[Penantian]

Suatu pagi yang biasa di Marga Asih bermula dari pemuda kurang ganteng yang biasanya bangun mendekati jam masuk sekolah. Setelah mandi, Abay berdiam sejenak di depan cermin. Ia terdiam sesaat dengan segaris rambut putih di kanan kepalanya. Sejak kapan? Ah, jangan sampai kena razia. Lebih baik Abay turun sebelum Ressa berteriak lebih kencang lagi dari lantai bawah.

Sarapan yang biasa mengisi hari yang biasa pula. Telur ceplok bumbu balado dan tumis kangkung kilat buatan Ayah. Tidak biasanya. Abay bercucur air mata dibuatnya. Berlebihan? Memang. Ayah jarang memasak di rumah. Masakannya jauh lebih lezat daripada buatan Ressa yang kadang kurang gula, garam, apalagi bumbu.

"Ayah. Aku bakalan pulang telat lagi. Masih ada kasus yang harus diselesaikan."

"Ingat. Jangan terlalu malam. Sebentar lagi mau ujian semester. Kau harus lebih banyak belajar."

Ressa menimpali pembicaraan mereka. "Gak kerasa ya. Abay udah mau lulus SMA. Nanti mau kuliah di mana?"

"Masih bingung, Kak. Mending kerja dulu sambil ikutan kelas tambahan."

Hingga kini Abay masih belum menentukan tujuan kuliahnya. Ketika guru BK bertanya pada murid-murid soal jurusan kuliah idamannya, Abay tidak tahu. Tidak seperti Adnan yang ingin masuk jurusan Psikologi mengikuti jejak ayahnya atau Sephia yang ingin masuk Kriminologi.

"Sephia beneran mau masuk Kriminologi?" tanya Abay.

"Aku ingin pekerjaanku di lapangan jauh lebih lancar. Kau sendiri?"

Abay menggaruk kepalanya. "Gue masih belum kepikiran buat kuliah. Liat aja. Formulir buat data jenjang karir setelah lulus aja masih kosong."

Sebenarnya cita-cita Abay ingin menjadi polisi semata-mata agar bisa menemukan Ibu. Masalahnya ia terlalu awam soal jenjang karir polisi. Mulanya ia pikir bisa lebih mudah masuk Akademi Kepolisian dengan masuk jurusan IPS. Kini pemuda itu sudah bergabung dengan Asosiasi, yang secara teknis masih berhubungan dengan polisi.

Pertanyaan soal karir masih membuatnya bingung bahkan sepulang sekolah. Hari itu Abay menemani Lenny untuk menyelidiki ulang Kopo Medical Center. Kopo Medical Center sengaja ditutup selama seminggu untuk keperluan penyelidikan. Mereka masih mencari motif dan barang bukti berkaitan dengan serangan terhadap penduduk sekitar.

"Apa kau merasa pusing atau tidak enak badan?"

"Gak, Nyonya. Malah pegel di badan ilang pas masuk ke sini."

"Badanmu sudah seperti makhluk halus saja."

"Kalo kata guru Olahraga sih, tubuh bakalan ngerusak dirinya sendiri buat ngebentuk otot baru. Badanku selama ini ngerusak dirinya sendiri buat beradaptasi dengan kondisiku sekarang."

Mereka lalu berpisah di depan ruang instalasi bayi, tempat yang selama ini terkenal angker di kalangan para pencari asupan adrenalin instan.

"Periksalah lantai atas gedung rumah sakit. Aku sedang haid. Kondisiku terlalu beresiko untuk menyelidiki rumah sakit ini lebih dalam. Kabari aku jika menemukan petunjuk baru. Paham?"

"Baik, Nyonya."

Abay berjalan menuju lantai dua. Matanya menelisik keadaan di sekitar. Tak peduli kamar mandi yang masih bersih, kamar-kamar pasien dengan barang-barang terbungkus plastik, ataupun ruangan lain di sekitarnya. Tidak ada keberadaan energi negatif mencurigakan dari detektor yang diambil dari saku jaket merahnya. Ia lalu memotret keadaan sekitar dengan kamera ponsel. Sesosok makhluk halus bertubuh kekar menghadangnya di lorong.

"Lagi-lagi manusia bodoh yang hendak mengusik kami," ucap makhluk halus tinggi besar itu sambil melemaskan sendi-sendi telapak tangannya. "Serahkan barang itu atau tidak--"

"Apa? Kau ingin melawan cenayang Asosiasi yang sedang bertugas?" Abay menekan leher makhluk halus itu dengan ujung tombak esnya. "Jika kau masih sayang nyawamu, cepat beritahu padaku soal Salaka dan Keling!"

