[Sepatah Kata] - 3

Tiga hari berlalu. Abay tersenyum setelah membaca pesan Lain dari Adnan. Kondisi Saras sudah membaik. Dokter pun sudah mengizinkannya pulang.

"Bay, seneng amet. Lagi nge-chat sama pacar ya?" goda Jaka.

Hari itu hanya ada Abay, Jaka, dan Andri yang bertugas. Saras masih izin karena kondisinya belum membaik. Lenny izin mengikuti acara orang tua murid di sekolah anaknya. Sementara itu, Malika masih ada kuliah di siang hari.

Jaka masih menonton tayangan konser idol favoritnya. Sesekali dia pindah ke Unit Pelayanan Masyarakat demi mencari gosip terhangat Asosiasi. Mulai dari kucing Maine Coon jantan peliharaan ketua Unit Keuangan yang kebelet kawin (tapi belum laku juga) sampai gosip kedekatan office boy outsourcing dengan polisi lalu lintas wanita.

Andri, seperti biasa, masih anak rajin di ruangan unit. Sesekali Andri membalas telepon dan ....

"Baik, akan kusampaikan pada mereka nanti."

Andri menutup telepon yang ada di sampingnya. Wajahnya kusut.

"Kenapa, Ndri? Kandungan bini lu masalah lagi?" tanya Jaka.

"Ada kasus baru yang masuk hari ini. Pelapornya seorang gadis dan orang dewasa. Bayu, bisakah kamu ikut aku ke sana?"

"Kenapa gak minta Bang Jaka aja?"

Andri mendelik ke arah Jaka, "Adanya malah lama buat ngegosip di sana."

Abay temani Andri ke ruang Unit Pelayanan Masyarakat. Ruang itu berada tepat di depan markas Asosiasi Sektor Kopo, tepat di balik pintu samping meja resepsionis. Tempat itu menjadi pemberhentian pertama bagi para penduduk untuk melapor. Mereka akan menunggu antrean di lobi lalu bisa melapor ke dalam secara bergilir.

"Hai, Andri. Di mana Bu Lenny?" tanya seorang cenayang pria berkulit sawo matang di mejanya.

"Beliau ada acara orang tua di sekolah anaknya. Beliau memintaku mengambil alih unit untuk sementara. Memangnya kenapa sampai harus ke sini segala?"

"Um. Masalahnya. Laporan korban tidak begitu jelas. Kupikir ada Bu Lenny di sana."

Ada tiga meja yang berderet di ruangan itu. Satu orang cenayang di unit itu menangani tepat satu pelapor. Jumlah pelapor hari itu jauh lebih sepi daripada biasanya. Abay condongkan sedikit badannya ke arah salah seorang pelapor yang menunduk. Pelapor itu bersama dengan wanita bertubuh gempal yang  familiar.

"Elissa?"

Gadis itu menoleh ke arahnya. "A-Abay? Kok di sini?"

"Gue emang kerja di sini kok."

"Kamu kenal dengannya?" tanya Andri.

"Ini Elissa. Dia teman SD-ku."

Andri mengambil berkas dari unit Pelayanan Masyarakat.

"Sebaiknya kita bicara saja di ruang interogasi agar masalahnya lebih jelas," bujuk Andri.

"A-Apa? In-terogasi?"

Selama ini interogasi di benaknya selalu berkaitan dengan adegan film yang barbar bahkan tingkah laku Lenny. Abay selalu kehabisan kata-kata bila harus bersama Lenny di ruang interogasi. Nada bicara menghentak, sesekali menggebrak meja, kalimat dengan kata-kata pedas, hingga aura di sekitar Lenny selalu berhasil membuat Abay bergidik.

Mulutnya berkomat-kamit agar Andri tidak seperti Lenny. Pasalnya Andri termasuk cenayang berkepribadian tenang. Aneh juga bila dia segahar seorang Lenny Marcellina di ruang interogasi. Terlebih lagi kondisi mental dan fisik Elissa saat itu kurang baik. Bisa-bisa dia pingsan dengan sekali pertanyaan.

Abay bersyukur. Ketenangan Andri tetap berada dalam batas aman. Berulang kali Ceu Edoh berusaha menenangkan Elissa di sana.

"Jangan gugup. Ceritakan saja semua hal yang mengganjal di benakmu. Kami akan membantu sebisa mungkin," bujuk Andri.

Elissa pun angkat bicara. Pantaslah Lenny mengangkat Andri menjadi asistennya. Dia tidak hanya cekatan dan rajin. Andri memiliki karisma seorang pemimpin dalam dirinya. Dia bahkan berhasil membujuk Elissa tanpa membuatnya tertekan.

Abay di sana merekam semua kesaksian Elissa dan Ceu Edoh dengan ponselnya dalam kekaguman. Mungkin suatu saat nanti dia ingin mengikuti jejak Andri di unit.

Laporan pun berakhir. Andri berterima kasih pada Elissa dan Ceu Edoh. Namun, gadis itu menahan Abay sesaat sebelum pamit pulang.

