(2)


Anjani tak tahu apa yang membawa langkah kakinya ke bangunan berlantai banyak ini. Ia hanya menuruti kata hatinya, melakukan hal yang di anggapnya benar. Toh bagaimana juga perutnya nanti akan kian membesar. Ia memejamkan mata sejenak lalau menarik nafas. "Semangat!!".

Langkah pertama saat memasuki gedung, Anjani merasa de ja vu. Kenangannya saat pertama kali ke sini, tentu sebagai menantu pemilik gedung. Bisa di hitung dengan jari berapa kali ia mengunjungi suaminya dan terakhir berkunjung Anjani mengalami hal yang amat mengerikan. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau suaminya tengah memangku mesra seorang perempuan cantik.

Untunglah ia sempat menjambak rambut si perempuan hingga kekesalannya  dapat terlampiaskan. Tapi sikap bar-bar nya harus di hadiahi sebuah kata talak dari sang suami. Mengingat kejadian itu hati Anjani teriris ngilu. Ia kira hubungannya dengan Satrio baik, ia anggap Satrio mau menerimanya saja cukup. Namun rasa cinta yang tak kunjung tumbuh di hati suaminya bak bom waktu jahat yang sewaktu-waktu bisa meledak bila di temukan alat pemicunya.

Anjani bisa apa kalau Satrio bilang tak mencintainya? Meraung-raung minta di kasihani atau bersabar menunggu benih cinta itu tumbuh. Cinta dari Satrio ibarat tumbuhan yang di tanam di tengah lautan. Tak akan pernah tumbuh malah akan tenggelam.

Dari kehamilannya pun Anjani tak berharap banyak. Satrio mau memberikan sebagian kecil hartanya saja ia sudah bersyukur. Meminta tanggung jawab atau sekedar meminta rasa peduli dan sayang sama dengan mengharap apel tumbuh di padang gersang, mustahil.

Harga diri Anjani sebagai perempuan buangan akan lebih terinjak-injak lagi bila ia melakukan hal itu. Ia tak mau di kira memanfaatkan kehadiran bayi di dalam perutnya walau ada setitik harapan di sudut hatinya kalau anaknya akan mendapatkan sebuah keluarga yang utuh.

Sebuah harapan yang langsung sirna ketika melihat sekretaris Satrio sedang berkaca dalam sebuah wadah bedak.
"Hey, Miranda!!". Sapanya pada sekretaris Satrio yang sedang memakai lipstik.

"Eh bu Anjani! Kirain siapa?". Perempuan yang di panggil Miranda itu dengan panik menyimpan alat-alat make upnya ke dalam tas. Dasar perempuan pesolek tapi biar pun begitu Miranda bukanlah perempuan genit, haus belaian.

"Masih hobi kamu dandan?".

"Ya masih bu, maklum bu perempuan. Gak pede kalau gak dandan". Anjani hanya mendengus tak suka. Bagaimana mau pede, alis aja sulaman, rambut di smooting, bibir juga sulaman, muka benangan. Mungkin itu dada sama pantat implan tapi Anjani tak mau suudzon. "Ke sini ngapain bu? Mau ketemu pak Satrio bukannya kalian udah cerai?".

Miranda ini memang menyebalkan ngomong ceplas-ceplos dan bajunya itu suka nyapret, kekecilan tapi di balik semua itu. Perempuan ini paling baik dan pengertian sama Anjani.

"Emang kalau mantan gak boleh ketemu?".

"Yah boleh buk, kebetulan bu Ana belum datang. Pak Satrio lagi sendirian di dalam!". Anjani tak mau memperpanjang obrolannya lagi. Membahas Anastasia sama dengan mengiris nadinya sendiri. Anjani akui Ana memang perempuan sempurna, tubuhnya tinggi sesampai, dadanya besar, kakinya mulus dan jenjang, wajahnya tirus tanpa benang. Bila Anjani membandingkan dirinya dengan Ana seperti ayam kate dengan ayam bangkok. Kalau di tarungkan pasti Anjani ngacir duluan. Rasanya cukup berbasa-basi dengan Miranda. Saatnya menemui tuan Prabu di singgasananya.

