Bab 3

Mulut Rama menganga lebar ketika Anjani mencomot potongan keempat dari satu karton loyang pizanya. Rama, sang pemilik makanan, baru makan satu potong dan itu pun baru tergigit separuh. Wanita yang tengah hamil ternyata mengerikan. Apa pun pasti dianggap sebuah pembenaran dengan dalih keinginan si jabang bayi. Rama tak bisa protes karena tahu dia akan dianggap salah.

"Mbak, hamil anak apaan, sih? Makannya rakus banget!"

"Anaknya Satrio, lah!" Menyebut janinnya sebagai milik Satrio seperti menekuk lidahnya menjadi beberapa lipatan, kebas dan kelu.

"Kalau anaknya Mas Tio, ngidamnya pasti elite." Perkataan Rama yang enteng sukses menusuk perasaan Anjani. Sama seperti Satrio, Rama meragukan anaknya. Toh memang benar, anak ini hanya akan menjadi miliknya saja dan menyandang nama Sarasvati bukan Permadi. Anak ini yang nanti akan menemani hidupnya sampai tua. Anjani akan memberinya cinta tanpa syarat seluas lautan. Hingga anaknya tak akan lagi butuh sosok seorang ayah. Namun, apakah bisa begitu?

"Mbak udah kasih tahu ke Mas Tio kalau mbak hamil?"

"Udah. "

"Eh, beneran? Terus Mas Satrio bilang apa? Dibatalin, kan, perceraian kalian?"

Anjani menggeleng lemah. Hati kecilnya berharap pernikahannya dengan Satrio dapat diselamatkan, tetapi Satrio terlalu terlena dengan cintanya kepada Anastasia.

"Gimana, sih, Mas Tio itu. Katanya pengin punya anak, tapi, kok, mbak tetap dicerai? Rama bingung dengan pemikiran orang dewasa. Contohnya mbaknya yang terlihat baik-baik saja saat dijatuhi talak, tetapi diam-diam jika tidak ada orang, selalu menangis." Anjani hanya berusaha kuat walaupun sebenarnya dia hannyalah perempuan biasa yang akan meratapi sebuah perpisahan.

"Tapi, Satrio mau tambahin uang tunjangan aku. Aku juga dikasih rumah, mobil, ruko, dan deposito. Lumayan, kan?" Sayang sakit hati yang Anjani rasakan tak bisa diganti dengan materi.

"Wah, mbak bakal jadi janda tajir, dong! Bravo, bravo, bravo!" Rasanya Anjani ingin sekali menonjok mulut Rama. Mana ada saudaranya menjadi janda, dia malah senang. "Kalau gitu, traktir, dong. Mbak, kan, banyak duit." Anjani tersenyum simpul. Tidak apalah sekali-kali mengerjai Rama, biar anak itu tahu rasanya perjuangan.

"Boleh, tapi ada syaratnya. Kebetulan aku pengin banget makan jambu air punya Pak Jamal."

Tiba-tiba raut wajah Rama pucat. Perutnya seketika mulas dan ingin segera kabur. Pak Jamal, satu-satunya penghuni kompleks yang mempunyai anjing herder bernama 'Puppy'.

"Eh, gak ada yang lain apa? Jambu air di pasar, kan, banyak, Mbak. "

"Tapi, yang petik langsung di pohon lebih seger!" Bukan cuma anjingnya yang Rama takutkan, tetapi juga pemiliknya. Ia ingat dulu pernah memberikan sisa tetelan daging kurban yang didapat mamanya. Alhasil bulu Puppy—si anjing beringas itu rontok dan Pak Jamal mendatangi rumahnya marah-marah tak terima.

"Ram, buruan. Anakku entar ileran, loh." Anjani mengusap-usap perutnya. Ia berharap anaknya tak mirip dengan Rama yang kemauannya banyak dan sok ganteng. Namun, Rama terselamatkan ketika Virna datang tergopoh-gopoh menghampiri Anjani di meja makan.

