10a. Rapat

Ada sesuatu telah terjadi sore ini. Beberapa lelaki, termasuk budak pembawa ubi tadi siang, menurunkan rotan-rotan ke sungai dengan tergesa, lalu mengangkutnya ke sampan-sampan. Deka dan Jala tertahan di lanting karena disuruh membantu mereka. Mata batin Deka yang peka segera menangkap adanya masalah saat tahu rotan-rotan itu diangkut ke arah hulu, bukan ke hilir. Padahal bila ingin menjualnya, seharusnya mereka membawa barang berharga itu ke hilir, yaitu ke Kuala Kapuas atau ke Banjarmasin. Walau hanya sedikit mengerti bahasa Dayak Ngaju, Deka bisa menduga bahwa mereka mengamankan barang dagangan itu ke suatu tempat tersembunyi agar tidak dijarah musuh.

Dugaan akan adanya serangan itu semakin menguat saat mereka kembali ke rumah. Alih-alih disuruh kembali ke gubuk, mereka disuruh naik ke betang. Begitu naik melalui tangga samping, Deka sejenak menahan napas. Ada dua lelaki dan dua remaja tengah mengasah belasan mandau dan mata tombak di teras rumah. Pemandangan itu saja sudah membuat bulu kuduk Deka berdiri semua.

Suasana mencekam berlanjut sampai ke dalam rumah. Ruangan tengah itu remang-remang karena hanya diterangi lampu minyak di beberapa titik. Deka baru kali ini melihat bagian dalam betang. Ternyata lebih luas dari dugaannya. Rumah panggung—yang didirikan di atas tiang-tiang kayu yang tingginya hampir dua meter—itu sangat panjang. Bagian tengahnya kosong dari ujung ke ujung. Ruangan los itu diapit deretan bilik yang jumlahnya belasan. Dinding ruang dihiasi tulang dan tengkorak hewan buruan. Di salah satu sisi, bahkan tergantung tengkorak manusia. Bisa dipastikan tengkorak itu hasil mengayau di masa lalu.

Beberapa orang duduk bergerombol di ruangan los itu. Tetua betang berada di tengah ruang bersama tamu yang datang sore tadi. Mereka dikelilingi beberapa lelaki. Deka sempat menangkap wajah-wajah tegang yang berbicara dengan nada keras. Hatinya ikut ketar-ketir. Situasi saat ini terasa sangat genting.

Pemuda yang menjaga mereka di sungai menyuruh Deka dan Jala bergabung dengan kelompok yang duduk di dekat pintu samping, yaitu ujung ruangan los yang menghadap ke arah sungai. Di ujung ini terdapat dapur besar. Aroma masakan tercium dari situ. Sepertinya, mereka tengah memanggang babi hutan hasil tangkapan tadi siang. Urai berada di situ bersama para wanita. Ia tengah dipekerjakan sebagai tukang masak.

Sudah ada beberapa pemuda dan anak-anak berkumpul di tempat itu. Mereka tengah membuat senjata. Sebagian meruncingkan bambu dan kayu panjang sebagai tombak. Sebagian lagi mengikat mata tombak dari besi pada ujung sumpitan, yaitu kayu panjang berdiameter 3 cm yang di dalamnya dilubangi. Senjata itu digunakan dengan meniup anak sumpitan, yaitu jarum panjang dari bambu. Senjata itu digunakan untuk berburu binatang di hutan. Selain itu, sumpitan juga ampuh untuk membunuh musuh diam-diam karena benar-benar bekerja secara senyap tanpa suara. Dengan mata tombak itu, maka sumpitan sekaligus berfungsi layaknya bayonet, bisa digunakan untuk menusuk tubuh lawan.

Orang-orang Belanda dan Inggris sangat kesulitan menguasai pedalaman Kalimantan karena tradisi melindungi teritori orang Dayak yang kuat. Prajurit-prajurit perang Dayak seperti hantu, tahu-tahu muncul dan membunuh, lalu lenyap tanpa bekas. Kemampuan itu sebagian karena senjata sumpitan yang senyap. Sebagian lagi, menurut desas-desus, karena yang datang dan menebas leher musuh hanya mandau. Sedangkan orang yang mengendalikannya berada jauh dari lokasi.

Deka dan Jala duduk di pojok ruang. Keduanya disuruh membuat anak sumpitan. Batang-batang bambu dipotong dan diruncingkan. Dibantu penerangan lampu minyak, mereka menghaluskan bilah bambu agar licin. Bagian ujungnya diberi pemberat berupa gabus. Sebagian lagi dipasangi bulu burung agar lebih stabil saat anak sumpitan itu melayang di udara. Setelah selesai, ujung jarum bambu itu dicelupkan ke dalam cairan beracun yang disebut upas, yaitu sejenis racun saraf. Mereka membuat upas dari getah pohon ipoh yang diolah dengan beberapa daun tumbuhan beracun lain. Rupanya, orang Dayak zaman dulu telah mempraktikkan ilmu toksikologi.

