[Sepatah Kata] - 6
Berpikir. Berpikir. Pikiran Abay benar-benar kacau karena omelan Lenny. Yanuar sudah lebih dulu memasuki rumah yang tampak sepi itu. Tidak ada siapapun selain anjing. Bahkan keberadaan pembantu rumah tangga sekalipun nihil. Bagaimana caranya Abay bisa menyusul Yanuar?
Ah, menjadi makhluk halus yang terjebak dalam tubuh manusia itu benar-benar merepotkan. Badannya tidak bisa tembus sana-sini. Apalagi jika atasannya terus mengomel lewat sambungan alat komunikasi di telinga.
Bunyi klakson berulang-ulang pun membuyarkan pikiran Abay. Seorang wanita turun dari mobil Xpander miliknya.
"Siapa kau? Mau apa kau ke sini?"
Abay gemetar. Wanita dengan tahi lalat di dagu itu semakin dekat. Apa jangan-jangan wanita itu pemilik rumah? Wanita tinggi semampai itu langsung memeriksa kondisi anjingnya.
"Apa yang kau perbuat dengan anjing peliharaanku?"
Mampus. Kenapa anjing itu mendadak stres? Abay tidak melakukan apapun. Sebelum wanita itu menghampirinya, untung saja Lenny turun dari mobil.
"Saya Lenny dari Asosiasi Sektor Kopo. Maafkan atas kelancangan anak buahku. Dia masih pemula."
"Asosiasi? Memangnya ada masalah apa sampai Asosiasi harus datang kemari?"
"Kami sedang menyelidiki perihal teror di rumah keluarga Supriatna. Apa Nona mengenal korban?"
"Pak Pri yang tinggal di sebelah rumah? Tentu saja. Mari kita bicarakan di dalam."
Wanita itu mempersilakan mereka masuk. Wanita itu Novita Sari, 35 tahun, seorang pialang saham. Rumahnya terlalu besar untuk ukuran seorang wanita lajang. Tak ada seorangpun pembantu di sana. Semua perabot di dalam rumah tertata rapi dan bersih. Abay terpaku dengan keberadaan benda hitam yang bergerak-gerak di lantai. Penampakan? Bukan. Itu robot pembersih lantai.
Selagi Lenny bertanya pada Novita, Abay menelisik bagian terdalam rumah. Deretan komputer menyala di sebuah ruangan dekat ruang tamu. Tampilan grafik di layar persis seperti diagram dalam soal Matematika dan Ekonomi. Semua monitornya menampilkan hal serupa. Apa itu mining bitcoin? Abay kurang paham soal itu.
Yanuar memberi isyarat untuk mengikutinya ke belakang rumah. Bagian belakang rumah benar-benar layaknya bioskop mini dengan perabot serba minimalis. Pemuda udik itu benar-benar terpana dengan keadaan di dalam sana. Bayangkan saja duduk manis menonton semua film setiap hari, apalagi film Laura Basuki, tanpa harus mengantre di bioskop.
Semua ini benar-benar mencurigakan. Memang benar ada jutawan di usia semuda Novita. Hampir sebagian besar di antara mereka merupakan selebritis dan pengusaha. Harga rumah di area Imam Bonjol mencapai milyaran. Berada di dekat pusat kota dengan ukuran di atas tipe 120 menambah harga jualnya.
Seorang pialang saham sekalipun belum tentu bisa membelinya tanpa terjerat jaringan prostitusi elite, penjualan ginjal, apalagi ... hush. Jangan menuduh sembarangan. Ini akibatnya tidak bisa mencerna antara realita dan plot film. Bisa saja Novita membeli rumah di sana dari tabungan hasil jerih payahnya.
Sebuah pintu yang tidak tertutup rapat menggelitik rasa penasaran Abay. Sebuah kamar kosong di dekat ruang home theater berada di baliknya. Apa mungkin itu ruangan yang Yanuar maksud? Benar. Yanuar jauh lebih dulu berada di sana.
