Bab 4
Anjani tidak tahu jika tanda tangannya bisa seberharga ini. Ia membubuhkan beberapa tanda tangan pada berlembar-lembar kertas. Rasanya ia tak pernah sebahagia ini ketika melihat wajah masam Satrio yang terpaksa memberikan restorannya, padahal restoran itu sedang laris-larisnya. Tapi itu pun tidak dilakukan secara rela. Penyerahan restoran itu diikuti dengan penyerahan Anjani untuk kembali ke rumah besar. Atas desakan Ayah Satrio keduanya disuruh mengulang akad nikah. Gertakan Wahyudi memang ampuh, tak butuh waktu lama Satrio mengambil keputusan tepat yang membuatnya mengerang kesal. Anjani girang jika suaminya itu terserang frustasi, atau sampai gila sekalian.
Anjani dengan bangga mengibaskan rambutnya ke belakang. Akhirnya ia mendapatkan jaminan masa depan sang anak.
"Sudah selesai. Setelah ini, restoran Lataye resmi jadi milik Anda, Nyonya Anjani."
"Ralat. Nyonya Satrio Permadi. Saya masih resmi jadi istrinya."
"Maaf, saya lupa!"
Anjani tersenyum menang apalagi melihat Satrio yang berada di seberang meja tertunduk lesu. Secara tak langsung suaminya itu sudah mengaku kalah. Dengan dada yang membusung dan mengelus perutnya yang sudah agak menonjol, Anjani menjabat tangan pengacara Satrio. Pengacara ini juga yang dulu mengurus perceraiannya yang batal.
Dengan gerakan slow motion Anjani memasukkan surat tanah dan kepemilikan restoran ke amplop coklat besar.Ia sengaja melakukan itu agar menyiksa Satrio. Toh, apa yang ia perbuat tak sebanding dengan kebejatan suaminya. Semalam mereka sudah memperbarui akad nikah dengan melakukan ijab kabul ulang agar niat rujuk mereka sah di mata agama, dengan di saksikan keluarga Anjani dan keluarga Permadi di kediaman Virna. Anjani lega luar biasa karena berhasil membuat Satrio tunduk. Walau dia tak bisa membayangkan apa yang terjadi tujuh bulan ke depan. Hidup dengan Satrio selama tiga tahun mengajarinya banyak hal. Satrio tak mengharapkan istri penurut dan pasif, maka Anjani akan memberinya seorang istri yang pantang menyerah serta keras kepala. Anjani tak akan pernah menangis, jika diinjak atau dianiaya maka dirinya akan membalas.
"Barang yang udah dikasih, gak boleh diminta lagi."
"Siapa yang minta? Aku bakal kerja keras supaya bisa bangun restoran lagi."
Anjani berpura-pura menangis haru serta membekap mulutnya tak percaya. "Masa? Aku terharu, mas mau bekerja keras buat kami." Anjani mengelus perutnya lagi. Sedangkan, Satrio memutar bola matanya dengan malas. Dia muak dengan akting Anjani.
"Kamu kira aku akan kasih lagi hartaku ke kamu?" Anjani tak begitu berharap. Ia melakukan ini hanya karena ingin memberi sedikit pembalasan agar laki-laki di depannya ini jera.
"Kamu kira anakku butuh harta kamu. Ya, enggaklah! Anakku akan dapat banyak warisan dari kakeknya." Mulut Satrio ternganga lebar. Ia tak percaya Anjani bisa berpikir sampai ke sana. Dasar Anjani, si rubah betina. Anakku cucu dari satu-satunya anak laki-laki keluarga Permadi. Kalau dia cowok, bisa dibayangkan berapa banyak warisan yang didapatkan?
Satrio merasa waspada jika anak Anjani benar-benar berjenis kelamin laki-laki. Karena tidak bisa dimungkiri dirinya akan semakin sulit lepas dari perempuan pengeruk harta ini.
"Kenapa bengong, Mas? Lagi ngitung berapa banyak warisan anakku?" Anjani bukanlah ibu yang memanfaatkan anaknya sendiri. Ia bisa membesarkan anaknya tanpa sepeser pun uang dari keluarga Permadi. Namun, egonya akan tersakiti jika Satrio menikah dengan Anastasia dan mereka punya anak sendiri. Anaknya yang tak pernah Satrio harapkan akan tersingkir. Anaknya tak akan Satrio anggap dan pedulikan. Lain ceritanya jika anaknya mendapat warisan serta kasih sayang keluarga Permadi. Setidaknya putra Anjani tak akan terlalu bersedih.
"Eh, ngapain Mas ngikutiku keluar?" Anjani agak terkejut saat memergoki Satrio yang mengekor di belakangnya.
