41b. Bujukan yang Gagal (2)


Urai mencuri pandang pada Deka. Jin apa yang merasuki lelaki ini sampai mendadak berubah peduli? Rasanya bukan Deka yang ia kenal, pemuda nyinyir yang selalu berusaha membuatnya cepat pulang setiap ia datang ke ruko.

Tahu Urai diam, Deka seperti mendapat angin. "Kalau sudah yudisium, aku datang ke rumah papamu, deh."

Alis Urai kembali tertaut. "Buat apa?"

"Buat melamar kamulah!" ucap Deka tanpa berpikir.

Kali ini, mata Urai membelalak maksimal. "Kamu beneran nggak peka, ya! Bisa-bisanya memikirkan lamaran di saat seperti ini? Kamu egois, Kodeka!"

"Loh, bukannya itu yang kamu mau?"

"Siapa bilang? Aku nggak mau!"

"Nggak mau gimana?"

"Nggak mau sama kamu! Nggak mau terima cintamu!" pekik Urai, lalu kembali membenamkan wajah di kedua paha.

Deka langsung menyesali kata-katanya. Ia hanya cemburu pada Riwut dan ingin Urai melupakan pemuda itu. Tak disangka, bujukan itu malah menjadi bumerang.

Nuraini tahu-tahu muncul dari arah hulu, lalu mendarat di jukung mereka. Dari haluan tempat bertengger, ia menjulurkan kepala ke buritan untuk menelisik kondisi Urai.

"Yah, nangis lagi anak orang," celetuk si Arwah Centil. "Kamu sih, nggak peka, Deka. Akhirnya ditolak, kan? Aku juga lelah mengejar cintamu."

Deka menggaruk kepala yang mendadak gatal di semua sisi. Ia memang belum keramas semenjak terlempar ke masa lalu, tapi pasti bukan karena itu rasa gatalnya tercipta.

Nuraini cuma singgah sebentar di jukung itu. Ia kembali melayang ke arah hulu.

"Hei, Nur! Nur!" panggil Deka. "Mau ke mana kamu?"

"Mau ikut Damang Batu. Aku sudah males ikut kamu."

"Damang Batu?" Urai mengangkat wajah saat mendengar nama itu.

Nuraini melayang kembali ke jukung. "Makanya, Neng, jangan mewek terus. Lihat-lihat sekeliling, dong."

Urai menoleh ke belakang. Ia tadi meringkuk terus sehingga tidak memperhatikan iring-iringan itu.

"Lihat di sana! Kapal Belanda itu mengiringi rombongan Damang Batu," tunjuk Nuraini.

"Riwut di mana? Kamu melihatnya?"

"Tentu saja! Mana mungkin kulewatkan wajah seganteng itu. Begini ya, Neng. Kamu boleh mengambil Deka. Aku ikhlas. Aku mau sama Riwut saja. Gimana, setuju?"

Urai tidak menanggapi pertanyaan Nuraini. Benaknya dipenuhi Riwut. "Dia selamat?"

"Bukan cuma selamat. Itu, dia sehat walafiat!"

Nuraini kembali menunjuk ke arah hulu. Jauh di sana, sebuah jukung yang dikayuh lima orang prajurit Punan meluncur ke arah hilir. Seseorang berdiri di haluan, melambai-lambai dan meneriakkan nama mereka.

"Uraaaaai! Dekaaaa! Cepat kembali ke huluuuuu!"

Wajah Urai seketika semringah saat tahu siapa pemuda ber-ewah merah itu. "Riwut?" Senyumnya terkembang. Ia langsung berdiri dan balas melambai. "Riwuuuut!"

Melihat sambutan hangat Urai untuk Riwut, Deka terpaksa menelan rasa cemburu. Ia ingin mencegah Urai, namun takut dikatakan egois lagi. Nuraini sampai terkikik-kikik melihat wajah masam itu.

"Dia sudah punya gebetan baru, Deka. Kecian deh lu!" Nuraini menggerak-gerakkan jari telunjuk yang membesar seukuran buah terong di depan hidung Deka.

"Diam!" semprot Deka.

Tak lama kemudian, jukung Riwut menepi di samping jukung Deka. Pemuda itu dengan lincah meloncat, lalu berjongkok di depan Urai tanpa menghiraukan Deka. Junjungan Urai itu dibiarkan menunggu lalat di haluan.

Urai menyambutnya dengan tetesan air mata. "Riwut, aku senang kamu selamat."

"Aku juga. Dulu kukira kalian tertangkap orang Punan. Aku tidak menemukanmu di tempat pengungsian."

"Kami berhasil kabur berkat kamu. Kamu yang menahan orang-orang Punan di tepi sungai itu?"

Riwut tersenyum sambil mengangguk. Mata mereka beradu sejenak tanpa kata. "Aku dan Siun."

"Keluargamu selamat?" tanya Urai lirih. "Siun berhasil kamu bebaskan?"

Raut wajah Riwut meredup. "Siun selamat, tapi bapaku dan Datu Penyang tidak."

Urai terbayang peristiwa ketika Deong jatuh dan kejang di depan matanya. Diam-diam, ia ingin melingkarkan lengan di tubuh Riwut, namun tidak berani melakukannya. "Aku turut berduka."

Senyum Riwut kembali terkembang. "Terima kasih. Kalian ke mana saja selama ini?"

"Ke mana-mana! Kamu tahu? Kami tersesat di tengah rawa. Setelah itu, kami malah dikejar Marsose," lapor Urai.

"Marsose? Kenapa kalian sampai berurusan dengan Marsose?"

"Ceritanya panjang!"

"Aku tidak keberatan mendengarnya, biarpun harus terjaga sepanjang malam."

"Masa? Kamu nggak capek setelah berkelahi tadi?"

"Berkelahi? Kedengaran seperti bocah kecil. Itu tadi pertempuran, Urai."

"Ah, iya! Terima kasih banyak. Kamu menyelamatkan nyawaku."

Wajah Riwut memerah. Untuk sejenak, matanya terkunci pada wajah Urai. Debar itu kembali tercipta dan bertukar dari dada ke dada.

Melihat adegan berbahaya itu, Deka tidak tinggal diam. Ditepuknya pundak Riwut. "Bro! Ngapain kamu ke sini?"

Riwut menoleh dan menjadi geli melihat mulut Deka yang manyun dan matanya yang membulat. "Kamu cemburu? Aku cuma menyampaikan pesan. Kalian dipanggil Damang Batu."

☆Bersambung☆

Jangan lupa memberi bintang, komen, dan share 😊😊😊

Tindakan sepele bagi Pembaca, tapi sangat bermanfaat bagi lapak ini buat menghasilkan karya-karya yang seru.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top