(12)
Satrio tak pernah semarah ini pada Anastasia. Perempuan berwajah blasteran Rusia itu hampir saja mencelakakan anak-anaknya. Tanpa ijin dari Satrio, berani-beraninya dia menyerang Anjani hingga mendorongnya. Untung anak-anaknya kuat.
"ANA.... ANA.....!!". Teriaknya marah.
Satrio mencari Anastasia di ruang tamu, dapur, balkon tapi perempuan berbadan langsing itu tak ada. Hanya tinggal satu ruangan yang belum di jamahnya yaitu kamar tidur.
Brakk
Ana yang sedang bercermin terkejut mendengar pintu yang di buka dengan kasar. "Ana, kamu ngapain ke restoran dan bertengkar sama Anjani?".
Ana yang mendengar nada ucapan Satrio lebih kasar dan keras dari biasanya melotot marah. "Kenapa kamu marah? Kamu gak lihat aku?". Ana menunjukkan luka cakar di bagian pipinya dan luka lebam di lengan kanannya.
"Istri kamu kayak preman nyerang aku duluan!! Dia cakar aku, pukul sama jambak aku!! Sakit, sat". Jawabnya dengan suara yang DU buat semanja mungkin.
Satrio bingung harus di pihak yang mana, keduanya sama-sama terluka. Siapa sebenarnya yang bersalah, Anjani dilarikan ke rumah sakit atau Ana yang tubuhnya penuh dengan luka. "Kamu kenapa ke restoran, kenapa kalian berkelahi?".
Anastasia memilin gaun sutranya, ia bingung menjawab jujur atau tidak. Jujur saja toh tak mungkin Satrio marah padanya. "Aku ke sana sengaja mau ketemu Anjani, mau bales sakit ati waktu kemarin dia mempermalukanku. Niatnya aku cuma adu mulut aja tapi pas ku bilang anak di kandungan Anjani, hak asuhnya bakal di kamu. Dia marah terus nyerang aku"
"Kamu gak seharusnya ngelakuin itu, dimana otak kamu bisa dorong Anjani yang lagi hamil?". Anastasia tak menyangka Satrio akan semarah ini sampai terlonjak dan mundur beberapa langkah ke belakang.
"Aku cuma membela diri sat, lagi pula bener kan kalau setelah cerai anak Anjani akan jadi anak kita?".
Satrio yang sudah lelah seharian ini menghempaskan tubuhnya di pinggir ranjang. "Aku belum bicara sama Anjani, aku belum buat kesepakatan dengan dia atau gak akan pernah setelah kamu nyerang dia. Aku ingin anak itu tapi tak mungkin memisahkan mereka bertiga".
Satrio terhenyak saat Anastasia memegang bahunya, mengguncangnya sedikit." Aku gak suka kamu yang plin-plan, kamu laki-laki. Harusnya bisa tegas!!".
"Dengan memaksa Anjani menyerahkan bayinya? Mendesaknya saat ini sama saja membahayakan janinnya".
"Lalu? Diam menunggu bayi itu lahir dan semakin dekat dengan Anjani. Bayi itu akan semakin jauh dengan kamu". Satrio menyugar rambutnya yang kusut, sekusut otaknya. Di dalam hati kecilnya, Satrio tak tega jika mengambil anak-anak dari tangan Anjani tapi bagaimana kalau ia minta satu tak masalah kan? Anjani juga tak bisa serakah memiliki keduanya untuk dirinya sendiri.
"Lalu kamu membenarkan tindakan kamu yang melukai Anjani?". Anastasia kaget sedari tadi Satrio tak membelanya. Ketakutannya datang, bagaimana Satrio malah pergi meninggalkannya. Anastasia tak sanggup membayangkan akan hidup di negara ini sendirian tanpa jaminan dari siapapun. Dengan membanting harga dirinya jauh-jauh, ia akan meminta maaf.
