[Rumah Sakit Tua] - 3

Keesokan harinya.

Laporan tebal tersimpan di atas meja Lenny. Wanita itu tersenyum dengan kinerja Abay.

"Kerja bagus. Aku tidak menyangka bahwa sumber energi negatif itu berasal dari kerusuhan di era kolonial. Jaka juga menemukan saksi mata dari penelusurannya lewat forum misteri. Kini dia dan Saras pergi menemui orang-orang yang pernah bekerja di gedung itu."

"Terus, apa yang akan Nyonya lakukan?"

"Apa kau ingin menjenguk Andri? Jaka bilang dia sudah bisa dijenguk."

Lenny lalu mengajak Abay ke Rancabadak. Tidak lupa dengan berbelanja buah-buahan di kios dekat markas Sektor Kopo.

"Nyonya gak ke pengadilan?"

"Jadwal persidangan berikutnya itu bulan depan. Kita masih ada waktu untuk menyelidiki kasus ini dan menjenguk Andri."

Kamar Andri berada di Paviliun Kenanga Rumah Sakit Rancabadak, tempat yang sama seperti kamar Anita dulu. Abay masih penasaran dengan kondisi Anita di sana. Ia tak sengaja bertemu dengan Dokter Mirna di lorong menuju Paviliun Kenanga.

"Bukankah kau itu kenalannya Dokter Angga? Apa kondisimu sudah membaik?"

"Sudah, Dok. Bagaimana kondisi Mbak Anita sekarang?"

"Kondisinya sudah jauh lebih baik. Ibunya juga sudah membawa Anita pulang. Dia masih harus menjalani fisioterapi untuk mengembalikan kemampuan berjalannya."

Dokter Mirna lalu pamit seiring dengan panggilan perawat di depannya. Mereka tergesa-gesa di lorong rumah sakit.

Kamar nomor 34, Paviliun Kenanga. Seorang wanita berperut besar duduk di samping Andri. Andri memang pernah cerita istrinya tengah hamil tua. Abay menaruh buah-buahan di atas nakas sementara Lenny berbincang dengan istri Andri. Kondisi Andri sudah membaik meskipun masih terbaring di ranjang.

"Lho, Bay. Kok cuman berdua. Yang lain ke pengadilan?" tanya Andri.

"Lagi nanganin kasus baru, Bang. Lagian Nyonya Lenny bilang sidang berikutnya juga bulan depan."

Mereka langsung pulang tak lama setelah istri Andri pamit.

Kawasan Kopo Medical Center jauh lebih ramai di akhir pekan. Kedatangan mobil Asosiasi secara tidak langsung mengusir para pengunjung pemburu adrenalin di dalam sana. Tak lupa dengan garis polisi yang membentang sepanjang pintu masuk area parkir Kopo Medical Center. Mereka akan bertugas semalaman di sana. Pasalnya berdasarkan laporan dari penduduk sekitar, gangguan tersebut hanya muncul di malam hari.

Hari itu Abay terpaksa menggantikan Malika sebagai operator. Setumpuk tugas kuliah tanpa henti membuat Malika izin selama beberapa hari ini. Sejak tadi Abay mengamati bagian dalam mobil pengintai milik Asosiasi. Terdapat pula kamera pengawas yang tersembunyi di beberapa bagian mobil. Sebelumnya Jaka dan Saras sudah memasang detektor dan kamera di beberapa titik dalam rumah sakit. Tugas Abay hanya fokus pada layar dengan tampilan dari kamera pengawas dan detektor. Kadar energi negatif di area parkir mendekati normal. Hal itu tidak menimbulkan masalah bagi kondisi fisik Abay.

Kamera akan rusak bila merekam gambar atau memotret bagian dalam rumah sakit. Hal itu beredar di kalangan orang-orang yang pernah berkunjung ke sana, tak terkecuali teman-teman sekelas Abay. Namun, kamera pengawas yang baru saja Jaka dan Saras pasang itu berfungsi dengan normal. Keadaan dari beberapa titik di setiap lantai rumah sakit pun terpampang jelas pada layar. Begitu pula dengan konsentrasi energi negatif yang fluktuatif di setiap lantai. Kamera dari lantai dua rumah sakit memperlihatkan langkah Saras yang terhuyung-huyung.

"Ras, lu gak apa-apa?" tanya Abay lewat saluran komunikasi dari headphone-nya.

"Kayaknya gue kurang tidur deh."

"Kau istirahat saja di mobil," bujuk Lenny lewat saluran komunikasi. "Misi ini akan berlangsung sampai tengah malam. Kondisimu harus prima untuk pembersihan malam nanti."