Sekilas, ruangan itu persis seperti ruangan rahasia berisi koleksi barang antik. Radio tua, koleksi vinyl musisi populer yang terawat, botol anggur berusia tua, aneka perhiasan dengan permata bernilai mahal, tas Ermes persis punya Angel Lelga (setidaknya Abay pernah melihatnya di berita), dan semua barang mewah berharga fantastis.
Di balik koleksi barang mewah dalam lemari kaca, tersimpan barang-barang bertuah. Dupa harum dan batang cendana berada di samping keris mini. Sebuah foto berada di depan keris mini penuh sesaji yang masih baru. Tidak salah lagi. Itu foto keluarga Elissa dengan percikan darah ayam di atasnya.
"Rupanya kita bertemu lagi di sini."
Abay berbalik. Sosok makhluk bermulut sobek berdiri di depannya. Jangan teriak. Pemuda itu mencari cara untuk melarikan diri.
"Lancang benar kau mengusik tempat ini."
Sosok persis goblin dengan tangan panjang nan keriput berusaha mengejar Abay. Yanuar lalu muncul mencegatnya.
"Pergilah. Cepat selamatkan Elissa!"
"Memangnya pemuda sepertimu bisa mengalahkanku?" tantang si sosok persis goblin itu.
Tangan bercakar tajam lalu menyerang sosok persis goblin di depannya. Sosok goblin itu tidak menyerah. Badannya langsung melompat tinggi lalu menyerang Yanuar dari atas. Selama ini penampilan Yanuar tak ubahnya remaja biasa. Ia kini menunjukkan wujud aslinya sebagai siluman macan kumbang.
"Cepat pergi!" serunya selagi menangkis dari dekat layar home theater.
Abay berlari menuju ruang tamu. Saat itulah Lenny memanggilnya.
"Abay? Kenapa kau berlari seperti itu? Memangnya ada yang kau temukan di belakang?"
"Nyonya, cepat pergi dari sini!"
Novita bertanya, "Lho. Kenapa kalian harus pergi secepat itu?"
"Sepertinya bawahanku sudah menemukan barang bukti di belakang rumah Nona. Kami di sini bukan untuk bertamu."
"Oh ya?" Pintu rumah Novita tiba-tiba membanting sendiri. Abay berusaha untuk mendobraknya, tapi terpental membentur tembok.
Lenny menyeringai. "Aku sudah menduganya. Bahasa tubuhmu terlalu tenang sebagai seorang saksi. Namun, ekspresi di wajahmu tidak bisa membohongiku. Kau sengaja menahan kami di sini untuk mengulur waktu, 'kan?"
Novita tertawa anggun. "Rupanya kau cerdik juga."
"Aku merasakan energi negatif yang kuat di sekitar sejak sampai di sini. Selain itu anjing peliharaanmu terus berisik. Abay juga tidak akan berbuat nekat jika tidak ada hal yang lebih menarik perhatiannya."
"Nyonya," Abay kembali terpental ke tembok. "Dia itu pengguna ilmu hitam!"
Sontak Lenny gemetar dibuatnya. Dia lalu mengambil napas dalam sebelum berkata, "Seharusnya aku berterima kasih pada bawahan biang kerok itu karena sudah menemukan pelakunya."
Barang-barang di sekitar ruang tamu bergetar, tak terkecuali robot pembersih lantai miliknya. Bagaimana ini? Pintunya tak bisa didobrak. Barang-barang kecil di sekitar ruang tamu beterbangan ke arah Lenny. Wanita yang sekilas sangat tenang itu tetap tidak bisa menyembunyikan kakinya yang gemetar.
"Nyonya!"
Sebuah dinding dari tanah menghempaskan semua barang di sekitar Lenny. Pemuda payah itu langsung mundur ke lorong menuju area home theater. Barang-barang pecah kini berserakan di sekitar dinding yang mengitari Lenny.
Dinding pelindung di sekitar Lenny pun hancur. "Tingkahmu persis remaja yang tak bisa mengendalikan dirinya."
"Kau pikir hal itu bisa membuatku takut?"
Jentikan jari Novita memancing teriakan dari rumah Elissa. Wanita itu tertawa seiring dengan jeritan melengking yang menjadi musik latarnya.