Lirikan tajam Abay dan tekanan dari ujung tombak menciutkan otot-otot di sekujur tubuhnya. Makhluk halus itu berkata Salaka dan Keling bukanlah penghuni asli yang tinggal di sekitar Kopo Medical Center. Mereka juga berbeda dengan makhluk halus penghuni Kopo Medical Center yang umumnya senang mengganggu manusia, terutama para penggemar uji nyali. Mereka seperti mencari sesuatu di sekitar kawasan rumah sakit terbelengkalai itu.

Abay kemudian mencatat semua itu dengan ponselnya. "Apa kau melihat sesuatu yang mencurigakan di sekitar sini?"

"Tidak ada. Jika ada sesuatu yang mencurigakan, pastilah penghuni tempat ini berebut untuk mendapatkan hal itu. Beritanya pasti ramai dibicarakan para hantu perawat dan kuntilanak yang sering lewat sini."

Abay mengangkat ponselnya. "Bisakah Tuan tidak menggangguku sebentar? Aku hanya ingin memotret lorong ini sebentar."

Makhluk halus itu langsung terbirit-birit dengan senyuman Abay. Pemuda itu tersenyum. Ponselnya tidak rusak dengan memotret keadaan di dalam sana.

Jaka benar tentang keadaan Kopo Medical Center yang tak ubahnya town square bagi para makhluk halus. Ada saja makhluk halus beraneka rupa berkumpul di sana. Itu pun bagi mata siapapun yang "celaka". Kilatan orb yang bergerak di sepanjang lorong menuju lantai tiga, hantu anak-anak yang berlarian di tangga, kuntilanak yang bergosip di area lift rusak, sampai sekumpulan makhluk halus beraneka rupa yang bersiap menakuti Abay dari balik ruangan kosong. Bisa saja Abay menjerit lalu lari terkencing-kencing seperti biasanya. Gangguan roh Anita di rumah sakit secara tidak langsung mengajari Abay untuk menghadapi ketakutannya.

"Nyari siapa, Bapak-Bapak?" goda Abay ruangan yang tidak tertutup rapat dekat tangga menuju lantai tiga. Lagi. Makhluk halus di dalam sana berlarian menghindari Abay.

Penyelidikan Abay berlanjut menuju lantai tiga rumah sakit. Keadaan sekitar lorong benar-benar senyap. Sepertinya para makhluk halus di lantai dua mengabari soal kedatangan Abay di sana. Segaris cahaya menyebar dari arah jendela di tangga rumah sakit. Abay lekas memotret keadaan sekitar sebelum makhluk halus merusak kamera ponselnya. Tidak ada barang bukti berarti di sekitar lantai tiga.

Keadaan berbanding terbalik dengan lantai empat rumah sakit. Sebuah kepala tanpa badan teronggok begitu saja di atas anak tangga. Kepala pria itu terus menggerutu dengan bahasa asing. Begitu pula dengan para hantu yang bersliweran di lantai empat. Semuanya tidak bicara bahasa daerah apalagi bahasa pribumi. Mereka mengenakan setelan dari abad 19. Mereka mendelik tajam seiring dengan kedatangan Abay. Ditilik dari perawakan badan mereka, pastilah mereka hantu orang-orang Holland dan indo yang pernah tinggal di sekitar rumah sakit.

Bahkan rasisme terus mengakar kuat setelah mereka menjadi mayat. Mereka menyerang Abay yang terus menyusuri lorong lantai empat. Mereka seburuk hantu dalam film Barat. Sebuah ruangan dengan pintu terbuka menjadi tempat pelariannya. Ia membanting pintu kamar yang terbuka itu. Abay tak bisa melanjutkan penyelidikan bila keadaan di lantai empat sekacau ini.

Abay kemudian mengambil ponselnya. Syukurlah. Sinyalnya penuh. Ia langsung menghubungi Lenny yang masih menyelidiki lantai dasar.

"Nyonya. Tolong!"

"Kenapa denganmu?"

"Sekelompok hantu Holland menyerangku di lantai empat," suara pukulan dari luar menjeda perkataan Abay sesaat, "Mereka jauh lebih agresif daripada kedua siluman kemarin. Padahal cuman lewat di lorong."

"Tetap tenang. Satu-satunya cara untuk mengatasi arwah penasaran dengan tidak membiarkan emosimu terpengaruhi mereka. Mereka justru senang menemukan lawan yang terlihat lemah dan ketakutan."

