[Sepatah Kata] - 1

Rabu pagi. Hari itu murid-murid kelas 2 IPS 2 SMA 29 tengah mengadakan tes renang gaya bebas. Para murid laki-laki berjalan menuju kolam renang di samping gedung F, bagian belakang sekolah. Para murid berjajar sesuai dengan nomor urut mereka. Mereka lalu berdiri pada enam podium yang berjajar di depan kolam renang.

Abay bersiap memasang kacamata renangnya lalu melesat seiring dengan tiupan peluit guru Olahraga. Meskipun Abay seorang perokok dan jarang berlatih seperti dulu, dia masih menjadi murid tercepat untuk tes renang sesi pertama.

Seusai tes renang, Abay bertanya pada Adnan di ruang ganti murid laki-laki.

"Nan, Saras udah ke luar dari ICU?"

Adnan menutup pintu lokernya. "Kalo gak salah, udah deh. Kemarin aku habis anter Ibu ke sana."

Adnan lalu memberitahu tempat Saras dirawat. Kamar B 29 menjadi kamar tempatnya berbaring. Kondisinya sudah membaik, tapi Saras masih tak sadarkan diri.

Abay lalu mengunjungi Rumah Sakit Salam sepulang sekolah. Sejak tadi ia duduk di depan pintu kamar Saras. Dokter masih memeriksa kondisi fisiknya di dalam sana.

"Bay?"

Tidak biasanya Abay menolak keberadaan Malika. Mahasiswa mungil itu duduk di kursi lorong rumah sakit selagi dekap keranjang buah di pangkuan.

Andai saja Abay jauh lebih kuat, Saras bahkan Elissa tak perlu berakhir seperti ini. Apa daya pemuda keling itu. Jurus bertahan dasar saja belum ia kuasai betul. Hatinya bergejolak semata-mata tak ingin ada teman yang berakhir seperti ini lagi. Sejak tadi ia terus diam hingga Lenny duduk di sampingnya. Sementara itu, Jaka tengah menelepon di seberang sana.

"Nyonya, aku memang payah. Aku bahkan tak bisa melindungi Saras."

"Kenapa kau justru menyalahkan dirimu sendiri? Namanya juga musibah."

"Aku bahkan tak bisa melindungi diri sendiri apalagi Saras. Selama ini latihan yang kulakukan pun sia-sia."

"Jangan menekan dirimu seperti itu. Setiap orang itu memiliki kemampuan belajar yang berbeda."

Abay terisak. "Saras ... dia ... bagaimana aku bisa diam saja sementara aku tak bisa apa-apa, Nyonya?"

Air mata pun menitik di atas celana seragamnya. Apa gunanya seorang teman bila tak bisa melindungi satu sama lain? Abay tak bisa hidup seperti ini lagi.

Lenny lalu menepuk bahu Abay. "Sudah, jangan menangis lagi. Saras pasti akan baik-baik saja."

Abay seka air mata. Mereka masuk setelah dokter tinggalkan ruangan. Saat itu, ada Mami di dalam sana. Wanita berparas indo itu bertanya pada Abay.

"Abay? Kenapa? Kok nangis?" tanya Mami.

"Sepertinya Abay menangis karena keadaan putri Nyonya. Kulihat dia sangat peduli pada Saras," timpal Lenny. "Maaf bila saya belum memperkenalkan diri. Saya Lenny Marcellina, atasan Saras di Asosiasi. Kami kemari untuk membesuknya."

"Oh, atasannya Saras ya. Saya tinggal dulu ke kantin sebentar ya. Tolong jaga Saras sampai saya kembali," pinta Mami.

Mereka lalu memasuki ruangan rumah sakit. Ruangan kelas I itu benar-benar rapi. Saras terbaring sendiri di dalam kamar dengan rangkaian bunga dan aneka makanan di atas meja. Saras masih belum sadarkan diri. Selang infus masih menancap di pergelangan tangannya. Peralatan medis yang selama ini menyangga hidup pun berkurang. Abay taruh keranjang buah di atas nakas.

