(13)


"Gak apa-apa kan Anjani, kamu pulang sama ibuk sama bapak?". Tanya Mega yang sedang menata rapi perlengkapan Anjani selama di rumah sakit. Ia bermaksud menjemput namun ternyata kata Satrio Anjani akan pulang hari ini.

"Ya gak apa-apa. Emang mas Satrio kemana buk?Tadi sih udah bilang gak akan jemput". Bodohnya Anjani malah nanyak. Kemana lagi suaminya kalau nggak makan siang sama hantu valak.

"Bapak nyuruh dia pergi ke Bogor, ada hal yang perlu di urus di sana!!". Kali ini bapak mertuanya yang menjawab. Anjani sungkan jika harus bertanya lagi. Kesannya ia seperti wanita yang kepo, ingin menempeli dan tahu kemana Satrio pergi.
"Gimana kabar cucu-cucu bapak?".

"Baik-baik pak, mereka alhamdulillah sehat".

"Jani, kamu hati-hati jangan sampai jatuh lagi. Jangan kecapekan, restoran udah ada yang ngurus".

"Iya pak". Dan hanya Anjani dan Satrio yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tentunya suaminya akan menyembunyikan kesalahan Anastasia kan, pasti di mata Satrio Anastasia selalu benar. Anjani pihak salah, ia yang tak tahu adat, bar-bar dan kekanak-kanakan.

Satrio menemaninya semalaman, bersikap lembut, memberinya perhatian. Semua itu hanya akan menambah kesakitan Anjani ketika berpisah nanti. Kenangan buruk lebih baik dari kenangan indah, kenangan hanya akan menyiksa dirinya untuk memupuk rasa cinta yang ia punya dalam kesengsaraan karena susah move on.

Satrio mengkhianati, menyia-nyiakannya kalau perlu ia tak mengakui dua anaknya itu malah lebih bagus. Satrio hanya akan menjadi suami yang durhaka di mata Anjani. Maka ia akan lebih mudah melupakan dan tak akan berharap kembali. Sulit jika Satrio kini malah bersikap makin hangat.

Seperti baru beberapa jam lalu Satrio menghubunginya. Mengabarkan tak bisa menjemput dan akan mengirim ayah juga ibu. Ia ijin bekerja juga saat tadi pagi.

Ada apa dengan Satrio, kenapa sikapnya lebih manusiawi sekarang? Harusnya dia dingin seperti biasa agar Anjani juga akan dengan rela melepasnya nanti. Kalau begini terus sikap Satrio lama-lama Anjani bisa meleleh, ia juga perempuan yang hatinya lembut dan sensitif.

🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀

Anjani mengenakan piyama tidurnya saat Satrio pulang. Ia memilih diam, tak menyapa. Bukan bermaksud bersikap menyebalkan hanya ia lebih berhati-hati. Setelah di pikir-pikir sikap baik Satrio mungkin saja karena dia mau merebut anak Anjani saat lahir nanti.

"Kamu udah makan?".

"Udah".

"Sayang banget padahal aku bawa asinan Bogor nih". Sialan, kenapa dari semua makanan dia malah bawa asinan Bogor. Anjani membayangkan asinan Bogor yang asem pedas manis yang isinya ada buah pepaya mengkal, ada mangga, kedondong tak lupa sayur segarnya. Air liur Anjani langsung menetes membayangkan rasanya . "Padahal ini asinan aku beli dari Bogor langsung, dari toko yang terkenal sama asinannya itu. Sayang kan gak di.... ".

Karena tak tahan dengan asinan Bogor yang Satrio bawa. Anjani langsung merebut kresek yang Satrio genggam, tentunya berisi asinan Bogor. "Pojok perutku masih muat buat asinan bogor".

Biar saja Anjani jadi ibu hamil yang tak tahu malu. Dengan tergesa-gesa ia berlari menuju dapur untuk mengambil piring. Terkutuklah hormon kehamilannya, yang menjadikan Anjani perempuan rakus.

Sedang Satrio hanya bisa melihat Anjani dengan tatapan geli. Ia juga heran dengan dirinya sendiri, Satrio ngiler saat melihat asinan Bogor. Ia tadi juga sudah makan satu porsi di tempatnya. Mungkin ini yang di namakan telepati antara bapak dan anak., Anjani ngidam maka dia juga. Namun sepertinya Satrio harus mandi dulu sebelum menyusul Anjani ke meja makan.

🌻🌻🌻🌻🌻

Anjani heran saat hampir menghabiskan asinannya. Ia di kejutkan dengan kedatangan Satrio yang membawa segelas susu. Suaminya itu dengan santai mengambil tisu lalu mengelap sudut bibir Anjani yang belepotan kuah asinan.