"Dengarkan jeritan orang-orang menyedihkan di sana. Itu akibatnya karena sudah menjatuhkan harga diriku."
Suara berdengung lalu masuk lewat sambungan alat komunikasi di telinga mereka. "Bu Lenny, gawat! Detektor mendeteksi ancaman skala 8 bahkan 9 di TKP!"
"Bagaimana? Apa kau ingin membiarkan mereka menderita? Mereka harus mendapat ganjarannya karena menentang perintahku!"
Bibir Novita komat-kamit membaca mantra di luar bahasa manusia. Benda-benda di sekitarnya kembali melayang bahkan berusaha menyerang Abay yang kembali melarikan diri. Lenny mengerahkan dinding pelindung di sekitar mereka.
"Nyonya. Bagaimana ini?"
"Cepat susul tim Andri sekarang!"
"Tapi, Nyonya. Pintunya gak bisa didobrak."
"Cari jalan keluar di sekitar sini. Gunakan halaman belakang atau kalau perlu panjati atapnya sekalian."
"T-T-Terus Nyonya gimana?"
"Dasar bodoh! Apa kau ingin melanggar perintah lagi? Cepat pergi!"
Dengan langkah kaki gemetar, Abay tinggalkan Lenny sendiri. Sesekali ia berbalik. Tidak. Abay harus menjalankan perintah. Ia nyaris saja terjengkang dengan serangan Yanuar yang salah sasaran.
"Maaf. Aku tidak lihat."
"Yanu, apa di belakang sana ada taman ato jalan pintas?"
"Seingatku ada."
Sosok persis goblin itu mengalihkan serangannya menuju Abay. "Kau pikir bisa lari dariku begitu saja?"
"Lawanmu itu aku!" balas Yanuar selagi membukakan jalan bagi Abay. Pemuda itu celingukan mencari jalan keluar. Ia lalu berlari menuju lorong di samping ruang home theater. Lorong itu menghubungkan langsung dengan ruangan di sebelahnya. Tangga menuju lantai dua di sebelah kiri Abay. Dapur dan ruang makan bergaya minimalis di samping kanan. Ada sebuah pintu kaca geser di samping area ruang makan. Abay langsung mendorongnya.
Sampailah Abay di halaman belakang rumah yang tertata rapi. Sebuah gazebo untuk nongkrong, tungku arang barbekyu, dan ayunan kayu berada di sana. Taman halaman belakang tertata rapi dengan hamparan rumput gajah dan pijakan dari batu alam. Abay mencari-cari tangga di sekitar halaman belakang. Nihil. Sebuah dinding tinggi membatasi halaman belakang rumah itu dengan rumah Elissa. Teriakan memekakkan telinga pun sampai pula ke sana.
Berpikir. Berpikir. Bagaimana cara untuk ke sana?
Memanjat? Dindingnya rata tanpa pijakan untuk memanjat. Tidak ada tangga juga di halaman belakang.
Apa yang bisa Abay lakukan sekarang? Eureka! Materi pelatihan dasar cenayang Asosiasi memberinya ilham.
Setiap cenayang pemula wajib menguasai dua jurus.
Pertama, Distorsi Batas untuk isolasi area TKP. Setiap kerusakan dari proses penyergapan tersangka dalam jurus itu tidak akan mempengaruhi dunia nyata. Dengan kata lain, minim uang ganti rugi.
Kedua, jurus untuk melarikan diri. Para cenayang tidak pernah tahu kapan dirinya terjebak dalam situasi genting. Salah satunya jurus Lompatan Kelinci. Jurus yang menggunakan manifestasi tenaga dalam berbentuk trampolin di kaki cenayang untuk kabur.
Apa bisa jurus itu membuat Abay melompat tinggi? Manifestasi yang tidak stabil membuatnya gagal melakukan jurus itu semasa pelatihan. Masa bodoh. Abay bertolak dengan mengerahkan tenaga dalam bertumpu pada kedua telapak kakinya. Lompatan trampolin membuatnya berhasil melewati dinding setinggi dua meter itu.
Masalah belum usai. Bagaimana caranya Abay mendarat? Abay seperti tokoh film kartun yang baru sadar jalan di depannya berubah jadi jurang.