"Bay, udah baca pesan di Lain?"

"Pesan? Gue baru pegang HP lagi tadi kok. Kenapa?"

"Lupakan saja. Aku sudah laporin semuanya tadi."

Mata Abay menangkap sesuatu tak wajar dari diri Ceu Edoh. Kulit kecokelatannya memang tidak segelap Abay. Rona kulit dan wajahnya kini berubah menghitam. Tiba-tiba saja wajah pembantu gempal murah senyum itu berubah menyeringai. Abay mengerjapkan mata. Apa mungkin itu halusinasinya lagi? Rasanya Abay harus membuat janji terapi dengan Profesor Rachmat.

Keesokan harinya, para anggota unit Reserse mengunjungi rumah Elissa. Abay baru saja turun dari mobil dinas. Langitnya gelap, padahal hari itu cerah. Belum lagi seekor anjing menggonggong dari sebelah rumah Elissa. Namun, gonggongan anjing itu berubah di telinga Abay.

"Bahaya! Bahaya! Bahaya!"

Abay mengucek matanya. Langit kembali normal. Gonggongan anjing masih "guk guk guk".

"Bay? Kenapa?" tanya Jaka yang membuka pagar.

"Ta-Takut anjing, Bang."

Setidaknya dengan berkata jujur seperti ini, tak ada yang curiga. Toh memang Abay takut. Lebih tepatnya ia trauma karena sering dikejar anjing liar semasa kecil. Bahkan anjing itu memakan kucing peliharaannya hingga tersisa kepala saja.

Berbekal panduan Malika, dua cenayang laki-laki memasang alat di seluruh ruangan. Asosiasi memang gunakan bantuan teknologi untuk mendeteksi pergerakan makhluk halus lebih akurat. Malika duduk di ruang tamu dengan alat detektor sebesar buku catatan, tepat di meja ruang tamu rumah Elissa.

"Gimana hasilnya?" tanya Jaka.

"Berdasarkan polanya ...," Malika melongo di depan detektor. "Bang, alatnya rusak apa gimana? Perasaan tadi skala 6 ato 7 terus naik jadi 9?"

"Rusak apanya? Itu detektor versi baru kok."

"Kang Jaka, sini!" pinta Malika agar mendekat.

Pergerakan energi di depan layar membuat Jaka terdiam. "Bahaya nih. Ini emang beneran kiriman."

Jaka lalu memanggil Abay yang tengah mewawancarai Ceu Edoh di kamarnya.

"Kenapa, Bang?" tanya Abay.

"Coba deh periksa halaman belakang. Tadi Abang sama Malika," Tampilan pada monitor detektor energi negatif berubah sesaat. "Lho, kok ngilang?"

"Berarti bener kata Bu Lenny soal kiriman guna-guna," timpal Malika.

Jaka meminta Abay kembali memeriksa halaman belakang. Ia bersama Ceu Edoh menyelidiki tempat itu. Bisa saja bingkisan itu masih ada di sana.

"Punten, A. Ini téh mau cari apa?" tanya Ceu Edoh.

"Ceu Edoh pernah ketemu barang aneh-aneh gak pas waktu beberes rumah?"

"Gak ada, A. Da Ceu Edoh mah osok gatel kalo liat tempat berantakan sedikit."

Halaman rumah sangat bersih. Tak ada sehelai daun, ranting, bahkan bangkai kecoa pun di sana. Hidungnya mengendus bau busuk yang menyengat. Jauh lebih buruk daripada bingkisan yang Saras temukan.

"Ceu, nyium bau kayak bau busuk gitu gak?"

Ceu Edoh pun tutup hidung. "Aduh, A. Ini mah bau bangkai tikus!"

Berpandu embusan angin, mereka mencari sumber bau itu. Ceu Edoh menahan muntah. Begitupun Abay yang langsung menyingkir dari sekitar pohon kersen. Deretan pot berjajar rapi di sekitar pohon kersen. Keduanya bersihkan sumber bau busuk itu dan terperanjat.

Sebuah gundukan pasir berada di balik deretan pot. Aroma busuk itu berasal dari sana. Ceu Edoh langsung menggalinya. Terdapat sebuah bungkusan kain hitam di sana. Aroma busuk itu semakin tak karuan ketika Ceu Edoh mencongkelnya dengan sepotong lidi. Pasalnya ada belatung menggeliat dari bangkai tikus yang membusuk.

"Naha bisa ada bangkai tikus nya?"

Untung saja Abay belum makan. Bisa-bisa isi perutnya tidak jadi daging berkat aroma bangkai itu.

Tiba-tiba saja sebuah kejadian muncul di depan Abay.

Saat itu Ceu Edoh membersihkan rumah. Rimbunnya pohon-pohon mahoni kawasan Imam Bonjol dan halaman Elissa merintangi terik matahari di atas kepala. Ceu Edoh terpaksa membersihkan depan rumahnya lagi. Itu karena anjing milik tetangga membuang kotoran seenaknya di depan rumah sewaktu berjalan-jalan pagi hari.