Lenny lalu menutup panggilannya. Bagaimana ini? Penyelidikan Abay di lantai empat belum selesai. Para hantu terus berusaha mendobrak pintu dari luar. Jantung Abay seakan copot dengan keberadaan sosok hantu wanita di dalamnya. Lagi, hantu orang Holland bangkit dari ranjang berselimut plastik kekuningan nan kotor.

"Siapa jey?"

Hantu itu bicara dengan bahasa pribumi? Hantu wanita itu teramat cantik. Kulitnya putih bersih, tapi ujung gaun putihnya bernoda kecokelatan dan berujung robek. Rambut cokelat ikalnya tergerai berantakan melewati bahu. Sorot mata itu ... Abay terbelalak. Ia wanita yang kerap muncul dalam halusinasinya.

"Kenapa jey diam saja?"

"Gu-Gue gak bisa keluar. Hantu-hantu di luar sana terus menggangguku. Padahal gue gak niat buat ganggu kok. Cing demina."

"Mereka masih benci dan marah pada orang-orang pribumi. Mereka bahkan membawa kebencian itu sampai mati. Mereka bahkan menyerang siapapun pribumi yang berada di tempat ini."

Semua semakin jelas. Tragedi di masa lalu, kebencian dari orang-orang Holland terhadap orang-orang pribumi, tempat yang terbelengkalai, ketakutan yang terekstrak dari diri manusia, dan semua itu menyebabkan energi negatif di sekitar Kopo Medical Center semakin besar. Itukah yang Salaka dan Keling cari selama ini?

"Kenapa lu gak nyerang gue? Lu bukannya orang Holland juga?"

"Aik tidak suka dengan mereka yang terus memandang rendah pribumi. Aik hanya ingin berteman dengan mereka. Apakah keinginan aik salah?"

Sebuah kejadian dari masa lalu menggantikan keadaan di dalam kamar rumah sakit menjadi sebuah rumah bergaya kolonial. Wanita itu menangis setelah mengatakan kalimat serupa.

"Juliana. Jangan berhubungan dengan anjing inlander itu! Mereka warga kelas tiga yang tidak pantas menginjakkan kaki di tempat ini."

Juliana memohon pada Papa. "Papa, mereka juga manusia. Ini tanah kelahiran mereka. Kenapa bangsa kita menganggap derajat kita lebih tinggi? Apa karena kulit mereka lebih gelap, mereka tinggal di gubuk, keyakinan yang berbeda, atau badan mereka yang jauh lebih pendek? Kenapa orang-orang kita selalu semena-mena memperlakukan mereka?"

Tamparan keras membuat Juliana jatuh terduduk. Air mata menitik di atas lantai rumahnya yang bersih.

"Diam! Anak kecil seperti jey tidak tahu apa-apa! Inlander itu bangsa yang kotor, jorok, bodoh, dan tak tahu terima kasih! Pasti jey memberontak karena bertemu inlander itu setiap malam. Jey sudah teracuni oleh pikiran-pikirannya."

"Senya bukanlah orang yang seperti itu, Papa! Dia orang yang baik. Seperti halnya Kang Damar yang selalu menjaga kebun Papa. Apa semua pribumi selalu jahat di mata Papa?"

Vas bunga yang pecah membuat Juliana tercengang. "Beraninya jey membantah perkataan Papa?! Besok jey harus ikut Papa ke Depoc. Jey harus menikahi anak dari Tuan Zadoch secepatnya! Papa tidak bisa lagi menolak itikad baik dari keluarga Tuan Zadoch selama ini."

Linangan air mata di mata Juliana tak sanggup menghapus rasa sakit di dada. Dia lalu berlari ke dalam kamarnya.

"Juliana!"

Dada Abay sesak. Matanya pedih dengan luberan air mata. Kenapa?

"Sudah. Jangan menangis. Ini bukan salah jey."

Rasa sakit menusuk membuat Abay terduduk. Satu persatu kejadian acak muncul di depan matanya. Senyuman. Canda tawa. Sentuhan tangan yang hangat. Kepala tak bernyawa dalam dekapannya di tengah rumah yang membara. Semua membuat jantungnya berhenti sesaat.

Lidah yang kelu dalam tangis kini berucap, "Juli ... ana."

Sepasang mata kuning ambar terus berlinang air mata. Juliana terisak hingga jatuh lemas.

"Senya. Jey ...."

Juliana mendekap tubuh Abay. "Jey berjanji akan datang sebelum aik pergi ke Depoc. Selama ini aik menunggu di sini. Jey pasti akan datang. Suatu saat nanti."

