[Mayat Tanpa Nama] - 3

Berlama-lama menjadi pesakitan membuat pikiran Abay ikut-ikutan sakit. Gangguan makhluk halus setiap malam masih saja membuatnya terjaga. Bahkan dokter jaga malam pun geleng-geleng. Panggilan darurat karena hantu? Ada-ada saja! Dia justru berkacak pinggang di depan Abay.

"Mana hantunya?"

"Gak, Dok. Ta-Ta-Tadi aku beneran liat hantunya!"

"Itukah alasanmu membunyikan bel selarut ini? Paling cuman kebawa sugesti dari gosip dokter koas yang jaga malam. Mereka memang sering cerita hal-hal menyeramkan sambil berkeliling di lorong rumah sakit."

Dokter jaga itu memeriksa kondisi Abay sebelum pergi. Hari semakin larut. Abay tarik selimut. Jam di dinding pun menunjukkan pukul 11 malam. Sesekali ia menguap. Matanya memberat, tapi tak bisa tidur. Pasien di sekitarnya sudah terlelap. Berulang kali Abay pejamkan mata, lima menit kemudian membuka lagi.

Siklus yang terjadi setiap malam semakin membuat Abay ingin pindah kamar. Kalau perlu pindah rumah sakit atau pulang sekalian. Sudah cukup delusi mengganggu opnamenya. Isak tangis hantu perempuan di tengah malam benar-benar menguji kewarasan Abay. Ia kembali berjaga-jaga dengan tombol darurat di tangan.

"Kenapa? Apa kau takut denganku?"

Hantu wanita berwajah borok muncul secepat kedipan mata. Matanya sembap karena tangisan. Abay mendengkus. Kondisi fisik anehnya memang membuat Abay mendadak punya indra keenam. Abay tidak bisa tidur nyenyak di rumah sakit karena ini.

"Punten pisan nya. Urang téh cuman pengen sembuh. Dokter bilang kudu banyak istirahat. Ini mah boro-boro istirahat. Adanya stres tiap malem gara-gara diganggu mulu!" gerutu Abay tanpa sedikitpun menoleh pada si hantu wanita.

"Maaf. Aku tidak bermaksud mengganggumu. Kudengar kau itu seorang cenayang. Aku hanya ingin meminta tolong."

Air mata kembali bergulir di pipinya. Hantu itu bercerita pada Abay sambil menoleh ke arah jendela kamar. Dia tidak ingat apapun soal kematiannya. Dia juga tidak tahu kapan dirinya mati. Satu-satunya yang dia ingat itu ibu. Ketika hantu itu membicarakan soal ibu, Abay terdiam.

"Aku ingat selama ini aku bekerja untuk menghidupi Ibu dan adik-adikku. Aku takut kepergianku hanya akan membuat Ibu sedih."

Abay berusaha untuk memberanikan diri. Tidak sopan bila bicara dengan orang lain tanpa menatap wajahnya. Ia masih gemetar dengan penampilan hantu seragam lusuh, rambut lurus sedikit berantakan, dan wajah borok bernanah di wajahnya.

"A-Apa Teteh i-inget na-na-nama ato se-se-suatu semasa hidup?"

Hantu wanita itu menggeleng. "Aku terus teringat soal Ibu. Bagaimana keadaannya sekarang? Tolong, cari tahu penyebab kematianku! Aku hanya ingin mayatku dimakamkan di kampung agar Ibu tidak sedih."

Keluarga mana yang tidak cemas dengan kepergian mendadak? Abay pun begitu. Hampir empat belas tahun lamanya Ibu menghilang. Tanpa kabar apalagi keberadaan nisannya. Kepergian seseorang tanpa sebab hanya akan menyisakan pedih bagi orang-orang terdekat.

"Aku janji. Setelah itu, aku tidak akan mengganggumu lagi," isaknya. "Kumohon. Aku tidak mau membuat ibuku sedih lagi."

Ketakutan di dalam dada Abay bercampur dengan kehilangan yang dialaminya. Jika saja hantu wanita itu Ibu, apa yang akan Abay lakukan?

Hantu wanita itu benar-benar menepati janjinya. Sudah tiga hari berlalu tanpa gangguan hantu di malam hari. Pikiran Abay pun kosong seiring Dokter Jehan memeriksa kondisinya sebelum sarapan.