Jika saja Ceu Edoh tidak mencuci seprai, selimut, dan bed cover hari itu, bisa saja Abay berakhir mati konyol. Kini Abay berusaha bangun setelah tersangkut di atas jemuran bed cover!
"Duh, pantat gue!" ucapnya selagi mengelus pantat yang terus berdenyut.
Saras, Andri, dan Jaka terdesak. Seisi rumah mendadak menjadi horor. Ceu Edoh terus bersiaga sambil menggenggam panci.
"Neng Saras. Bapak sama Ibu téh kunaon?"
Ceu Edoh gemetar bukan kepalang. Kedua majikannya lepas kendali. Mengambil pisau dari dapur lalu menyerang siapapun termasuk Ceu Edoh.
"Neng Saras."
Sejak tadi ketiga cenayang itu terdesak. Orang tua Elissa terus mengacungkan pisau ke arah mereka.
"Sial. Kenapa tiba-tiba korbannya kesurupan kabéh?" gerutu Jaka.
"Kita juga tidak bisa menyerang mereka," timpal Andri.
"Ha. Ini semua balasan karena gadis ini tidak menurut!"
Ceu Edoh tersentak ketika Elissa berdiri di pagar pembatas lantai dua. "Neng Eli!"
Teriakan Ceu Edoh dari dalam membuat Abay bergegas ke dalam. Dengan pantat cenat-cenut dan sedikit encok, pemuda nekat itu berlari menuju pintu belakang yang tidak tertutup rapat.
"Bay!"
Teriakan Saras menyambutnya. Begitupun dengan orang tua Elissa yang hendak menusuknya.
"Ras! Awas!"
Jika saja tidak ada panci di tangan Ceu Edoh, nyawa Saras takkan tertolong.
"Lo ke mana aja sih?"
Abay mengelus pantatnya. "Gue dari rumah sebelah. Nyonya Lenny lagi nangkep pelakunya di sana."
"Apa? Bu Lenny di sana sendiri? Bay, lu gak tahu Bu Lenny itu takut sama santet?" bentak Jaka.
"Dikirain itu cuman gosip."
"Oh, jadi kalian yang sudah mengganggu Sas dan Pita di sana?"
Ceu Edoh tersentak dengan perkataan sosok yang merasuki Elissa.
"Kenapa Ceu?"
"Anu ... tolong selamatkan Bapak, Ibu, sama Neng Eli!"
Para cenayang itu tidak tinggal diam. Jaka menggunakan Distorsi Batas. Saras terus melindungi Ceu Edoh. Sementara itu, Andri membantu Jaka menangkis serangan kedua orang tua Elissa.
"Ha. Lihat keadaan mereka sekarang. Saling bertarung satu sama lain. Ini akibatnya kalau berani menentangku."
"Lepasin Eli!" teriak Abay.
"Oh, pemuda lemah dan payah seperti dirimu hendak memerintahku? Memangnya siapa kau? Kau hanya kasta terendah dari rantai makanan!"
Perkataan itu membuat Abay meringkuk kesakitan. Penggalan demi penggalan ingatan berwarna hitam putih muncul dalam gerak cepat.
"Makhluk rendahan."
"Makhluk fana."
"Dasar tanah."
Perkataan demi perkataan terus terngiang di telinga Abay. Pemuda itu berusaha bangkit dengan bertopang pada kulkas di sampingnya.
"Bay, kalo lo sakit, jangan maksain diri!" bujuk Saras.
"Lepasin Eli!" ucap Abay selagi menahan sakit.
"Oh. Kau ingin gadis ini?"
Sosok makhluk halus itu membuat Elissa berdiri di atas pagar.
"Neng Eli! Sadar!" teriak Ceu Edoh.
"Ayolah. Kenapa kalian diam saja? Bukankah kalian ingin gadis ini?"
Sosok di dalam tubuh Elissa menyeringai. Dia terus berjalan-jalan di atas pagar.
"Tidak jadi? Ya sudahlah."
Sosok itu membuat Elissa melompat turun dari pagar pembatas lantai dua rumahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top