"Aku mau ikut kamu pulang dan memastikan kamu beneran balik ke rumah utama." Anjani berdecak sebal. Ia dongkol jika berada di dekat suaminya.
"Jangan dekat-dekat. Aku takut nanti mas mendorongku di tangga!!" ujar Anjani sembari memegang perut dengan posesif. Jika bukan karena terpaksa, Satrio sudah pasti mengumpat dengan kelakuan Anjani yang dibuat-buat.
"Enggak mungkin aku nglakuin hal sejahat itu."
"Enggak mungkin? Bahkan mas udah jadi orang jahat sejak lahir."
Ekspresi Satrio berubah. Anjani sadar ia telah menyentil sensitivitas milik suaminya. Dulu Satrio mempunyai saudara kembar, tetapi sayang harus meninggal beberapa jam setelah dilahirkan. Menurut penjelasan dokter, jika ada dua anak dalam satu rahim, maka akan ada yang dominan dan yang lemah. Satrio termasuk yang dominan dan saudaranya kekurangan nutrisi di dalam kandungan sehingga lahir dengan berat badan kecil dan meninggal dunia.
Anjani terlalu sibuk dengan pikirannya sehingga tak menyadari ia telah sampai di tempat parkiran mobil. Satrio yang kesal, menekan kepala Anjani untuk masuk ke mobil Audi miliknya.
"Aduh! Tuh, kan. Baru rujuk dan mau pindah rumah, kamunya udah KDRT."
"Udah, jangan banyak ngomong. Pasang sabuk pengamannya."
"Aku masih ragu. Mas tulus ngantarin aku pulang atau nggak. Siapa tahu nanti Mas tabrakin aku di tengah jalan."
"ANJANI!!" Satrio berteriak marah. Ia sudah tak tahan dengan segala prasangka buruk yang ditujukan kepadanya. "Aku gak akan nyelakain kalian. Aku juga ayahnya kalau kamu lupa."
"Baru ngerasa, ya, Mas, bapaknya. Mas ngomong kalau bapaknya, tapi ngelus dia aja gak pernah!!" Ketika tangan Satrio ingin mendekat ke perut Anjani, perempuan itu menepisnya jauh-jauh. "Jangan pegang kalau gak tulus. Anakku mual kalau dekat kamu. Dia tahu bapaknya gak sayang sama dia."
Tangan Satrio menegang mendengar kata-kata Anjani yang begitu menusuk. Walaupun ia sadari tak begitu menginginkan anak itu, tetapi janin di kandungan Anjani ada darahnya yang juga mengalir di sana. Ia awalnya menganggap bahwa janin itu penganggu, tetapi kini ia menyesal karena pernah berpikir seperti itu. Satrio boleh tak suka kepada Anjani, tetapi bagaimana pun juga anak di perut Anjani juga darah dagingnya.
***
"Tante Anjani!!!" teriak dua anak perempuan sambil berlari-lari kecil ketika mengetahui bahwa yang muncul dari dalam mobil pamannya adalah tantenya. "Tante dari mana aja? Kita kangen."
Anjani dengan gemas memeluk dua anak perempuan itu. "Kalian aja kangen, apalagi tante."
"K emana aja, sih, kok, Tante baru pulang?"
"Tante ke— "Anjani diam dan berpikir. "Ke Palestina jadi relawan perang. Tante, kan, jadi Miss perdamaian di sana."
"Miss perdamaian? Apa sama kayak Miss Universe, Miss World, dan putri Indonesia?"
Anjani sedikit terdiam kemudian menjawab sekenanya, "Yah, kayak gitu."
"Amanda mau masukin Miss perdamaian ke daftar cita-cita." Si kecil Amanda mengeluarkan sebuah buku harian bergambar Barbie yang dilengkapi dengan kunci dan pensil.
"Manda, daftar cita-cita kamu banyak banget. Kamu mau yang mana?"
"Dinda, udah kamu jangan banyak ngomong. Biarin aku tulis banyak-banyak."
Adinda dan Amanda adalah anak kakak perempuan Satrio, sekaligus putri sulung Keluarga Permadi. Mereka terlahir kembar identik dan jika mereka memakai pakaian yang sama, pasti tidak ada yang bisa membedakannya.
"Tante Anjani tugas Miss perdamaian apa aja?"
Anjani yang mendapat pertanyaan dadakan itu, kebingungan. "Tugasnya bantuin orang yang lagi perang. Damaiin orang berantem dan juga ehmm ngobatin luka." Batin. Dua anak perempuan itu memandang Anjani dengan heran, lalu menggaruk rambutnya yang telah dipasang pita.