"Bosan ya?"

"Sepertinya. Terlalu lama berada di sini membuatku bosan."

Dokter itu mencatat hasil pemeriksaannya.

"Kondisimu mulai membaik. Kau bisa pulang dalam waktu dua atau tiga hari."

Lagi, Abay lalui hari di rumah sakit sendiri. Tanpa teman. Tanpa pekerjaan. Tanpa sekolah. Tanpa semua hal yang disukainya. Tanpa sepasang kaki yang lincah seperti sebelumnya. Bahkan pasien lain di kamarnya pun tak saling bertegur sapa. Kapan ia bisa pulang?

Ah. Sudah lama sekali Abay tidak makan burger buatan Ressa, kue buatan Saras, soto Cak Ikin bersama Sephia, gorengan kantin, dan ... sepasang mata sayu menatapnya dari sudut ruangan. Hantu wanita itu lalu berusaha menjauh dari pandangan Abay.

"Kenapa?" gumamnya.

Hantu wanita itu masihlah menunduk. Suaranya berbisik sesaat sebelum lenyap.

"Aku tidak ingin menakutimu lagi."

Melawan ketakutan itu tidak mudah terlebih di saat kondisinya tak berdaya seperti sekarang. Hantu wanita itu hanya diam dan pasrah di sudut kamar.

Abay tak bisa berkata banyak. Pasien lain di kamarnya bisa saja kembali terganggu. Ucapannya tertahan di ujung bibir yang gemetar dalam diam.

Tak terasa tiga hari berlalu. Dokter sudah mengizinkan Abay pulang. Dokter Jehan dan perawat membantu Abay duduk di kursi roda. Sementara Ayah merapikan barang-barang pribadi Abay di rumah sakit. Mereka lalu pergi menuju area parkir rumah sakit. Baru saja Ayah mengendarai mobil, tiba-tiba mobil berputar haluan.

"Ayah mau ke mana?"

"Ayah lupa belum belanja," jawabnya selagi mencari tempat parkir.

Mobil Trueno merah itu bersandar pada tempat parkir di toserba besar, tak jauh dari rumah sakit. Toserba Mataram. Itulah nama supermarket dengan papan nama besar di atas kepala yang berada di tengah deretan ruko di seberang jalan sana. Lokasinya memang tak sebesar Prama di Marga Asih. Jalanan di sekitarnya padat meskipun jam pasar sudah lewat.

Ayah mengajak Abay untuk belanja. Pemuda malang itu ikut turun mengingat Ayah tak bisa diandalkan. Catatan barang belanjaan di tangan sekalipun tak bisa membantu banyak. Ayah lebih sering salah membeli barang kebutuhan bulanan. Sudah lama pula Abay tidak belanja bulanan bersama Ayah. Biasanya ia pergi sendiri atau bersama Ressa.

Ayah mengambil troli di dekat meja kasir. Promo besar-besaran terpampang jelas di setiap rak toko. Kata diskon memicu insting Abay dalam hitungan detik. Dua merek minyak goreng berbeda berada di etalase yang sama. Keduanya pun diskon masing-masing seharga 22 dan 23 ribu.

"Jangan ambil yang ini!" Abay mengambil minyak goreng di sebelahnya. "Minyak yang itu nyerep ke makanan. Mending beli yang 23 ribu aja."

Ayah menaruh sebungkus minyak goreng dua liter di troli. "Kau benar-benar persis ibumu setiap kali belanja. Selalu saja rewel soal diskon."

Sejak tadi keduanya terus berselisih soal harga. Begitulah Abay. Harga beda seribu saja serasa beda seratus juta. Ia terus saja berkomentar soal barang-barang yang Ayah beli. Tak peduli minyak goreng, mi instan, sabun, sampai urusan deterjen. Abay selalu menunjuk barang yang jauh lebih murah dibandingkan dengan barang di troli. Namun, tidak untuk urusan kopi.

"Ayah. Mending beli kopi yang itu aja! Mumpung lagi diskon."

"Enakan yang ini," balas Ayah sambil menggenggam sebotol kopi bubuk instan. "Itu gak mempan buat begadang."