Saras lalu menyusuri tangga menuju lantai dasar. Tak lama kemudian, Saras ke luar dari pintu rumah sakit. Jika saja tidak ada Abay yang meninggalkan mobil, Saras sudah jatuh di depan pintu. Abay lalu membopongnya kembali ke mobil pengintai.

"Kenapa kepala gue tiba-tiba pusing kayak gini sih?"

"Lagi dapet, Ras?"

"Gak. Gue baru beres dapet minggu kemaren kok."

Hari semakin gelap. Semburat rona merah menggantung di langit bergradasi biru gelap. Keadaan sekitar Kopo Medical Center berangsur sepi. Belum ada pertanda mencurigakan dari layar monitor. Saras tertidur sesaat di dalam mobil. Abay menyelimuti Saras dengan jaket merahnya. Kamera dari arah gerbang menuju area parkir memperlihatkan seorang pria yang hendak menembus garis polisi. Abay langsung turun mendekati gerbang masuk rumah sakit.

"Bapak jangan masuk ke sini. Bahaya!" seru Abay.

Pria itu datang membawa serenceng bungkus kopi di pundak, gelas-gelas kertas, dan termos di tangan. Abay pernah bertemu pria itu. Dia itu penyewa senter yang pernah mengobrol dengan Abay sebelumnya.

"Bapak dengar ada cenayang Asosiasi yang akan menyelidiki tempat ini. Jadi, Bapak bawakan kopi."

"Aduh. Makasih, Pak," balas Abay. "Oh ya, Bapak emang orang sini?"

"Iya. Saya Sumantri, ketua RW di sini. Saya sering menyewakan senter di sini. Ya. Hitung-hitung nambah penghasilan. Hati-hati, A. Biasanya sering ada suara berisik lewat jam 9 malam."

Abay kembali ke mobil. Jaka dan Lenny sudah ada di sana.

"Dari mana kau mendapatkan kopi itu?" tanya Lenny.

"Ini dikasih dari Pak RW di sini."

Jaka menggeliat. Hawa dingin mulai mencubiti kulit para cenayang di sana. "Dingin-dingin gini enaknya ngopi sama makan gorengan."

"Kau ini. Tugas kita belum selesai," balas Lenny.

"Ayolah, Nyonya. Udah waktunya makan malem nih. Emangnya buat ngelakuin pembersihan itu gak pake tenaga?" sanggah Jaka.

Lenny melenguh. Sekarang memang sudah waktunya makan malam. Jaka dan Lenny mencari makan di dekat Kopo Medical Center. Sementara itu, Abay tidak meninggalkan mobil. Dia makan bekal roti di dalam mobil sambil menjaga Saras. Gadis berambut merah itu kemudian membuka mata.

"Bay, ngantuk banget," ucap Saras selagi menggeliat. Abay lalu memotong roti miliknya.

"Makan gih. Biar kuat pas di dalem," ucap Abay.

"Makasih ya, Bay."

Saras lalu memakan roti. Abay lalu menyeduh empat gelas kopi untuk berjaga-jaga. Tiba-tiba layar monitor menampilkan pergerakan energi yang tidak wajar dari dalam gedung rumah sakit. Abay lalu memberitahu Jaka dan Lenny lewat saluran komunikasi di telinga. Pergerakan energi kemudian menurun sesampainya Lenny dan Jaka di sana. Lenny lalu memeriksa komputer tablet yang berada di samping layar monitor.

"Benar. Ada pergerakan energi tidak wajar beberapa menit lalu. Tingkat kekuatannya berada di antara skala 7 dan 8. Apa tadi kau melihat sesuatu dari layar?"

"Gak, Nyonya," balas Abay. "Dari tadi gak ada apa-apa."

Lenny mendelik ke arah Jaka. "Jaka!"

"Sumpah. Tadi aku ngambil kamera inframerah di gudang kok."

Lenny lalu mengenakan alat pengamannya di dalam mobil. "Jaka. Saras. Bersiaplah. Bayu, jangan sampai lengah. Laporkan setiap keadaan yang tertangkap sensor dan radar setiap saat."

"Baik, Nyonya!" ucap mereka serempak.

Abay lalu menyerahkan kopi pada mereka. "Mending ngopi dulu buat jaga-jaga."

"Nah, gini dong!" sambar Jaka yang langsung menghabiskan kopi.

