2. Angin dari Jauh
Nuraini Bungas—gadis berdarah campuran Dayak Kapuas dari Kalimantan Tengah dan Dayak Meratus dari Kalimantan Selatan—tidak mau bergeser dari tempatnya berdiri walau telah disuruh pergi oleh Deka.
"Kamu serius usir aku?" tanya Urai sekali lagi. Binar mata yang semula cemerlang, kini meredup.
Deka berdecak keras. Jari telunjuknya menuding ke langit Banjarmasin yang biru dan dihiasi gumpalan awan di sana-sini. "Itu, lihat sendiri di atas sana!"
Urai mendekat ke pagar balkon. Dengan badan menyandar ke besi pengaman itu, ia mendongak mengikuti arah telunjuk Deka. Mata bulatnya segera memicing, silau akibat menghadang sinar matahari. "Ada apa?"
"Ada yang mau datang. Kamu kan gampang kesurupan. Aku takut kamu terkena imbasnya."
Urai masih mendongak sambil mengedarkan pandangan ke arah kiri dan kanan. "Apa, apa? Mana benda yang mau datang?"
"Lihat baik-baik di posisi jam sebelas. Ada benda halus berwarna putih di situ."
Urai semakin penasaran. "Yang itu?" Ia menuding segumpal awan. "Perasaan itu awan biasa aja, deh."
"Nah, tepat sekali! Benda halus putih." Deka menyeringai lebar sambil bergerak kembali ke ruang tengah.
"Kodeka!" pekik Urai. "Kamu bohongi aku lagi!"
Deka tidak menggubris. Sambil terkekeh-kekeh, ia mempercepat langkah melintasi ruang keluarga menuju tangga. Kehadiran Urai memang membingungkan. Entah hubungan apa yang mereka jalani saat ini. Bila dikatakan berteman, kenyataannya mereka selalu beradu mulut setiap bertemu. Dikatakan bermusuhan pun tidak cocok. Buktinya Deka tidak sanggup menghalangi gadis itu untuk datang, lagi dan lagi.
"Kodeka! Kamu mau ke mana?"
"Kerja lah! Aku harus cari makan."
"Terus aku ditinggal sendiri di sini?" protes Urai dengan nada memelas.
Mendengar rajukan Urai, Deka menghentikan langkah dan membalikkan tubuh. Ditatapnya lekat-lekat gadis mungil bertubuh padat di hadapan. "Maksudnya apa, ya? Pacar bukan, saudara juga bukan. Kenapa aku harus mengurus kamu?"
Urai tidak menjawab. Hanya saja, semua onderdil wajahnya mengumpul ke tengah, merengut maksimal. Bukan sekali dua kali Deka sarkastis seperti ini. Namun entah mengapa, ia tidak jera untuk kembali datang menemuinya. Sosok Deka yang ramping serta wajahnya yang dihiasi hidung runcing dan bibir merah basah telah menjadi candu.
"Udah, jangan nangis. Bu Minah udah masak. Makan situ, terus cepat pulang!" perintah Deka sambil menuding piring lauk di meja makan.
Urai tersenyum lebar. "Temani makan!"
"Dih!" cibir Deka. "Nggak sekalian aja minta disuapi?"
"Suapi!"
Deka mendelik kesal. "Disuapi pakai sekopkah?"
Deka kembali menderap menuju tangga. Maksud hati ingin secepatnya melarikan diri dari gadis pembuat onar itu. Baru selangkah menapaki anak tangga, embusan angin asing kembali menerpa tubuhnya. Padahal tak ada jendela yang dibuka.
Deka kontan membeku di tempat. Angin ini serupa dengan yang menghilang tadi. Rasa was-was akan keselamatan Urai kembali menghantuinya. Sudah tidak ada waktu lagi untuk menyuruh gadis itu pergi. Satu-satunya jalan adalah berada di sisinya.
Deka kembali ke meja makan dan duduk di hadapan Urai. Gadis itu kontan meringis semringah. Dengan semangat delapan enam, diambilnya piring dan menyendok nasi serta lauk untuk pemuda itu.
"Udah cukup segitu aja nasinya. Kamu pikir aku kuli?" cetus Deka.
"Iya, Kodeka. Silakan makan," ucap Urai dengan nada lembut yang dibuat-buat.
"Jangan cengar-cengir! Cepat dihabiskan lalu pulang!"
Urai mengangguk-angguk. Deka memang aneh. Selalu mengajak bertengkar, tapi tidak benar-benar berniat bermusuhan.
Keduanya menyantap makan siang dalam diam. Tanpa diketahui Urai, Deka diam-diam membuat bola perlindungan di sekeliling mereka. Hanya energi positif yang bisa keluar masuk menembus bola ajaib itu. Ia kerap melakukan hal seperti ini saat merasa ada yang kurang beres.
Angin gaib itu kembali berembus. Kali ini alirannya tertahan oleh bola perlindungan sehingga hanya berputar-putar di sekeliling mereka.
