28b. Minyak Oles(2)
"Aku akan merebus jamu buatmu, Rai," kata Jala. Melihat kedua rekannya mulai berkelahi bak pasangan suami istri, Jala tahu diri. Pemuda itu segera meloncat keluar sampan sambil membawa kuali dan bahan jamu.
Sepeninggal Jala, kabin hanya dihuni Deka dan Urai. Gadis itu duduk di belakang Deka untuk mengolesi luka-luka di leher dan punggung dengan minyak.
"Minyak apa itu?" tanya Deka. Sebenarnya, ia tidak sungguh-sungguh ingin tahu. Mulutnya hanya berniat mengisi kesunyian aneh yang membuat suasana canggung.
"Kata Tambi Dohong, minyak ini dibuat dari lemak bulus dicampur empedu ikan. Katanya bagus untuk obat luka-luka," jawab Urai.
Sungguh aneh, saat berdekatan berdua begini, suara Urai terdengar lembut bagi telinga Deka. "Empedu ikan apa?" tanyanya, sekadar ingin merasakan getaran suara dari belakang sekali lagi.
"Nggak tahu. Aku lupa menanyakannya." Suara Urai semakin lirih, namun getarannya menerpa semakin kuat ke jantung lelaki di depannya.
Sejenak, keduanya terdiam. Deka semakin menikmati sentuhan-sentuhan ringan di kulitnya. "Rai?" panggilnya lirih.
"Hm?" gumam Urai.
Debaran di hati Deka semakin merajalela. "Rai?" Nama itu meluncur begitu saja dari bibirnya.
Urai mengerutkan kening dan menatap Deka lekat-lekat. "Apa?"
Sekarang, Deka kelabakan mencari jawaban. Ia tidak tahu harus bicara apa, sungguh!
"Aku minta maaf untuk kejadian di sungai tadi. Aku nggak bermaksud begitu." Akhirnya ide satu ini menyeruak dalam benak.
Urai sedih. Padahal jauh di dalam hati, ia lebih senang Deka "bermaksud begitu". Tapi bila mengingat Deka mati-matian menjaganya, ia yakin lelaki ini peduli padanya.
"Iya, nggak pa-pa. Aku yang harus berterima kasih. Kamu sudah menjagaku selama tiga hari ini."
"Sama-sama," balas Deka.
Suasana kembali hening. Selesai mengoleskan minyak ke leher dan punggung, Urai berpindah ke hadapan Deka. Jemarinya terulur ke lecet-lecet dan lebam di bagian dada dan perut. Mata Deka otomatis mengekor ke mana pun jari itu bergerak. Lalu, jantungnya kembali gaduh, berdenyut tidak karuan. Otaknya lagi-lagi berubah liar, membangun ilusi Urai yang meringkuk dalam dekapan.
Astaga, apa aku segila ini? rutuk batin Deka sambil mengalihkan pandangan ke hutan di sisi sungai. Baru berdekatan dengan Urai tiga hari dua malam, hormonnya menggelegak. Perlu beberapa kali mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya agar deru itu reda.
Ya, ampun! Aku harus banyak-banyak meditasi setelah ini.
Urai tiba-tiba mendongak sehingga tatapan mereka berserobok. Sekali lagi, terjadi kegaduhan dalam hati Deka. Napasnya sampai terhenti sejenak.
"Sudah selesai," ucap Urai. Senyumnya merekah sangat manis.
"Makasih."
Deka mengenakan kembali bajunya sambil menghindari tatapan Urai. Ia mulai merasa tubuhnya berkhianat. Mengapa harus dengan Urai saraf-sarafnya bereaksi? Gadis model begini tidak pernah ada dalam daftar kriteria calon pasangan. Ia ingin istri yang ayu, anggun, dan lemah lembut. Kalau bisa seperti Puput, istri Jata[1]. Bukan cewek kijil, ribut, dan berani mengejar lelaki seperti ini. (centil, kenes – bahasa Banjar)
Ia memang sempat ketakutan saat Urai pingsan terkena upas. Ia juga melindunginya dari serangan Marsose. Namun, itu hanya karena kewajiban seorang lelaki pada teman seperjalanan yang kebetulan lebih lemah. Bukankah seharusnya seperti itu? Ia tidak sedang jatuh cinta, bukan?
Amit-amit! Deka pun bangkit untuk menjauhi Urai. "Aku mau membantu mereka di bawah. Kalau kamu capek, istirahat aja di sini."
Urai bisa merasakan sikap menjauh Deka. Diam-diam hatinya kecewa. Biarpun begitu, ia tetap mengikuti junjungannya turun ke tepi sungai untuk membantu menyiapkan makan malam.
_____________
[1] Kisah Deka dalam kemelut rumah tangga Puput dan Jata tak kalah seru. Mampirlah di Percobaan 44. Dalam kisah ini, Deka menjadi teman Puput. Eits, jangan salah sangka dulu. Deka tidak menjadi pebinor dalam kisah itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top