"Kau menungguku? Kenapa? Bukankah kau sudah lama mati?"

"Itu karena jey bukan manusia. Selama ini jey berpura-pura menjadi centeng yang tinggal dekat sini agar aik tidak takut. Aik memang bisa melihat bahkan berhubungan dengan bangsa jey sejak kecil. Aik terus menunggu. Hingga akhirnya Senya datang."

Juliana menyapu air matanya. Kilauan cahaya berpendar dari seluruh tubuhnya. "Terima kasih. Terima kasih sudah menepati janji. Aik senang sekali bisa bertemu dengan Senya. Meski jey harus merasuki tubuh pemuda itu. Aik bisa pergi sekarang. Terima kasih."

"Juliana."

"Hiduplah sebagai Senya yang baik ... agar aik bahagia di alam sana."

Tangis dalam senyuman menjadi salam perpisahan Juliana. Air mata terakhir jatuh menjadi butiran cahaya yang tersapu angin. Abay meraung kencang. Dadanya teramat sesak. Tanpa sadar ledakan hawa dingin membekukan apapun di sekitar, tak terkecuali para hantu Holland yang mengejarnya di lorong lantai 4.

Kopo Medical Center merupakan salah satu tempat angker di Kopo. Banyak penampakan hantu yang muncul di sana. Salah satunya hantu wanita cantik di lantai empat. Hantu wanita itu selalu berwajah sendu. Entah kenapa. Ia tak pernah sekalipun mengganggu pengunjung yang menguji nyali seperti penunggu rumah sakit lain.

Seminggu pun berlalu.

Para penguji nyali gigit jari. Tak seorangpun bisa menemukan hantu itu lagi. Termasuk teman sekelas Abay yang berharap bertemu langsung hantu noni Holland yang tersohor.

"Main ke KMC sekarang gak asik. Mana gak bisa ketemu hantu noni cantik lagi," cibir si jangkorang, anggota tim futsal kelas Abay.

"Ngapain nyariin hantu cewek? Sephia masih jomblo. Cewek-cewek kelas lain juga banyak yang cantik," timpal Abay.

"Kata orang yang bisa ngeliat di forum, hantu noni itu selama ini nunggu pacarnya," balas si botak, masih anggota tim futsal kelas. "Apa jangan-jangan arwahnya udah tenang karena udah ketemu pacarnya?"

"Ngapain sih kepo sama urusan orang apalagi hantu segala? Mending cari cewek yang bener gih. Hantu itu cewek urang."

Para anggota tim futsal kelas yang tengah beristirahat di kantin pun tertawa.

"Aya aya waé, Bay. Emang pernah ke KMC gitu sampe ngaku-ngaku segala? Biasanya juga dikerjain si Saras langsung ngumpet di kolong meja," ledek si jangkorang.

"Tong kitu ah. Masa iya cenayang Asosiasi takut sama hantu?" kelakar Abay sambil makan gorengan.

Bicara soal lelucon, kehilangan Juliana masih menyesakkan dada. Abay mungkin tidak begitu ingat Senya yang Juliana maksud. Namun, kepergian Juliana benar-benar menghapus halusinasi yang terus mengganggunya.

Profesor Rachmat pun tercenung sewaktu meminta Abay datang di akhir pekan.

"Halusinasi karena perasaan bersalah. Ini kasus reinkarnasi yang menarik. Aku belum pernah bertemu pasien yang mengalami gejala serupa denganmu."

"Itu artinya gak harus terapi lagi, Dok?"

"Nak Bayu masih harus terapi. Berdasarkan kuesioner yang Nak Bayu isi sebelumnya, masalahmu tak hanya soal halusinasi. Nak Bayu juga mengalami luka batin karena kekerasan psikis semasa kecil. Jika aku menyimpulkan ceritamu soal halusinasi itu, kau sepertinya mengalami trauma hebat di masa lalu. Mungkin penanganannya jauh lebih sulit daripada Lenny."

"Dokter tahu sesuatu soal Nyonya Lenny? Belakangan ini Nyonya Lenny sering memintaku untuk menyelidiki ingatannya yang hilang."

Profesor Rachmat menghela napas. "Sebenarnya aku tidak boleh memberitahukan masalah Lenny selain pada Adrian. Namun, masalah kalian hampir sama. Lenny kehilangan sebagian ingatannya akibat trauma hebat. Anak itu juga kerap dihantui mimpi buruk yang berasal dari masa lalunya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top