Ceklek

"Ngapain kamu kesini? Bukannya perceraian kita udah di urus sama pengacara!". Anjani hanya melihat Satrio dengan tatapan jengah. Ia sudah biasa menghadapi tuan kulkas selama 3 tahun jadi wajar bila di judesin. Watak tak berubah, apa cuma dengan Anjani saja ia bersikap seperti es balok.

"Aku ke sini karena ada perlu. Kalau gak penting aku juga males lihat muka kamu yang kayak frizer udah lama gak di servis isinya kembang es semua". Anjani mengenal Satrio dengan baik begitu pula sebaliknya. Satrio selalu kalah kalau berdebat dengan Anjani. Anjani selalu bisa membalik kata-kata judesnya walau ia harus akui hidup dengan Anjani merupakan hiburan untuknya. Tapi ada yang berbeda dengan perempuan ini. Anjani itu memang kelihatannya bodoh tapi Satrio kenal perempuan ini benar-benar licik, penuh muslihat dan suka mengerjainya.

"Ada apa? Apa uang tunjangan yang aku kasih kurang?".

" Kamu selalu saja menilai semua dari uang. Aku ingin mengatakan hal yang penting". Anjani mengambil nafas yang panjang lalu menariknya pelan-pelan, ia seperti akan mengatakan kalau besok akan di jatuhi hukuman mati. "Aku hamil".

Satrio yang mendengarnya sampai menjatuhkan kertas laporan, mulutnya menganga lebar. Sebelum Satrio menyanggah atau tak mengakui anaknya, Anjani duluan mengeluarkan kertas USG dan keterangan dari dokter yang menyatakan dirinya positif hamil. Kertas itu ia serahkan di hadapan Satrio sambil menggebrak meja.

Satrio memang bukan dokter tapi ia cukup mengerti tulisan-tulisan yang tertera di dalam kertas bewarna hitam putih itu. Ia membaca keterangan di dalamnya, benar Anjani hamil dan janinnya berusia 12 minggu. Janin itu jadi sebelum dia mengucapkan talak, yah bodohnya dia kenapa masih mau menyentuh Anjani padahal sudah punya Anastasia yang lebih segala-galanya. Satrio mengusap wajahnya frustasi, bagaimana ini bisa terjadi dan bagaimana nanti nasib janin yang berusia 3 bulan ini. Janin itu akan jadi sebuah bencana kalau ayahnya sampai tahu.

"Apa mau kamu? Kamu mau perceraian kita di batalkan!".

Anjani menggeleng-gelengkan kepala. Ia tak akan mau kembali ke Satrio, cukup 3 tahun saja ia hidup datar dengan manusia tak punya hati ini. Lagipula lucu kalau dia minta balikan, harga dirinya yang sudah di atas awan masak harus terjun ke dasar samudra.
"Aku bosan hidup denganmu, cerai lebih baik dan membesarkan anak ini sendiri lebih enak. Aku gak perlu masak banyak-banyak, terus gak perlu siapin kopi pagi hari. Aku bakal hidup sama anakku yang tentunya gak akan berkhianat dan meninggalkan aku". Jelas sekali Anjani menyindirnya, anaknya saja? "Tapi untuk membesarkan seorang nyawa. Aku butuh biaya". Anjani agak berat meminta ini tapi tak apalah. Ia cukup kenyang mendengar Satrio mengatakan kalau dia wanita pengincar harta. "Aku mau tunjanganku layak, harta gono-gini yang kamu janjikan harus di tambah".

Satrio sempat ragu kalau Anjani hamil tapi melihat USG nya. Ia jadi yakin. Selama mengenal Anjani, wanita itu memang sering membuat lelucon tapi ia tak akan mau berbohong untuk hal yang serius ini.

"Lalu kamu minta berapa?"

"Aku minta rumah bukan sebuah apartemen sesuai yang kamu janjikan. Membesarkan seorang anak akan butuh lingkungan yang baik. Aku minta sebuah ruko untuk aku usaha, uang modal dan sebuah deposito untuk masa depan anakku kelak. Ku rasa itu lebih dari cukup ". Dan permintaan Anjani, kecil untuk Satrio. Ia  yakin suaminya tak akan menolaknya.

