hanya menjawab dengan mengedikkan bahu. Beberapa langkah kemudian, mereka sampai di halaman depan betang. Pemilik kelotok menghampiri ujung tangga naik yang mengarah ke pintu utama, lalu berteriak memanggil penghuni rumah. "Hooooi! Ada tamu!"
Seorang lelaki muncul dari pintu betang. Wajahnya langsung berseri saat menemukan Urai dan Deka di halaman. "Urai! Deka!" serunya, lalu menuruni tangga dengan cepat.
"Ooooom!" Urai berlari menghambur ke sang paman dan tanpa malu memeluknya. Setelah terlunta di hutan belantara, bahkan nyaris kehilangan nyawa, bisa melihat wajah lelaki itu di tempat ini terasa seperti keajaiban. "Kok bisa sampai sini, sih?"
"Setelah kalian tersedot portal, Om pulang ke indekosmu dan menemukan sisa beras ajaib yang kalian tinggalkan. Beras itu memberi petunjuk untuk mencari kalian ke sini."
"Oh, untunglah ada Om."
Dehen mengacak kepala keponakannya dan kaget menemukan tubuh yang penuh luka. "Hei, Deka! Kamu apakan keponakan saya?" serunya kepada Deka.
Deka ternganga. Belum sempat menyahut, Dehen sudah menuding wajahnya.
"Kamu harus tanggung jawab!"
Mata Deka lkontan melebar dan berbinar cerah. "Naaah! Dengar tuh, Rai! Aku harus tanggung jawab."
Urai pun melempar cibiran ke Deka. "Apaan, sih?"
Dengan semangat delapan enam, Deka mendekati Dehen. "Pak, kapan saya bisa datang ke orang tua Urai?" Deka langsung main tembak. Ia tidak peduli apakah waktunya tepat atau tidak. Hati dan hormonnya tidak bisa menunggu lebih lama untuk dinyatakan.
"Langsung saja, besok kita mampir di Kapuas," usul Dehen.
"Tuh, dengar!" tukas Deka sambil manyun panjang.
Urai melengos dengan wajah merah padam. "Dasar nggak peka! Nyebelin!"
Dehen memandang bergantian antara Deka dan Urai. Kedua orang ini selalu berdebat, tapi tidak mau berpisah. Agaknya, itulah cara mereka mengungkapkan rasa sayang.
"Ya sudah, Deka. Itu artinya dia mau kamu lamar," ucap Dehen sambil mengedip penuh arti.
Sudah pasti, hanya mulut Urai saja yang mengomel tidak jelas. Hatinya mengamini semua perkataan sang paman.
"Ayo kita naik ke betang," ajak Dehen, lalu mendahului mereka menaiki tangga. Sedangkan pemilik kelotok kembali ke sungai untuk melanjutkan perjalanannya yang tertunda. Tersisa Deka dan Urai di halaman luas itu.
Deka mendekat. Diraihnya tangan Urai. Ia lega, akhirnya tidak perlu mencari-cari calon pasangan. Petualangan ke masa lalu telah membuatnya yakin untuk menjalani masa depan bersama gadis berisik yang menggemaskan ini. Jujur, mata bulat yang bersinar cemerlang itu ternyata sangat enak dipandang. Apalagi saat menatap sambil terbengong seperti saat ini. Rangkaian kata yang semula terbentuk di kepala tahu-tahu menguap begitu saja.
Urai mendadak merasa panas dingin. Ia menunggu Deka mengatakan sesuatu, tapi sang junjungan malah tersenyum-senyum tidak jelas. "Ada apa, sih?" tukasnya.
"Enggak ada. Cuma ...." Deka mendekatkan mulut ke telinga Urai, lalu berbisik, "Aku beli hatimu dengan I love you sekebon!"
☆SELESAI☆
Sudah tamat cerita ini. Besok up Epilog.
Semoga terhibur 😊😍😊😍😊😍
Buat Sobat Romantis yang ingin memberi dukungan buat Fura, bisa mentraktir Kopi Penyemangat di Trakteer. Langsung aja cuuus ke tautan di di bio IG-nya Fura: nataliafuradantin
Terima kasih tuk dukungannya sehingga Fura bisa menghasilkan lebih banyak karya seru.
❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top