"Jani, ada mertua sama suami kamu di bawah!"

"Hah?" Anjani dan Rama ternganga lebar. "Ngapain?"

Virna mengangkat bahu. Karena terlalu antusias, Virna lupa menanyakan perihal kedatangan keduanya. Udah, temuin aja! Dengan sedikit dorongan dan paksakan, akhirnya Anjani menuju ruang tamu untuk menemui mereka.

Sesampainya di sana jantung Anjani serasa berhenti melihat wajah Satrio yang tidak baik. Ada lebam di mana-mana dan bekas darah di sudut bibirnya yang setengah kering. Ternyata doa Anjani dikabulkan Tuhan secepat ini. Satrio mendapatkan balasan karena menyakitinya. Apa suaminya baru dikeroyok orang satu kelurahan? Baguslah jika memang itu terjadi.

"Maaf ada apa Bapak kemari?" tanya Anjani kepada ayah mertuanya yang duduk tegang, bertumpu pada kedua kaki rentanya yang masih kuat.

"Bapak sama Satrio ke sini mau jemput kamu. Bapak sudah tahu kalau kamu sekarang sedang hamil. Perceraian kalian harus dibatalkan!" perintah Wahyudi Setyo Permadi. Anjani melotot marah ke arah Satrio. Bagaimana bisa ayah mertuanya mengetahui hal itu. Kehamilannya akan lebih rumit jika kepala suku Permadi tahu. Anak Anjani tak mungkin akan menjadi miliknya seorang.

"Tapi, saya dan Satrio sudah sepakat untuk berpisah dan menunggu sidang putusan."

Virna yang merasa dibodohi karena tak tahu apa-apa seketika memukul lengan Anjani. "Kamu masih mau cerai? Ada bayi dalam perut kamu, Anjani." Mamanya menambah segala kerumitan yang terjadi. Mereka akan memaksanya kembali ke Satrio dan kehidupannya yang tak bahagia.

"Memang kenapa kalau di perut Anjani ada bayi? Ini anak Anjani! Anjani gak mau rujuk. Titik!"

Mendengar teriakan Anjani, Satrio yang sedari tadi menunduk dan menyembunyikan wajah, seketika saja mendongak. Tak pernah ia melihat Anjani semarah ini.

Jangan salahkan hormon ibu hamil yang tak bisa mengontrol emosinya. Napas Anjani naik turun, berusaha sabar dan tak tersulut api amarah. Semua kekacauan ini disebabkan oleh Satrio yang teledor menaruh kertas hasil USG Anjani di atas meja sehingga ayahnya tahu.

"Maaf semuanya, saya dan Anjani sudah cukup dewasa untuk mengatasi masalah kami sendiri! Jadi, bisakah saya diberi waktu untuk berbicara dengan Anjani!" Tanpa aba-aba atau pemberitahuan, tangan Anjani sudah ditarik Satrio menuju halaman belakang.

"Mau apa kamu sebenarnya? Kenapa bapak bisa kemari dan nyuruh kita rujuk?" tanya Anjani marah setelah berhasil menghempaskan tangan Satrio.

"Maaf Jani. Bapak lihat hasil USG kamu karena keteledoranku."

Dahi Anjani mengerut. Tangannya ia lipat di depan dada. Satrio mengakui kesalahannya? Langka sekali. "Kamu tahu, kan, bapak gak akan melepas kita. Terus apa rencana kamu?"

"Kita rujuk!"

"Kamu waras ngomong kayak gitu? Kamu gak jadi gila, kan, karena dihajar bapak?" Satrio mendengus tak suka. Anjani tetap saja sama, perempuan menyebalkan yang berhasil mendebatnya serta membalik semua kata-katanya.

"Kita rujuk sampai bayi ini lahir."