"Ras, bangun dong. Kapan kita main sama nonton bareng kalo lu pingsan mulu?"

"Cie yang nonton bareng," goda Malika. "Kalian berdua pacaran nih?"

Abay putar bola mata ke atas. "Um ... gak. K-Kami emang temenan dari SD kok."

"Temen apa temen?"

"C-Cing demina!" seru Abay. "La-Lagian kita-"

Malika condongkan wajah hingga Abay mati kutu! Mahasiswi mungil itu menyeringai.

"Apa jangan-jangan kamu naksir ya?"

Jemari Saras mengulat di atas ranjang. Jaka yang di dekatnya pun tersentak.

"Sut, jangan berisik. Saras jadi bangun!"

Dahi Saras berkedut. Para cenayang di sana pun bersiaga. Saras perlahan membuka mata.

"Duh, silau banget. Kok badan kerasa pegel-pegel ya?"

Mata Saras kembali fokus. Para cenayang berdiri di sekitar ranjangnya.

"Lho, kenapa ada Bang Jaka, Nyonya Lenny, Abay, sama Teh Malika?"

"Abay bilang kau kritis di rumah sakit," ucap Lenny.

"Di mana Bang Andri?"

"Andri lagi temenin istrinya periksa kandungan," jawab si plontos Jaka.

Abay tersenyum ke arah Saras. Gadis itu masih pucat. Nada bicaranya masih lemah. Mereka saling berbincang layaknya di ruangan unit selagi sepi. Abay dan Jaka masih saja mengusili si mungil Malika. Lenny dan Saras bicara soal hal lain.

"Abay bilang ada yang menyantetmu."

Gadis itu mengerjapkan mata berulang-ulang. "Santet? Saras kena santet?"

"Berdasarkan semua gejala korban santet yang pernah kutemui selama bertugas, perkataan Abay memang benar. Apa ada hal yang memicu masalah itu atau pernah bermasalah dengan seseorang?"

Saras menggeleng.

"Sebaiknya kau beristirahat penuh dan tetap waspada. Pelaku bisa berada di sekitarmu kapan saja. Jika saja kau diserang di markas, Asosiasi bisa langsung menangani kasusmu."

Sabtu pagi, Abay hendak menjenguk Saras bersama dengan Adnan. Tiba-tiba saja tujuan mereka menyimpang ke sebuah toko bunga, masih sekitar Marga Asih. Pemuda berponi klimis itu sejak tadi terus memilah-milah bunga segar di etalase.

Abay menepuk bahu Adnan. "Cie yang mo ngasih hadiah ke si doi."

Sontak hal itu membuat Adnan tersipu. "Bay, Saras lagi kena musibah. I-Ini bukan saat yang tepat."

"Iya. Gue tahu kok."

Sementara Adnan masih memilih bunga dengan pramuniaga di depannya, Abay membeli makanan. Bayangan hitam sekelebat berlalu di dekatnya. Ah, barangkali itu bayangan mobil yang melintas.

Abay lalu kembali ke toko bunga. Hiasan bunga pun sudah jadi. Mereka lalu ke rumah sakit dengan motor Adnan. Hari itu, keluarga Saras tengah berada di sana.

Pria berkacamata itu Papi, ayah Saras yang juga seorang manajer salah satu bank plat merah. Wanita berpenampilan elegan di sampingnya itu Mami. Ibu Saras memang seorang desainer yang membuka jasa via internet. Pria bertubuh tegap itu pasti Arif, kakak tertua Saras yang juga tentara. Tampak sudah dari potongan rambut pendek yang menjadi ciri khas. Pria dengan kemeja polo kedodoran yang duduk di samping Saras itu Wildan. Berulang kali Saras tertawa berkat candaannya. Toh Saras memang akrab dengan kakak ketiganya.

"Eh, ada Abay sama Adnan!" seru Mami. "Kapan datengnya?"