"Kalau gitu Dinda juga mau jadi Miss perdamaian."
"Bukannya Dinda mau jadi dokter kayak Papa?" Papa mereka berprofesi sebagai seorang dokter bedah plastik, sedangkan ibu mereka adalah pegawai di perusahaan milik keluarga Permadi.
"Enggak. Dinda gak mau jadi dokter. Papa sering gak pulang dan bikin mama nangis."
"Eh."
"Kalian ke Bibi dulu, ya. Tante Anjani butuh istirahat." Anjani yang ingin mengobrol lebih banyak dengan si kembar, seketika ditarik Satrio masuk ke rumah. Kamar kita pindah ke bawah.
"Kita?" tanya Anjani sengit.
"Iya. Kamu mau kita tidur pisah? Mau orang rumah curiga?"
"Kalian sudah datang?" Suara seorang perempuan paruh baya mengurungkan niat mereka untuk berdebat. Anjani meneguk ludahnya kasar dan menggenggam tangan Satrio lebih erat.
'Ibu," ucap suami istri itu bersamaan, setelah itu menyalaminya.
"Satrio, bawa istri kamu ke kamar. Suruh istirahat. Pasti dia capek. Biar ibu siapin makan dan antar makanannya ke kamar." Anjani terperangah dengan sikap baik ibu mertuanya barsan. Pasalnya dulu saat menjadi istri Satrio, ia sering disuruh-suruh dan dihina mandul, bahkan lebih parahnya ketika Anjani mengadu jika Satrio selingkuh, sang ibu mertua yang bernama Mega itu mendukung hubungan Satrio dengan Anastasia.
"Ya, Bu. Ini Satrio mau ajak Anjani ke kamar!" Anjani masih tak percaya dengan perubahan ibu mertuanya. Namun, terbesit pikiran mungkin karena dirinya hamil makanya orang-orang di rumah ini bersikap baik, kecuali—
"Akhirnya kamu pulang." Seorang perempuan muda dengan anggun berjalan menuruni tangga. Tatapannya masih sama, menatap Anjani dengan pandangan sengit penuh permusuhan.
"Kirana jaga ucapan kamu. Anjani kakak ipar kamu!"
"Sejak kapan ibu belain dia?" Perempuan muda yang dipanggil Kirana itu tersentak merasakan tangannya ditarik dengan kuat oleh sang ibu.
"Satrio bawa Anjani ke kamarnya!" Sejujurnya Anjani ingin sekali membalas perkataan Kirana atau paling tidak menonton Kirana dimarahi Mega secara langsung. Namun, apa mau di kata suami terblangsaknya sudah ingin cepat-cepat masuk kamar. Satrio memang orang yang tak sabar.
"Harusnya aku gak ajak kamu pulang. Aku lupa Kirana juga tinggal di sini."
Mata Anjani menyipit. Ia baru saja selesai meletakkan baju-bajunya di walk in closet. Kirana dan dirinya bagaikan minyak dan air yang tak akan bisa menyatu. Mereka rival sejak kuliah. Kirana si gadis manja dari Keluarga Permadi, ratu kecantikan kampus hanya saja ia selalu kalah dengan Anjani si gadis biasa. Kalah dalam bidang akademi dan kalah merebut hati seseorang. Apalagi saat Kirana mengetahui jika Anjani yang dijodohkan dengan kakaknya, dendamnya kepada Anjani sampai ubun-ubun .
"Kenapa? Kamu khawatir sama aku? Aku terharu." Anjani ingin memeluk tubuh Satrio, tetapi suaminya itu malah menyentil jidatnya.
"Aku enggak mau kalian berantem dan bikin ibu kepikiran. Jadi aku minta kamu jangan buat masalah dengan Kirana." Perkataan Satrio tidaklah kasar atau bernada tinggi, tetapi kenapa membuat hati Anjani menjadi ngilu? Apa yang ia harapkan? Satrio akan khawatir terhadap kesehatan janinnya? Ibu hamil memang tidak boleh banyak pikiran dan stres. Akan tetapi suaminya lebih mengkhawatirkan kesehatan sang ibu. Harusnya ia memperingatkan Kirana bukan Anjani.
Anjani lagi-lagi tersadar, terlalu dekat dengan Satrio akan membuatnya lupa bahwa kehadiran janinnya tak diinginkan laki-laki itu. Dengan segala lara dan daya yang Anjani punya, ia berjanji akan membentengi hatinya dari pesona suaminya. Karena pada akhirnya hanya perpisahan dan kebahagiaan Satrio dengan Anastasia. Dirinya hannyalah seonggok masa lalu yang Satrio ingin hapus.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top