"Sorry sat, maaf. Aku cuma membela diri karena Anjani nyerang aku duluan. Aku gak tahu kalau bakal nglukain bayinya juga. Kamu tahu kan kalau aku juga sayang sama anak kamu karena dia bakal jadi anak aku". Satrio mengangguk paham tapi ketika Anastasia akan menarik lengannya, Satrio menghindar. Laki-laki itu malah berjalan keluar kamar.
"Kamu mau kemana, sat?". Tanya Anastasia dengan nada yang di buat selembut mungkin.
"Mau pergi".
"Kamu nggak mau nemenin aku?".
"Enggak, Anjani lagi butuh aku di rumah sakit". Raut muka Anastasia yang di buat selemah mungkin berubah tajam. Baru kali ini ia di nomor duakan dari Anjani. Ingin melarang Satrio beranjak tapi dia takut di anggap tak tahu diri.
🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
Anjani yang sudah sadar sedari tadi hanya diam, malas membuka mata. Ia terlalu malu menemui Yama yang kini tengah duduk di sofa menunggunya bangun. Anjani yang Yama kenal adalah gadis kuat, ceria dan bahagia tapi pertengkarannya dengan Anastasia memusnahkan pandangan Yama tentang dirinya. Rumah tangganya bobrok, tak bisa di selamatkan.
"Kamu butuh sesuatu Anjani?". Tanya Yama yang melihat mata Anjani sudah terbuka lebar.
Anjani putuskan untuk membuang rasa malunya. Yama sudah terlanjur tahu toh pasti mereka akan bertemu nanti.
"Aku mau minum". Dengan telaten Yama mengambilkan segelas teh manis yang sudah di lengkapi dengan sedotan.
"Kamu kok masih di sini? Suami aku mana?". Menyadari sesuatu, Anjani mengatupkan bibir. Ia tak cukup berharga untuk Satrio perdulikan malah ia merasa bodoh jika menanyakan keberadaan suaminya.
"Suami kamu....".
"Dia gak datang, ya? Aku gak cukup berharga untuk di khawatirkan". Anjani menundukkan pandangan ke bawah. Ia melampiaskan sakit hatinya dengan meremas seprei putih yang menjadi alas tidur. Meski Satrio sudah sering menyakiti hatinya, tapi entah rasanya masih sama sakit seperti terhunus pedang panjang. Anjani lupa rasa cinta bertepuk sebelah tangannya bercokol dengan kuat sulit ia hilangkan, hanya tertutupi dengan semua rasa kecewa.
Bagi Yama lebih baik Anjani menangis tersedu-sedu menumpahkan yang ia rasa. Tapi sahabatnya itu hanya menunduk tanpa bicara sepatah katapun. Yama tahu kekecewaan Anjani yang mencoba perempuan itu telan bulat-bulat.
"Dia tak sebaik yang aku ceritakan atau memang aku berusaha menutupi semuanya. Aku malu Yama, kamu tahu masalahku".
"Kenapa harus malu, bukankah masalahmu juga masalahku?". Anjani menarik bibirnya sedikit. Yama tak berubah, ia masih sama dengan Yamato Bagasakara, sahabat kuliahnya dulu. Dengan keberanian penuh Anjani mendongakkan kepala. Menghadapi mata Yama yang menatapnya iba. Anjani tak suka bila di kasihani.
"Dongeng pernikahan yang sering kita bahas dulu tak seenak kenyataannya. Aku kira perempuan cukup hanya di beri keterampilan memasak,membersihkan rumah dan mengurus anak serta suami. Tapi ada kalanya bagi perempuan cukup bagi para laki-laki belum". Anjani menarik nafas, karena hidungnya terasa sesak menahan lelehan ingus, matanya mulai berair.
Air mata bukan wujud dari sebuah kelemahan tapi ia adalah wujud sebuah kekuatan dari seorang wanita. Karena dengan menangis seolah semua beban hati terluapkan.