"Kalau asinannya udah habis, susunya di minum". Apalagi kini godaan dari Satrio,membuatnya meleleh saja. Tapi mata Anjani memicing curiga, ini susu aman kan? Siapa tahu di beri racun. Kemungkinan ada udang kan di balik oseng kacang, Satrio punya maksud jahat padanya. Jangan salahkan Anjani yang selalu suudzon, habis suaminya bersikap aneh.

"Iya aku minum, entar kalau aku selesai makan". Itu hanya sebuah wacana, begitu Satrio berjalan pergi meninggalkan ruang makan. Anjani membuang susunya ke wastafel lalu mencium bekas wadahnya.

"Tuh kan baunya gak enak, kayak racun tikus". Penciuman orang hamil memang sedikit agak terganggu, dasarnya juga Anjani yang tak begitu doyan susu ibu hamil. "Pokoknya aku gak boleh tersentuh, dia kira bisa ngerebut anakku. Bikin aja anak sendiri sama mbak valak".

Selesai bergumam Anjani mengambil segelas air putih untuk di minum. Ia ingin segera tidur, merebahkan tubuhnya ke kasur dan mencium aroma therapy yang ada di kamarnya tapi bayangan kenyamanan segera sirna saat mendengar suara orang ribut-ribut yang berasal dari ruang tamu.

Plakk

"Mau jadi anak apa kamu Kirana, beberapa hari gak pulang dan kembali tanpa rasa bersalah sama sekali!!". Wahyudi menampar serta berteriak marah pada Kirana, putri bungsunya sedang Mega sebagai ibu hanya bisa menatap iba tanpa bisa menolong.

"Bapak gak pernah ngertiin aku. Yang hanya bisa bapak beri cuma pukulan, nasehat sama bentakan kasar. Aku bukan lagi Kirana, anak umur 10 tahun yang takut saat bapak bentak. Aku kembali cuma buat ngambil baju".

"Kirana!!". Tangan Wahyudi akan melayang kembali tapi sekuat tenaga, laki-laki paruh baya itu tahan.

"Apa? Apa pak? Bener kan yang Kirana omongin. Bapak gak benar-benar kenal anak-anak bapak, bapak gak tahu kan kabar mbak Ayu sekarang, bapak gak tahu kan anak laki-laki yang bapak banggain. Berbuat apa di belakang bapak?". Rasanya Kirana ingin membongkar semua rahasia saudaranya tapi tangan ibunya meremasnya lembut. Melalui isyarat mata, Mega memohon.

"Maksud kamu apa Kirana? Jangan cari alasan untuk membenarkan semua kelakuan kamu. Jangan seret saudara kamu yang gak salah apa-apa!!". Kirana sudah muak dengan keluarga Permadi yang terhormat. Ia lelah jika harus jadi penurut dan si bungsu yang di limpahkan segalanya. Keputusannya sudah bulat akan hidup berdua saja dengan Richard.

"Mbak Ayu gak bahagia dengan kehidupan pernikahannya, dan anak bapak ini yang selalu bilang iya, dia menderita harus hidup dengan perempuan yang dia tak cinta. Apa bapak pernah sekali saja memikirkan kebahagiaan kami? Kemauan kami!!".

"Jaga mulut kamu Kirana". Kali ini Satrio yang menyela omong kosong dari saudaranya itu. Ia takut jika Kirana membuka hubungannya dengan Anastasia.

"Kenapa? Aku gak akan membongkar rahasia orang-orang munafik seperti kalian. Aku akan menunggu di saat hari kehancuran kalian tiba dan aku akan bertepuk tangan untuk itu". Tanpa memperdulikan lagi bagaimana respon keluarganya. Kirana bergegas naik ke lantai atas, masuk ke kamarnya. Memasukkan bajunya ke koper asal-asalan. Ia harus hidup tanpa keluarga Permadi yang kacau.

Beberapa saat kemudian Kirana turun dengan menyeret koper. Tanpa berpamitan, tanpa menoleh ia bergegas pergi menuju pintu. Mega sudah menangis histeris saat tak ada satu anggota keluarga pun yang mencegah Kirana. Mega akan berlari menyusul Kirana namun pegangan suaminya mengencang, tanda Wahyudi tak mengijinkan. "Biarkan dia pergi".

"Tapi pak?".

"Dia bilang sendiri dia sudah besar!!".

Mega semakin terisak-isak tak percaya bahwa putri bungsunya bisa senekat ini. Mega hanya ingin melindungi dan mencurahkan seluruh kasih sayangnya kepada anak-anaknya tapi kasih sayang yang berlebihan nyatanya membawa dampak buruk. Anak-anaknya salah jalan.

🐲🐲🐲🐲

Saat Kirana hendak membuka pintu gerbang rumah. Ia merasakan tangannya di cekal oleh seseorang.

"Anjani?".

"Kamu mau pergi kemana?". Tanyanya datar.

"Bukan urusan kamu perempuan munafik!!". Anjani berdecak malas sambil meletakkan tangannya di pinggang. Tarikan tangannya membuat perut buncitnya terlihat jelas oleh Kirana.