Mereka berdua lalu memberi salam pada keluarga Saras.

"Barusan, Bi," jawab Adnan.

Adnan memang dekat dengan Mami. Itu karena persahabatan di antara kedua orang tuanya sejak SMA. Mereka sibuk berbincang sementara Abay dekati Wildan.

"Widih, si Abay bawa makanan banyak nih!" seru Wildan.

Abay menaruh makanan di atas nakas. "Ini buat yang sakit. Bukan buat Bang Wildan."

Abay memang dekat dengan Wildan dibandingkan dengan anggota keluarga Saras yang lain. Itu karena mereka sering bertemu di tempat futsal langganan. Meskipun begitu, mereka jarang bertanding futsal bersama.

"Bay, hayu atuh futsal!" ajak Wildan.

"Nanti aja, Bang. Nunggu Saras sembuh dulu."

"Biar ada yang bawain bekel makan juga ya?"

"Abang mah," ucap Abay sambil melirik ke arah Adnan. Jangan sampai Adnan mendengar perkataan Wildan tadi.

Orang tua Saras dan Arif pun mendekati pintu kamar Saras.

"Dan, Papi titip Saras ya. Papi, Mami, sama Bang Arif mau ke undangan dulu."

"Iya, Pi. Hati-hati," balas Wildan.

"Adnan, Abay, Tante pergi dulu ya! Kalau ada apa-apa, minta tolong saja sama Wildan."

Pantas saja mereka kenakan pakaian rapi. Wildan berkata mereka akan pergi ke acara pertunangan adik ipar Arif. Perut Wildan pun bergemuruh. Ini sudah jam 11. Ia belum makan dari pagi.

"Ras, Abang tinggal beli makan dulu ya."

"Eh, Bang! Ikut dong!" balas Abay.

"Terus siapa yang jagain Saras?"

"Ada Adnan, Bang," ucapnya selagi layangkan isyarat lewat lirikan mata. "Aku juga laper. Kak Ressa pergi sama Ayah jadi belum masak."

Dalam hati, Abay tersenyum. Akhirnya ia bisa tinggalkan Adnan bersama Saras di dalam sana. Tidak sampai setengah jam, Abay kembali ke kamar Saras. Pemuda itu tersenyum ketika Adnan semakin dekat dengan Saras.

"Nan, gimana?" goda Abay.

"Gimana apanya? Keburu ada dokter sama suster periksa Saras."

Saras memutar bola matanya, "Jadi, lo sengaja ngikut abang gue karena ini?"

"Kalo di film-film sih, cara ini efektif buat PDKT!"

Sebuah cubitan mendarat di lengan Abay.

"Gini nih efek kebanyakan nonton film romantis! Pikirannya cinta-cintaan mulu!"

"Sut. Jangan berisik! Kasihan pasien di kamar sebelah," lerai Wildan yang baru saja datang. "Ras, Abang minta apel satu ya."

"Ambil aja, Bang."

Wildan pun izin pamit dengan membawa sebagian makanan di atas nakas. Sementara Wildan pulang, kali ini Elissa yang datang membesuk. Gadis itu datang sendiri, dan lagi-lagi, membawa banyak makanan.

"Ras, kamu gak apa-apa, 'kan?"

"Udah agak mendingan sih, El. Tau dari siapa dirawat di sini?"

"Abay yang ngasih tau."

Abay palingkan wajah. Ia kembali bicara dengan Adnan yang duduk di sofa.

"Aku minta maaf, Ras."

"Lho, kenapa harus minta maaf? Namanya juga musibah."

Kedua gadis itu sibuk berbincang. Badan Saras berkilau. Abay berkedip. Ini memang bukan salah lihat. Saat itu, Saras pun meringkuk di atas ranjang.

"Ras!"

Abay bergidik bukan main. Pecahan kaca dan ujung paku mencuat dari perut Saras. Piyama rumah sakit di tubuhnya tak koyak apalagi berdarah. Rasa sakit di hadapannya cukup membuat Abay ngilu.