Mereka membuat banyak sekali anak sumpitan. Jumlahnya beratus-ratus. Puluhan batang tombak juga telah selesai dibuat. Batang-batang itu ditumpuk di sudut lain ruangan los. Benar-benar persiapan perang yang masif.

"Mereka akan berperang dengan siapa?" bisik Deka pada Jala. Sudah pasti, orang yang diajak bicara hanya melongo saja. Akhirnya Deka menggunakan bahasa tubuh untuk menjelaskan. Deka mengangkat telapak tangan kiri. "Nih!"

Lalu telapak tangan kanan. "Ini."

Setelah itu ia menabrakkan kedua tangan itu dengan keras. Tangan kanannya bergerak ke leher, membentuk gerakan menggorok. Sesudah itu Deka membuat mimik bertanya dengan mulut terbuka dan kedua telapak tangan menghadap atas.

Jala ternyata cukup cerdas. Setelah mengangguk kecil, ia menepuk telapak tangan kanan Deka. "Uluh Kahayan." (Orang Kahayan, yaitu suku-suku yang tinggal di daerah aliran Sungai Kahayan)

Lalu menepuk tangan kiri Deka. "Uluh Kapuas." (Orang Kapuas, yaitu suku-suku yang tinggal di daerah aliran Sungai Kapuas)

Mulut Deka kontan membulat membentuk huruf O. "Astaga! Orang Kahayan musuhnya!"

Deka teringat bahwa pembagian wilayah dan penyebaran suku-suku di Kalimantan mengikuti aliran sungai. Beda sungai, maka beda suku dan beda pula bahasanya. Bisa dipahami mengapa mereka sulit berkomunikasi satu sama lain. Kondisi itu diperparah dengan tradisi ngayau-asang-bunu-jipen, yaitu memenggal kepala musuh, menyerang, membunuh, dan memperbudak.

Deka mendadak berkeringat dingin karena pikirannya diselimuti kekhawatiran. Mereka tidak boleh terjebak dalam perang antar suku ini. Salah-salah, nyawa mereka bisa tertinggal di tempat ini dan menjadi hantu gentayangan. Deka pun merangkak diam-diam menuju pintu dapur, mencari keberadaan Urai. Beruntung gadis itu berada tak jauh dari pintu.

"Sssst, Rai!" panggil Deka.

Mendengar suara junjungannya, Urai menoleh. Segera saja ia beringsut mendekat. "Ada apa, Kodeka?" balasnya sambil tersenyum manis.

Deka yang kesal karena gadis itu terlihat santai. "Kamu ini!" desisnya. Ia celingukan sejenak ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mencurigai mereka. Setelah itu, ia berbisik, "Rai, orang-orang ini mau perang!"

Urai mengangguk. "Iya, aku sudah dengar."

Mendengar nada ringan itu, Dela mendelik. "Kamu pikir ini main-main? Kita bisa jadi sasaran sumpitan di sini, tahu!"

Urai meringis lebar. "Di balik kekacauan, ada kesempatan, Kodeka," sahutnya kalem. "Kita bisa melarikan diri pas serangan itu terjadi."

"Gimana caranya kabur?" tanya Deka, masih setengah kesal.

"Waktu kamu masih di lanting, aku sempat ketemu Riwut. Dia berjanji akan mengeluarkan kita dari sini bila terjadi peperangan."

"Riwut? Orang yang datang memakai celana pendek tadi?"

Urai mengangguk-angguk.

Deka membelalak. Baru ditinggal sebentar Urai sudah dekat dengan lelaki lain. "Kamu percaya padanya?"

"Kenapa enggak? Dia baik, kok."

Kedua rahang Deka kontan terkatup rapat. Entah mengapa, hatinya seperti ditusuk belasan anak sumpitan. "Jangan dengarkan dia! Aku nggak mau menunggu sampai terjadi perang. Kita harus melarikan diri malam ini juga!"

Cemburu bilang saja, Bos! batin Urai seraya mencibir. "Kita lari ke mana?"

"Kembali ke portal Matang Kaladan."

"Pakai apa ke sana?"

"Pesan travel, gih!"

"Ish!" semprot Urai kesal. 

---Bersambung---


Jangan lupa beri bintang dan komen. Follow juga IG Fura: nataliafuradantin


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top