"Perempuan juga harus di tuntut cantik dan pintar membawa diri. Aku tak bisa memberi itu semua untuk mas Satrio. Aku bukan perempuan yang ia inginkan. Aku kira pengabdianku cukup tapi nyatanya sejak awal cinta yang aku tunggu proses berbunganya nyatanya malah layu".
Yama hanya jadi pendengar yang baik. Ia ingin melampaui batas kesopanannya dengan merengkuh tubuh Anjani tapi nalarnya tak mengijinkan Yama untuk melakukan itu.
"Satrio, suamiku jatuh cinta dengan perempuan lain. Anastasia, perempuan yang kamu lihat datang tadi. Aku tahu diri sejak awal aku yang terlalu berharap tinggi dengan pernikahanku. Yang tersisa dariku kini hanya anak-anak ini". Anjani mengusap perutnya lembut. "Aku bertahan untuk bercerai menunggu kalau ada keajaiban jika suatu saat aku bisa memberi keluarga utuh untuk anakku. Namun harapanku semakin ke sini semakin tergerus tipis".
"Tetap saja Satrio salah menghadirkan orang ketiga di antara kalian? Harusnya kalau sudah menikah. Dia pegang sumpah pernikahannya, pegang ucapannya". Nyatanya semua tak sesederhana yang mereka kira. Janji pernikahan yang di ucap tak dari hati berakibat fatal. Mereka menikah karena di jodohkan, tak ada cinta. Mungkin pula Satrio saat mengucap ijab kabul tak sepenuh hati.
"Tak semua laki-laki bersikap ksatria, Yama".
"Dan kamu tak menuntut sikap itu dari Satrio?". Anjani menggeleng lemah. Hidup tak melulu sesuai dengan apa yang kita mau. Anjani lebih banyak menelan kekecewaan. Ia sering di tolak, sehingga tak berani menuntut.
"Aku heran kenapa Satrio tak bisa mencintaimu? Kamu perempuan yang di butuhkan setiap laki-laki".
Dengan berani Yama menggenggam tangan Anjani. Mengesampingkan bahwa wanita ini nyatanya masih memiliki suami. Ia akan melanggar norma-norma kesopanan kalau perlu. "Jika suatu saat datang hari di mana kalian akan berpisah maka aku yang akan menyambutmu, tangan ini yang akan membawamu menjemput yang di namakan kebahagiaan".
Anjani malah tertawa mendengar kata-kata Yama yang terdengar seperti sebuah canda. Ia tak pernah peka malah menumpukkan satu tangannya di atas tangan mereka. "Itu pasti karena saat aku ingin menangis pasti aku mencari kamu".
"Ehmm... ehmmm... ehmmm". Ada suara bariton laki-laki yang berdehem dari arah pintu. "Aku gak ganggu kalian kan?".
"Enggak, aku kira kamu gak datang".
"Aku udah datang dari tadi tapi aku keluar beli semua kebutuhan kamu dan makanan". Satrio melirik kedua tangan mereka yang saling menumpuk. Ada sengatan aneh di hati Satrio tatkala melihat keduanya saling melempar senyum. Satrio sudah datang dari tadi, Ia juga mendengar apa yang mereka bicarakan. 'Menjemput bahagia', kata yang menggelikan. Yama seperti hendak melamar perempuan saja.
Sedang Anjani yang teringat perkataan Anastasia jadi was-was dengan kehadiran Satrio. Ia menarik selimutnya sampai ke perut untuk melindungi kandungannya karena takut diambil. "Yama, bisa kamu tinggalkan kita berdua?".
"Iya, dari tadi kamu gak pergi-pergi".
"Bisa, aku akan pergi karena Anjani yang minta". Yama menarik kursinya. Berjalan menyeret kakinya untuk pergi dari sana. Meski khawatir Yama sadar tak ada hak untuk mengganggu suami istri itu.
