14a. Menyelamatkan Diri
Urai cepat-cepat mengeringkan air mata dengan kedua tangan. Masih dengan pikiran kalut akan nasib Riwut, ia mengenakan sneakers-nya, lalu berlindung di balik punggung Deka. Celah di antara dua tumpukan kayu bakar itu berada di ujung bangunan betang yang untungnya belum dilalap api. Posisi itu untuk sementara bisa melindungi mereka dari pandangan musuh, namun bila api menyambar tempat itu, mereka akan segera menjadi daging panggang.
Sementara itu, pertempuran di dalam betang sebagian telah beralih ke halaman. Api dengan cepat melalap atap dan dinding bangunan sehingga memaksa kedua belah pihak untuk menyelamatkan diri. Biarpun begitu, perkelahian tetap berlanjut dengan sengit. Suara-suara pukulan dan denting mandau yang saling beradu bercampur aduk dengan raungan dan erangan. Tubuh-tubuh yang kalah berjatuhan dari lantai rumah yang tingginya lebih dari tiga meter. Hawa kematian memenuhi udara malam. Urai sampai menutup kedua telinga karena tidak tahan mendengarnya.
Jala memindai daerah sekitar. Saat merasa kondisi aman, ia memberi kode kepada kedua rekannya. "Saatnya lari ke balik kandang itu," bisiknya. Setelah berkata begitu, ia melesat dengan cepat ke balik kandang. Dari tempat yang remang-remang itu, ia melambai, menyuruh Deka dan Urai segera menyusul.
Deka pun menarik tangan Urai keluar dari celah timbunan kayu bakar. Mendadak, Jala berteriak dan dengan panik menyuruh mereka kembali.
"Awas! Awas!" serunya sambil menunjuk ke arah atas.
Ternyata sebidang dinding yang terbakar runtuh, lalu meluncur ke bawah, ke tempat Deka dan Urai berdiri. Di detik yang kritis itu, Deka sempat mundur kembali ke dalam celah. Mungkin nyawa mereka masih mendapat perlindungan dari Sang Pemberi Hidup. Namun, runtuhan itu menutup jalan keluar dan mulai menyulut kayu bakar. Deka dan Urai terpaksa mencari jalan keluar lain.
Masalah muncul kembali. Celah itu ternyata buntu. Mereka kini terjebak di dalam dan timbunan kayu bakar yang sebentar lagi ikut membara.
"Rai, kita harus menyingkirkan kayu bakar ini!" perintah Deka. Ia mulai mendorong dan menendangi kayu-kayu itu sekuat tenaga. Urai ikut membantu walau tenaganya tidak seberapa. Malang, timbunan itu ternyata terlalu tebal untuk diruntuhkan. Sepertinya, kayu-kayu itu memang sengaja disusun seperti benteng kecil untuk melindungi orang yang bersembunyi di dalamnya.
Untuk beberapa saat, keduanya berusaha keras membobol tumpukan kayu. Mereka sampai berkeringat. Sementara itu, di ujung celah, api mulai membesar, menghasilkan panas dan asap yang membuat napas sesak.
"Hadeh, berapa banyak sih mereka menumpuk kayu-kayu ini?" keluh Deka. Ditengoknya Urai. Gadis itu mulai batuk-batuk dan matanya berair. Namun, ia tidak terlihat patah semangat.
"Ayo, tendang lagi, Kodeka!" seru Urai, sambil terus mendorong bilah-bilah kayu sekuat tenaga menggunakan talawang. Melihat Deka tertegun menatapnya, ia hanya meringis lebar. "Semangaaat!"
Deka hanya bisa berdecak. Bisa-bisanya dia cengegesan. Ini anak nggak tahu kita bisa mati di sini!
Tentu saja, Deka hanya menggerundel di dalam batin. Sejujurnya, ia membayangkan harus membujuk Urai yang ketakutan atau bahkan panik. Ternyata dirinya malah disemangati.
Dasar cewek nggak paham bahaya!
Asap semakin menebal, namun celah itu tak kunjung terbuka. Batuk Deka dan Urai pun semakin parah. Mereka bahkan kesulitan mengambil napas.
Byurr!
Sebuah guyuran air mengenai api di ujung celah dan membuat sebagian kecil api padam. Wajah Jala muncul di balik asap. "Cepat keluar!" serunya.
Siraman itu hanya memadamkan api sebentar. Beberapa detik kemudian, api berkobar lagi. Jala berlari lagi ke seberang, lalu datang membawa batang kayu tempat minuman babi. Sekali lagi, ia menyiram kobaran api. Kali ini cairan itu pekat seperti lumpur sehingga berhasil membuat sebagian api di mulut celah padam lebih lama.
Jala menerobos ke dalam celah. Deka dan Urai yang mulai lemas, ditarik keluar secepat mungkin. Kedua orang itu ambruk di halaman sambil terbatuk-batuk.
"Ayo cepat berlindung!" pekik Jala.
"Hi-hi-yah ...." Deka terengah, berusaha menormalkan napasnya sambil bangkit. Jala membantu Urai berdiri. Baru akan melangkah, sebuah bunyi berdebum terdengar tepat di samping mereka.
Melihat apa yang jatuh dari atas betang, mereka tak sanggup berteriak. Tubuh itu ternyata sang tetua betang, Deong. Sebuah senjata tajam telah membuat sayatan panjang dan dalam di dada lelaki itu. Ia sempat kejang sebentar, kemudian diam tak bergerak.
Belum sempat Deka dan Jala pulih dari kekagetan, seorang pemuda bertubuh gempal melesat ke arah mereka sambil mengayunkan mandau. Beruntung Jala sigap melindungi mereka dengan talawang kayu yang diambilnya dari dinding betang tadi. Benturan mandau dan talawang menimbulkan bunyi yang nyaring. Tenaga pemuda itu ternyata sangat besar. Talawang Jala sampai bergetar keras dan membuat tangannya kesemutan.
Penyerang itu kini menendang sekuat tenaga. Jala tak sanggup menahannya. Tubuh ramping itu terpental sehingga bagian depan badannya tak terlindungi oleh talawang lagi. Si penyerang mengayun mandau untuk kedua kali. Mata Jala terbelalak saat ujung senjata itu menderu ke arah lehernya. Mungkin inilah akhir riwayatnya.
Riun .... Panggilan rindu itu mendesah lirih dari mulut Jala, terbang terbawa angin malam ke dalam kelamnya hutan.
☆☆☆
Jangan lupa voment yak
😍😍😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top