"Kamu kira aku mau balikan sama kamu lagi setelah kamu bilang ada perempuan yang lebih cantik dari aku, lebih sempurna!!" Anjani tidak bisa diperlakukan semena-mena. Dipungut setelah harga dirinya terombang-ambing, diinjak-injak, dan dibuang.

"Anastasia kenyataannya memang lebih baik daripada kamu. Kita cuma pura-pura rujuk sampai anak itu lahir dan setelahnya kita cerai." Satrio tak segila itu menarik Anjani kembali ke kehidupannya. Dia tetap menganggap Anjani dan bayinya hannyalah upil di hidupnya. Walaupun mereka telah bersama selama tiga tahun, tetapi Anjani bukanlah bagian hidup Satrio yang patut dirinya kenang. Anjani hannyalah bayangan gelap yang seharusnya Satrio hapus dalam catatan hidupnya.

Meskipun dirinya adalah bayangan kelam Satrio dan telah kalah, tetapi Anjani bukanlah perempuan lemah yang tak mampu melakukan pembalasan. Ketakutan Satrio adalah ayahnya, maka Anjani akan bermain di sana. Anjani bukan hanya akan menjadi bayangan gelap, tetapi juga luka terkelam yang akan Satrio sulit buang dari hidupnya.

"Oke. Kita rujuk." Semudah itu? "Tapi, aku punya syarat."

"Apa syaratnya? Kamu mau uang tunjanganmu aku tambah?"

Anjani menggeleng. Dia tidaklah sematerialistis itu, tetapi Anjani akan mewujudkan bayangan Anjani si penguras harta di benak Satrio. "Aku mau 1 hotelmu!"

Skakmatt.

Tubuh Satrio membeku. Anjani benar-benar perempuan licik. Ia mengincar harta pribadi milik Satrio dan bukan aset keluarga besarnya. "Kamu gila? Hotel itu aku bangun dengan uang pribadiku!"

"Bukannya kamu dulu pernah bilang, kalau kamu membangun hotel itu untuk masa depan kita dan untuk warisan anak cucu kita? Ke mana omonganmu itu pergi, Mas?" Anjani membelai rahang Satrio yang mulai mengeras. Ia paham, menyerahkan hotel itu sama saja memotong kaki Satrio dan membuntungkan jalan aliran uangnya.

"Ada syarat lain?"

"Ada. Kalau kamu tak bisa menyerahkan hotel, restoranmu juga boleh." Anjani benar-benar tak sebodoh orang-orang pikir. Kini ia memotong tangan aliran uang Satrio. Namun, semua itu tak ada harganya jika Satrio kehilangan semua aset warisan keluarga.

"Aku perlu berpikir untuk memutuskannya!!"

"Jangan terlalu lama berpikir. Aku tak bisa menjamin kalau mulutku ini tak akan buka suara tentang perselingkuhanmu dengan Anastasia. Begitu surat kepemilikan salah satu aset pribadimu itu dibalik atas namaku, aku akan dengan senang hati mengangkat koper dan pindah ke rumah utama." Anjani berusaha kuat dan culas walaupun tangannya bergetar saat menyentuh Satrio. Sandiwara Anjani harus lebih dipertegas. Dengan segala keberanian yang terkumpul, Anjani mengecup pipi Satrio dan mengelus bahu bidangnya untuk merapikan kemeja yang dikenakan Satrio. "Jangan banyak berpikir. Kamu tahu, kan, mana yang lebih berharga?"

Anjani meninggalkan Satrio sendirian di belakang rumahnya. Setitik air matanya luruh. Dengan cepat Anjani menghapusnya. Kembali kepada Satrio sama saja dengan melemparkan diri untuk meloncat jurang. Lukanya yang masih basah akan bertambah nyeri karena disiram perasan jeruk nipis.

Anjani bahkan menantang dirinya. Seberapa kuat dirinya bisa berdiri tegak dan tabah melihat kemesraan Anastasia dan Satrio di depan matanya nanti.

Bantu ibu, Nak. Ibu akan bertahan sekuat yang ibu mampu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top