Setelah Yama tak terlihat lagi, Satrio mendaratkan pantatnya ke kursi yang Yama duduki tadi.
"Kamu enggak apa-apa?".
"Jangan sok khawatir".
"Aku beneran khawatir, sama mereka ". Ketika Satrio hendak memegang perut Anjani. Anjani menepisnya kasar.
"Jangan sentuh mereka, mereka cuma milikku". Satrio cukup kaget dengan sikap keras Anjani. Apalagi kini istrinya itu memeluk perutnya dengan posesif.
"Mereka juga anakku kalau kamu lupa".
"Dan itu sebabnya kamu akan mengambil mereka?". Tanya Anjani dengan nada sinis.
"Mereka ada dua, kita bisa membaginya". Mata Anjani yang sipit nampak membulat tak percaya. Ia tak pernah ingin membagi anaknya dengan siapapun. Satrio tak punya hak apapun, haknya hilang ketika ia memberi Anjani sebuah restoran sebagai konpensasi.
"Gak akan aku kasih anak aku ke kamu, mereka akan hidup denganku!! Kamu bisa punya anak sendiri dengan Anastasia, gak perlu anak aku". Bisa saja itu terjadi tapi entah kenapa melihat mereka saat USG tadi, Satrio sadar mereka anak-anak istimewa. Ia juga ingin memilikinya walau hanya satu.
"Kalau begitu, kita buat lagi adik mereka. Kamu akan membawanya sebagai pengganti". Anjani melotot marah. Ia melemparkan bantal tepat di arah wajah Satrio.
"Satrio brengsek, aku gak mau punya anak sama kamu lagi!! Cukup twin aja!!kamu bikin aja sana sama Anastasia. Dasar laki-laki kardus gak tahu diri". Dengan kesal Anjani mengamuk. Emosinya terguncang, ia pusing menghadapi Satrio. Enak banget dia ngomongnya.
"Berhenti Anjani, rambutku bisa rontok!!". Tak cukup memukul, Anjani juga menjambak. Ia kesal bukan main dengan tingkah menyebalkan suaminya. Tiba-tiba ia terisak, dasar hormon kehamilan yang tak tahu tempat.
"Kalau kamu ambil mereka aku gak mau hidup lagi".
Satrio sadar, menekan Anjani dalam keadaan mengandung bisa membahayakan janinnya. Ia memeluk tubuh Anjani untuk merapat ke tubuhnya.
"Kenapa kamu mau ambil anakku? Kenapa? Apa kamu belum puas membuat aku menderita?". Anjani semakin terisak-isak di pelukan Satrio. Rasa bersalah Satrio semakin bercokol hebat.
"Aku gak akan ambil mereka, mereka milik kamu semua". Sekarang bukan waktunya untuk berdebat dengan Anjani. Satrio lebih mengutamakan kesehatan ibu dan anaknya. Ia mengeratkan pelukannya, membiarkan Anjani bersandar. Karena aroma tubuh Satrio ang menenangkan, Anjani jadi tertidur.
Kenapa hati Satrio berdesir aneh saat memeluk Anjani. Ia nyaman dan seperti menemukan rumahnya kembali. Sudah lama sekali Satrio tak merasakannya, ia ingat saat paling menyenangkan dengan Anjani. Saat perempuan itu selalu menyambut dirinya sehabis pulang kerja, saat Anjani tersenyum ketika menyiapkan makan, saat Anjani bersenandung riang ketika menyiram tanaman.
Kenangan-kenangan itu bagai badai yang menggulung pikiran Satrio yang berkecambuk. Satrio bukan tak pernah melihat ke arah Anjani. Ia selalu mengamatinya hanya saja apa yang ia inginkan tak ada di Anjani. Namun Satrio lupa kadang Tuhan memberi apa yang kita butuhkan, bukan inginkan.
🌳🌳🌳🌳🌳🌳🌳🌳🌳🌳🌳🌳🌳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top