Dekaaaaaa ...!
Tiba-tiba, terdengar suara desahan sayup-sayup menyeruak bersama aliran angin. Mau tak mau, panggilan gaib itu menghentikan Deka mengunyah. Cowok ganteng itu menajamkan indra untuk mencari sumber suara.
Tak ada apa pun. Angin yang semula berpusing di sekeliling bola perlindungan menipis, lalu lenyap. Merasa kondisi telah tenang kembali, Deka melanjutkan makan hingga nasinya tersisa separuh.
Dekaaaaaa ...! Tolong akuuuuuu ...!
Kini suara itu terdengar nyaring dan sangat dekat. Seolah diteriakkan ke telinga Deka. Deka terkesiap. Nasi yang baru saja ia suap terhenti di tenggorokan. Sial! Ia tersedak tanpa ampun.
"Minum ini!" Urai sigap menuang air putih dan memberikannya kepada Deka.
Dengan terbatuk-batuk parah hingga mukanya merah, Deka menggapai gelas. Air dingin itu ia tenggak cepat-cepat. Perlu beberapa kali teguk sebelum batuknya mereda.
"Nuraini? Ngapain kamu datang?" tanya Deka melalui batin setelah napasnya kembali normal.
Tak ada jawaban.
Tiba-tiba angin dari dunia lain berembus kembali, lalu menerjang wajah lelaki itu. Deka terjingkat kaget dan langsung berdiri. Kursi makannya sampai terjatuh. Urai ikut tegang melihat kejadian itu.
"Kodeka, ada apa?"
Deka memberi isyarat dengan telunjuk. "Ssst! Diam!"
Urai pun membeku di kursi. Diam-diam ia menyesal tidak menuruti Deka untuk segera pulang. "Ma-maaf."
Dengan mata batin yang siaga, Deka memindai seluruh sudut ruang. Tetap saja tak ada petunjuk yang ditemukan. Sial! rutuknya. Siapa yang coba-coba bermain-main denganku kali ini?
Menjadi indigo itu sama sekali tidak enak. Salah satunya bila diganggu hal-hal gaib seperti ini. Kepada siapa ia harus minta tolong?
"Hei, Nuraini! Jangan mengganggu aku!"
Arwah Nuraini muncul kembali dan terlihat riang.
"Deka sayangkuuuuh! Kenapa panggil-panggil aku? Aku udah move on, kenapa kamu enggak?" Jiwa berupa arwah cantik itu muncul dari arah lain.
"Heh, arwah jadul juga paham move on?"
"Hih! Jadul? Aku abadi Deka! Jadul nggak berlaku buatku! Aku suka nguping kids zaman now, loh. Termasuk nguping kamu dan dia!" Sebuah telunjuk besar muncul di udara, mengarah ke Urai. Sementara itu, Nuraini terkikik panjang tanpa menunjukkan batang hidung.
"Jangan main-main lagi dengan kekuatan kegelapan, Nuraini! Apa yang kamu perbuat barusan?!" Deka mendelik maksimal.
"Apa? Itu bukan aku!" bantah Nuraini. "Kalau aku, buat apa panggil-panggil? Aku bisa langsung datang dan ... begini!" Tahu-tahu arwah cantik itu muncul dan berusaha mengecup pipi Deka yang putih dan mulus. Tapi karena ada bola perlindungan, makhluk itu terpental ke belakang sambil mengaduh nyaring.
"Jih! Cuih!" protes Deka, tidak terima disosor. "Jangan menjarah pipiku!"
Nuraini terkikik. "Kan kamu sendiri yang panggil aku Nuraini Sayangkuh! Sejak itu kamu jadi milikku, Ganteng!"
"Jangan mimpi! Ayo jelaskan, makhluk apa yang baru aja datang ke sini?" tukas Deka.
Nuraini tidak menjawab, malah menuding Urai. "Tuh, jawabannya di situ!"
Deka berpaling ke Urai. Seketika lemas tungkai-tungkainya. Gadis manis itu duduk kaku dengan mata menatap nanar ke langit-langit.
Ya, Sang Hyang Widhi! Tolonglah hambamu ini! Jangan sampai dia kesurupan lagi!
Benar saja. Angin asing tadi berembus kembali. Urai langsung roboh, menggelepar di lantai. Mulut mungilnya meneriakkan suara serak yang seperti berasal dari dunia lain. Bulu kuduk Deka meremang seketika. Sementara itu, Nuraini terpekik ketakutan, lalu kabur dari situ.
"Deeee-kaaaaa! Tooo-loooong akuuuuuh!"
💕💕💕
Halo, Sobat Pembaca.
Ketemu lagi dalam kisah Deka dan Urai. Jenisnya paranormal berbumbu isekai dan berlatar sejarah.
Cerita ini akan update rutin 3x seminggu mulai tanggal 1 April 2022.
Tapi kalau baru khilaf bisa ditambah kok updatenya hehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top