"Ras, tombol daruratnya di mana?" tanya Adnan.

"Cari aja ... di kasur!" ucap Saras selagi mengelus-elus perutnya. Tidak. Paku dan beling itu kini menyembul dari balik piyama. Saras tak hentinya mengerang. Sontak Elissa seka darah yang tak hentinya memercik dari bibir Saras. Adnan berulang kali tekan tombol darurat yang baru saja ditemukan di antara celah ranjang.

Lagi-lagi Saras berusaha mengelus perutnya yang terus berkontraksi. Abay banting tangan Saras.

"Lo kalo mo narik gak usah pake tenaga dalem, Bay!"

"Kalo lu tetep pegang perut, adanya tangan lu bakalan berdarah!"

"Berdarah apanya, Bay?" timpal Adnan. "Emangnya Saras pegang silet?"

"Gue serius, Nan! Ada yang sengaja nyiksa Saras!"

Tidak ada cara lain. Abay membuka paksa kancing baju Saras. Ia mencerabuti satu persatu paku dan beling yang ke luar dari perut Saras. Adnan dan Elissa tersentak dengan ulah nekat Abay.

Rintihan Saras semakin kencang. Dokter pun belum kunjung datang. Kamar Saras berada di lantai tiga rumah sakit. Pasti butuh waktu untuk mencapainya.

"Lo pikir karena temen bisa seenaknya grepe-grepe gitu?!" bentak Saras selagi menggeliat. Rasa sakit semakin tidak tertahankan lagi. Paku dan beling yang keluar terus bertambah banyak.

"Diem, Ras!"

Ledakan hawa dingin menurunkan suhu di sekitar kamar Saras. Abay lalu merampas sapu tangan Elissa. Ini perkara antara hidup dan mati. Abay tarik sepotong beling yang juga menancap di tangan Saras. Darah pun menitik di atas piyama Saras.

"Bay, tangan lo kenapa?"

Abay meringis. Potongan beling di tangannya sebesar silet dan berujung runcing. Masa bodoh dengan luka di tangan. Tidak boleh lagi ada teman yang terluka di depan Abay. Keberadaan potongan beling di atas sapu tangan membuat Adnan dan Elissa terdiam.

"B-B-Bay, i-itu beneran beling? Da-Dari mana?" tanya Adnan.

"Perut Saras. Cing demina, Nan!" balasnya selagi menahan tusukan paku di tangan kirin. Kini kedua tangan Abay berlumur darah. 

Bel darurat di tangan Adnan pun terjatuh. Pemuda itu pingsan di dekat ranjang Saras. Sementara itu, Saras tercengang dengan banyaknya paku dan potongan beling di atas sapu tangan.

"Tahan sedikit. Gue gak bisa nyabutin kalo lu banyak gerak kayak gini."

Berulang kali Abay merintih menahan pedih demi mencabuti satu persatu benda tajam di perut Saras. Mata Saras berkaca-kaca. Potongan beling kembali menusuk tangan Abay. Pemuda itu mencabuti pecahan beling di tangannya yang mulai gemetar.

"Udah, Bay. Kenapa lo sampe segitunya?"

Abay memaksakan diri untuk tersenyum. Tangannya mulai tak bisa menggenggam potongan benda tajam karena terluka. "Gue cuman pengen ngeliat lu sembuh. Itu yang bisa gue lakuin sebagai seorang teman."

Abay menunduk sesaat selagi bertopang pada dorongan brankar yang berdarah. Paku berlumur darah jatuh dari tangan Abay. Tak bisa. Jika Abay tak bisa mencabut lagi dengan tangan kanannya, ia paksa dengan tangan kirinya.

Sementara itu, Elissa gemetar. Sepertinya kejadian itu mengacaukan akal sehatnya.

"El, punten pisan. Kalo emang lu peduli sama Saras, tolong cerita. Bukannya kita ini temen?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top