"Baiklah, akan aku berikan semuanya!". Semudah itu, bahkan Satrio tak menanyakan janin yang di kandungan Anjani sama sekali. Seolah nyawa yang pernah mereka buat tak berarti apa-apa.

"Kalau begitu aku pergi. Selamat bertemu di sidang putusan". Anjani memundurkan kursinya. Ia berjalan pergi tanpa menoleh ke belakang. Sudut hatinya masih saja sakit mendengar nada dingin dari ucapan Satrio. Apa yang Anjani harapkan? Mereka akan membahas waktu berkunjung atau hak asuh anak.

Harusnya Anjani senang, bukannya ia mendapat tunjangan yang layak dan dapat menjamin masa depan sang anak. Apa yang ia mau? Satrio mengelus serta peduli dengan perutnya. Jangan mimpi Anjani, Satrio mungkin langsung akan melompat kegirangan kalau Anastasia yang mengandung bukan kamu. Setetes air mata turun ke pipinya, meski ia berusaha tegar tetap saja ketidak pedulian Satrio membuatnya sakit hati.

Sedang Satrio yang masih menatap kertas USG dari buah hatinya menelungkupkan wajahnya ke atas meja. Ia syok mendengar Anjani hamil. Sidang mediasi mereka baru terlewat beberapa hari yang lalu. Satrio sebagai laki-laki merasa bertanggung jawab terhadap janin ini tapi ia semakin meneguhkan hati dan tak peduli ketika mendengar ponsel berlayar pipihnya berdering dengan sangat kencang.

Panggilan dari Anastasia, seorang perempuan yang tengah mengisi hatinya untuk saat ini. Dengan perempuan itu ia menemukan suatu kebahagiaan dan hidupnya di hiasi cinta setiap hari. Untuk sementara kertas USG itu ia abaikan, makan siang dengan Anastasia akan mengembalikan moodnya yang buruk akibat kedatangan Anjani.

🐢🐢🐢🐢🐢🐢🐢🐢🐢🐢🐢🐢🐢

Anjani tak berniat pulang ke rumah lebih awal. Langkahnya membawanya ke sebuah pemakaman umum. Tempat dimana sang ibu kandung di kebumikan. Bermodalkan sekeranjang bunga mawar dan kenanga serta sebotol air mineral. Anjani menapakkan jejaknya selangkah demi selangkah melewati batu nisan asing menuju tempat dimana nama sang ibu di ukirkan.

Ada tiga amal yang tak bisa putus pahalanya. Amal jariyah, doa anak soleh/solehah dan juga ilmu yang bermanfaat. Anjani akan jadi anak solehah mendoakan agar di kurangi siksa ibunya dan semoga sang ibu di tempatkan tempat yang terbaik di sisi Allah yaitu surga.

"Ibu... ibu pasti sudah tenang di dalam sana. Tak akan di susahkan dengan nasib Anjani. Anjani bukannya menganggap kehamilan ini sebagai kemalangan tapi Anjani akan berat melaluinya ibu... Jujur Anjani butuh ibu.. Anjani serakah kan? Anjani punya mamah Virna tapi masih mengadu ke ibu". Anjani menarik nafas dalam-dalam sekuat-kuat hatinya, akhirnya tanggul air mata Anjani jebol. Ia menangis tergugu di atas pusara ibunya. Anjani tak kuat menahan kemalangannya ini.

"Apakah seperti ini ketika ibu di tinggal ayah? Satrio sama ayah sama, sama-sama tega ninggalin Anjani. Apa semua laki-laki seperti itu ibu? Rela meninggalkan istrinya memilih hasrat yang di sebut cinta? Apa nasib anak Anjani akan sama dengan Anjani? Sendirian, kesepian dan tak pernah di cintai". Anjani menghapus air matanya dengan kasar. Anaknya tak akan bernasib sama dengannya.
"Enggak, anak Anjani akan bahagia walau cuma aku yang anak itu punya tak apa bapaknya tak menerima dia. Anjani akan kuat ibu demi anak ini". Dengan haru ia mengelus perutnya yang masih berusia 3 bulan.

Mulai hari ini cukup ada dia dan juga anaknya. Anjani tak butuh Satrio. Ia siap jadi ibu tunggal, ia siap menghadapi kecaman dunia.

🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top