Seorang pria bersepeda motor berhenti di depan rumah. Pria itu mrngambil bingkisan dari dalam tas yang terpasang di motor.

"Paket!" seru pria itu sambil menekan bel di dekat pintu garasi rumah Elissa.
Ceu Edoh yang baru saja istirahat langsung meninggalkan kamarnya.

"Ada apa, Pak?" tanya Ceu Edoh yang membuka pagar.

Pria itu lalu menyodorkan paket di tangannya. "Apa ini dengan rumah Pak Supriatna?"

"Iya. Ini téh rumahnya Pak Supriatna."

Pria itu lalu menyodorkan bon dan pulpen, "Tolong tanda tangan di sini. Ini untuk bukti paketnya sudah diterima."

Ceu Edoh lalu mengamati paket tersebut. Stiker barang pecah belah menempel di bungkusnya. Ceu Edoh menaruh paket itu dengan hati-hati di atas bufet.

Tepukan bahu Ceu Edoh menyadarkan Abay.

"Kunaon, A?" tanya Ceu Edoh.

"Ceu, boleh liat paket yang waktu itu dikirimin ke sini gak?"

"Paket? Tau dari mana, A, kalau Ceu Edoh dapet paket?"

"A-nu ... sekarang 'kan musim penjahat ngirim barang aneh-aneh ke rumah orang pake kurir. Takutnya itu bom, sianida, ato jin buang anak."

"Ya ampun, A. Kalo ngomong téh jangan suudon. Dosa!"

"Iya atuh, Ceu. Paketnya disimpen di mana?"

Ceu Edoh terdiam sesaat. "Pas Ceu Edoh bilang ke Bapak ada paket, sama Bapak téh paketnya disimpen di lemari. Soalnya isinya botol mahal."

Ceu Edoh tunjukkan botol itu. Ada sebuah lemari berisi aneka piring, mangkuk, gelas, dan botol hias yang ada di antara ruang keluarga dan dapur. Botol-botol itu sepertinya botol minuman keras. Tampak jelas dari labelnya yang utuh.

Memang ada kolektor sengaja mengoleksi botol minuman keras untuk jadi hiasan rumah. Mereka umumnya mengagumi bentuk-bentuk botol minuman keras—yang umumnya kosong dan dicuci bersih. Abay pernah berkunjung ke rumah saudaranya yang memiliki hobi serupa dengan orang tua Elissa. Zack Daniel, Chivas Royale, Marvell, dan beberapa botol anggur mahal yang mereknya asing.

Ceu Edoh menunjuk pada botol yang berada di barisan terdepan, pada bagian teratas lemari. Botol itu sangat cantik. Sekilas itu botol minuman keras dengan kaca kehijauan. Persis botol sampanye yang selalu atlet disemburkan setelah memenangkan kompetisi.

Entah kenapa, matanya tak berpaling dari botol itu. Seakan-akan ada suara berbisik yang memanggil kesadarannya.

"A? Liatin apa?"

Apa mungkin ....

"A, ngapain buka-buka lemari? Bapak paling gak suka kalau ada yang acak-acak koleksinya!"

Larangan Ceu Edoh selintas begitu saja di telinga Abay. Jaka yang melihatnya dari arah ruang tamu segera mencegatnya.

"Bang Jaka?"

"Lu mau kena omel Nyonya Lenny karena seenaknya langgar prosedur penyelidikan?"

Jaka ambil sapu tangan dari tas kecil di samping Malika.

"Mau ambil apa?" tanya Jaka selagi sodorkan juga sarung tangan lain pada Abay.

Abay pun raih botol kaca berwarna kehijauan itu dari bagian teratas lemari. Firasatnya pun mengisyaratkan untuk ambil botol hijau itu dari sana. Botol itu utuh dengan sumbat gabus dalam kondisi baik. Abay turunkan botol itu pelan-pelan dari lemari. Seketika seisi lemari itu bergoyang setelah botol itu diturunkan.

"A, botolnya mau diapain?" tanya Ceu Edoh.

Abay gemetar. Tangannya berguncang dan nyaris pecahkan botol di tangan. Botol itu bergerak sendiri di tangan Abay.

"Bang Jaka! Tolong!" rengek Abay. Sementara itu, detektor di depan Malika kembali bereaksi.

"Kang Jaka, hati-hati. Kadar energi negatifnya naik."

Jaka segera mengambil botol dari tangan Abay.

"Bang, botolnya isi apaan sih? Isinya cuman soda yang bisa muncrat, 'kan?"

"Bay, cepet bawa saksi pergi dari sini!"

"B-Bang Jaka. Jangan nakut-nakutin deh!"

"Cepetan pergi!" seru Jaka. Abay ambil langkah seribu mengikuti Ceu Edoh masuk kamar. Jaka pun gunakan jurus Distorsi Batas. Selebihnya, Abay tak tahu lagi. Ia menutup rapat pintu kamar Ceu Edoh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top