Sekitar pukul 19.00, kawasan Kopo Medical Center. Abay terus menggeliat di depan layar monitor. Sejak tadi tidak ada perubahan energi mencurigakan atau penampakan yang tertangkap kamera. Benar-benar normal sekaligus membosankan. Bagaimana bisa Malika tahan memelototi layar selama ini?

Bayangan hitam sekelebat bergerak dari arah kamera di lantai dua. Kamera itu turut bergoyang sejenak.

"Apa itu barusan?" gumam Abay. Pemuda itu lalu memeriksa lagi keadaan di depan layar monitornya. Tidak ada gangguan lagi dari kamera di lantai dua maupun lantai lainnya.

Abay menyesap segelas kopi di sampingnya. Matanya kembali memelototi keadaan di depan layar. Layar di samping kiri Abay kemudian menunjukkan konsentrasi energi yang tidak wajar dari detektor di rumah sakit. Abay lalu menoleh ke arah komputer tablet di sampingnya.

"Lantai dua rumah sakit," Abay kembali memelototi tampilan dari kamera di lantai dua gedung. Kamera di sana kembali bergoyang sebelum akhirnya terputus dari jaringan.

"Nyonya. Gawat. Kamera dari lantai dua terputus dari jaringan begitu saja!" seru Abay lewat pengeras suara dari headphone-nya.

"Apa katamu? Kamera lantai dua?" balas Lenny lewat sambungan komunikasi.

Guncangan kuat persis truk lewat terasa hingga ke dalam mobil. Kamera pengintai yang berada di lantai lain kembali bergoyang sebelum terputus dari jaringan. Abay berusaha kembali menghubungi rekan-rekan timnya.

"Nyonya! Gawat! Semua kamera terputus setelah guncangan tadi."

"Apa? Kau merasakan guncangan itu juga?"

Guncangan kedua kembali muncul. Gelas di tangan Abay nyaris saja tumpah. Termos di sudut mobil terus bergoyang. Begitupun sambungan kabel dari perangkat-perangkat penunjang di dalam mobil. Ia langsung meninggalkan mobil sambil menghabiskan kopinya. Guncangan kuat membuat pintu belakang mobil berayun-ayun. Tubuh Abay terombang-ambing selagi menggenggam erat kenop pintu mobil. Ia mengambil detektor mini dan alat komunikasi sebesar bluetooth headset dari dalam mobil sebelum berlari memastikan keadaan di dalam sana.

Bagian dalam rumah sakit gelap gulita. Cahaya dari langit malam dan lampu dari rumah-rumah sekitar bahkan tidak sanggup menembusnya. Hawa lembap bercampur dinginnya kawasan utara Kopo bercampur di depan pintu masuk rumah sakit. Abay mengumpulkan segenap tenaganya untuk mencari keberadaan rekan satu tim sekaligus membetulkan kamera di dalam.

Guncangan ketiga kembali muncul dari dalam rumah sakit. Abay kemudian menggenggam erat dinding di dekat lobi. Jangan sampai jatuh. Bisa saja ada paku atau benda tajam di sekitar lorong rumah sakit yang jauh lebih berbahaya daripada serangan makhluk halus.

Abay kemudian melanjutkan perjalanannya dengan panduan detektor yang terus berkedip dan mengeluarkan bunyi nyaring di tangan. Sejak tadi sosok misterius terus saja mengikutinya di sepanjang lorong. Matanya tidak menangkap keberadaan sosok apapun di sekitar. Bulu kuduknya semakin meremang. Langkah kakinya semakin memberat. Seakan-akan berpasang-pasang tangan menariknya dari belakang. Abay berusaha menghubungi para cenayang di dalam.

"Nyonya? Bang Jaka? Saras?"

Semuanya tidak membalas. Abay mempercepat langkahnya. Detektor di tangannya berbunyi semakin nyaring. Jantungnya teremas kuat hingga Abay tak sanggup berdiri. Sepasang kakinya bertambah berat. Bahkan merangkak saja tak bisa. Sebuah cermin tua buram di ujung lorong memperlihatkan sosok persis kuntilanak dengan lidah sepanjang bunglon yang terus mendekat. Abay berusaha merangkak mundur. Pemuda itu menjerit ketika delapan sosok makhluk halus terus menarik kedua kakinya.

Bola api bergerak cepat dari arah cermin di depan Abay. Tembakan bola api beruntun mengenai sosok makhluk halus berseragam perawat yang hendak mencakar Abay dari depan. Derap langkah kaki bergema dari arah berlawanan. Setitik cahaya semakin melebar lalu memperlihatkan pria botak dengan rompi kevlar dan kaus putih berlengan pendek.