"Urusanku kalau kamu buat ibu nangis".

"Apa karena kamu lagi hamil, kamu merasa jadi anggota rumah ini? Jadi kamu berhak bertindak sok?".

"Bukan aku yang sok tapi kamu, kamu sok dewasa jadi bisa pergi seenaknya". Anjani dengan kasar menarik koper yang Kirana pegang. "Kamu mau pergi dengan koper dan isinya yang di belikan orang tua kamu? Kirana yang tak tahu malu dan terima kasih".

"Jangan sok mengajariku Anjani!!".

"Mana dompet kamu?". Kirana terperanjat kaget saat Anjani layaknya copet mengambil cepat dompetnya yang ia letakkan di saku celana bagian belakang.

" Dari uang ini dan kartu-kartu yang kamu punya. Mana yang hasil keringat kamu sendiri?".

"Hey, apa-apaan kamu!!". Kirana berteriak marah saat Anjani mengeluarkan isi dompetnya sehingga uang dan juga kartu-kartu milik Kirana terbuang mengenaskan di atas paving halaman.

"Gak ada, kamu cuma anak manja yang sok mandiri nyatanya kamu cuma nol, nilai kamu nol". Kirana membuang harga dirinya dengan memungut isi dompetnya kembali. Dasar Anjani wanita sialan, wanita yang pantas Kirana benci. Padahal hati kecilnya membenarkan yang Anjani bilang tapi egonya tak mau mengalah.

Tapi tak berapa lama, pangeran bermobil putih Kirana untuk menjeputnya. Kirana merebut kopernya kasar dari tangan Anjani.
"Jangan pergi Kirana, apalagi sama laki-laki itu. Laki-laki yang baik gak akan memisahkan seorang anak perempuan dari keluarganya". Kirana tak merespon malah ia seakan menegejek Anjani dengan berjalan cepat ke arah Richard.
"Ingat Kirana kamu akan menyesal, surga anak ada di ibunya, Kirana. Aku tahu kamu pintar dan masih punya agama!!".

Teriakkan Anjani tak di gubrisnya sama sekali. Yang Kirana pikirkan kini ia Akan bahagia bersama Richard tanpa gangguan siapapun.

🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴

Anjani yang baru saja berdebat dengan Kirana. Memilih duduk dekat kolam renang untuk menenangkan diri, mencari udara segar. Ia menyayangkan Kirana yang malah menjadi anak pembangkang. Padahal nasib Kirana begitu mujur terlahir dari keluarga kaya dengan orang tua yang sangat mencintainya.

"Kenapa kamu disini? Aku cari kamu sejak tadi". Ucap Satrio yang berusah peduli dengan Anjani.

"Aku gak akan pergi kalau kamu takut aku bawa mereka".

"Bukan seperti itu, aku cuma khawatir karena keadaan keluarga ini yang sekarang gak terlalu baik". Satrio mendesah pelan. Pandangannya lurus ke depan. Entah bagaimana nasib si bungsu Kirana di luar sana.

"Kirana pergi, kalian gak mencegahnya?".

"Bapak sudah mengijinkannya pergi". Anjani mencelupkan kakinya ke air saat Satrio mensejajarkan diri, duduk turun di samping Anjani.

"Kamu gak nyalahin aku karena membuat Kirana pergi. Biasanya kamu melampiaskan kesalahan sama aku!!". Satrio menyesal, ada kenangan buruk itu di benak Anjani yang tak bisa ia hapus. Satrio berteriak marah dulu jika Anjani berdebat dengan Kirana. Tentunya, adiknya itu selalu ia bela.

"Untuk apa? Kirana pergi atas kemauannya sendiri. Aku juga lihat kamu tadi berusaha keras mencegah Kirana pergi. Kenapa?".

"Karena aku merasa Kirana hanya terbawa emosi. Dia harusnya lebih bersyukur karena masih punya orang tua". Mendengar itu hati Satrio teriris, ia lupa bahwa Anjani seorang yatim piatu. Ia termasuk orang zalim yang tega menganiaya anak yatim yang di sayang oleh Tuhan. "Kamu lihat aku tadi? Kenapa kamu cuma diem jadi penonton?".

"Karena Kirana gak nyakitin kamu sama sekali, lain ceritanya kalau dia dorong kamu bahayain nyawa anak-anak kita". Anjani paham kebaikan Satrio hanya sebatas menyangkut anak mereka. Bukan tulus karena peduli pada Anjani. Memang apa yang ia harapkan, Satrio berubah cepat mencintainya, setia tak berkhianat kembali. Semua itu mungkin terwujud jika Anjani menemukan jin dalam botol yang keluar jika di gosok-gosok alias mustahil.

Tapi Anjani lupa kisah aladin mungkin saja nyata, dan mungkin saja hati Satrio suatu saat nanti hanya ada ukiran namanya seorang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top