"Bay!"

Tembakan api dari telapak tangan Jaka membuat sosok-sosok yang menarik kaki Abay menyingkir. Jaka lalu membopong Abay ke luar rumah sakit sebelum akhirnya jatuh di dekat pintu masuk.

"Bang Jaka!"

Darah mengucur dari balik rompi hitam Jaka. Sayatan tajam merusak rompi Jaka hingga memperlihatkan luka sayat yang cukup dalam. Abay lalu membawa Jaka ke mobil. Jaka meringis selagi cairan antiseptik mengenai dadanya.

"Ngapain kudu nyusul segala sih, Bay?" tanya Jaka selagi menahan pedih.

"Bang, tiba-tiba kamera di dalem putus terus semuanya gak bisa dihubungi sama sekali. Di mana Saras sama Nyonya Lenny?"

"Nyonya Lenny lagi ada di lantai tiga. Saras tiba-tiba pingsan di sana. Pas Abang mau bawa Saras ke sini, sesosok makhluk halus kuat menyerang Abang sampe terguling dari tangga. Untung aja Abang jatoh dari tengah tangga ke lantai dua."

Abay langsung memberi Jaka air hangat. Pemuda itu beranjak kembali ke dalam rumah sakit. Jaka pun menggenggam erat tangan Abay. "Jangan, Bay!"

"Kenapa?"

"Di dalem sana banyak makhluk halus di atas skala 8. Di sana juga town square-nya makhluk halus. Lu bakalan kewalahan hadepin mereka sekaligus."

Abay menyodorkan headphone pada Jaka. "Bang Jaka di sini aja. Gue bakal tolongin Nyonya Lenny sama Saras. Kasih gue aba-aba dari sini."

Sorot mata meyakinkan berhasil membujuk Jaka yang terluka. "Iya deh. Lu kudu cepet. Ada makhluk halus yang bisa nyerang kayak gempa. Jangan sampe ketangkep."

Abay kembali memasuki gedung rumah sakit. Matanya menjelajahi keadaan sekitar.

"Bay, suara Abang kedengeran?"

"Iya, Bang."

"Lu inget lorong di depan? Hati-hati. Ada tiga kunti bisa nyerang lu dari sana. Kalem aja, mereka bukan kuntilanak merah yang agresif. Sekali tembak langsung minggir kok."

Abay melongo. Jaka benar-benar santai menghadapi tiga kuntilanak yang hendak menangkap Abay di dekat cermin tua. Napas Abay terus memberat. Pandangannya mulai terbelah. Kadang memperlihatkan rumah sakit yang tak ubahnya sarang makhluk halus. Kadang berganti menjadi rumah-rumah era kolonial yang membara di bawah langit malam. Sorak sorai  penduduk yang marah bergabung dengan suara api melahap gedung-gedung di sekitarnya.

"Ganyang habis bule Holland! Kalau perlu penggal kepalanya, kencingi, terus taruh di tengah jalan!" seru seorang pria bersuara lantang.

"Setuju!" balas para penduduk serempak.

Derap langkah para penduduk bercampur aduk dengan suara tiga kuntilanak yang mengejar Abay. Ia lalu berlari melewati ruang terbuka yang cukup luas dengan barang-barang berserakan di sekitarnya. Sepertinya dulu ruang itu pernah menjadi ruang tunggu atau ruang pendaftaran pasien. Ruang itu tidak kalah mencekam. Berpasang-pasang mata makhluk halus berusaha merebut Abay dari ketiga kuntilanak di belakangnya.

"Bang! Apa-apaan ini? Kenapa makin banyak yang ngejar gue sih?" rengek Abay sembari berlari menuju tangga dengan napas menipis.

"Kali aja nge-fans," balas Jaka.

Abay tersudut di dekat tangga. Tiga kuntilanak, 2 hantu berseragam perawat yang berjalan bak laba-laba, 3 hantu berseragam dokter dengan wajah tak karuan, 2 makhluk halus persis tuyul dengan tubuh bungkuk dan tulang-tulang menyembul, 3 hantu Holland bertubuh mengenaskan yang salah satunya berkepala nyaris putus, dan tak lupa sesosok persis kelelawar besar mengepung Abay. Pemuda itu gemetar dalam langkah mundur menuju tangga. Darah terus mengucur di tangannya. Ketika Abay berbalik, hantu berkepala buntung duduk menghalangi jalan menuju lantai dua. Gigi-giginya terus gemeletuk dengan langkah lunglai.

Tempat macam apa ini?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top