"Kita itu harus berhemat!" Abay bersikeras.

"Harga tidak pernah bohong dalam soal rasa, Nak!" Ayah pun tak mau kalah.

Aura mereka berbenturan di depan rak berisi kopi, teh, dan produk olahannya. Hawa dingin di sekitar Abay nyaris bersatu dengan AC Toserba Mataram. Ayah bersikeras menggenggam sebungkus kopi kesukaannya. Seorang SPG kemudian menghampiri mereka dengan sampel kopi di atas baki.

"Kopinya, Pak! Lagi ada promo. Beli 2 gratis 1," ucapnya selagi mencairkan suasana.

Sepasang ayah dan anak itu terdiam setelah cicipi sampel. Pemenangnya ... tentu saja SPG kopi yang menang! Mereka akhirnya menuju ke meja kasir.

"Selamat siang. Ada kartu member-nya, Pak?" sapa sang kasir.

"Tidak ada," jawab Ayah.

Kasir wanita di hadapannya terus menghitung barang belanjaan. Seragam putih dengan rompi panjang berwarna nila itu familiar. Sebuah ingatan muncul menggantikan keadaan di Toserba Mataram.

Hari teramat temaram. Tak begitu jelas lokasi persisnya. Keadaan malam teramat senyap. Bahkan suara knalpot melintas nyaris tak ada. Seorang wanita dengan rambut digelung rapi berlenggak-lenggok melalui jalanan temaram, masih dengan seragam Toserba Mataram.   Sepertinya wanita itu baru pulang kerja. Karyawan toko memang pulang larut karena masih harus membereskan toko setelah tutup.

Keadaan setelahnya tak begitu jelas. Sekumpulan bayangan seakan menjebak dirinya di balik kegelapan gang. Wanita itu kini terkapar di atas jalanan berbatu yang mengoyak wajahnya dengan darah segar menuruni jalanan.

"Nak. Nak!"

Tepukan bahu Ayah mengakhiri tayangan ingatan saat itu. Keresek putih saling menumpuk di dalam troli.

"Kenapa kau diam saja? Kau tidak ingin pulang?"

"Maaf, Ayah."

Benar. Hantu wanita di Rancabadak itu memang karyawati Toserba Mataram. Pertanyaan soal karyawati itu terus mengganjal di benak Abay sepanjang perjalanan pulang.

Sesampainya di rumah, Abay bertukar kamar dengan Ayah. Ayah juga mengambilkan obat, baju, charger, dan laptop Abay ke sana.

"Ayah gak apa-apa tidur di atas?"

"Memangnya kau bisa naik tangga dengan kaki seperti itu? Kalau butuh apa-apa, panggil Ayah atau Kak Ressa," pungkas Ayah sebelum menutup pintu.

Abay terdiam dengan keadaan di dalam kamar Ayah. Sebuah kamar berukuran dua kali kamarnya dengan ranjang king size dan kamar mandi di dalam. Terdapat sebuah foto tua menggantung di dinding kamar. Itu foto pernikahan kedua orang tuanya. Ibu begitu cantik dengan kebaya hitam sederhananya. Foto itu terus mengingatkan Abay pada hantu di rumah sakit. Apa ibunya itu akan merasa sedih seperti Abay sekarang?

Malam harinya. Abay hubungi Saras lewat video call.

"Bay? Udah pulang?"

Abay terkesiap. Nyaris saja ponselnya hancur. Pasalnya wajah gadis itu hitam legam dengan mata layaknya korban KDRT.

"Ras, parno tau!"

"Ini masker wajah. Mas-ker. Gila tuh si Nadine. Ini masker ato semen sih?"

"Makanya jangan latah ikut-ikutan tren yang lagi viral. Mau lu nyasar di alam lain lagi?"

"Kagak. Mau coba juga? Katanya bisa bersihin komedo biar gak jerawatan."

"Embung! Eh, Ras. Sabtu lowong gak? Bisa temenin gue ke Toserba Mataram?"

"Mau belanja apa sih, Bay?"

"Ada barang yang pengen gue beli. Sekalian jalan-jalan biar gak jenuh. Lu bisa bawa mobil 'kan?"

"Bisa. Cuman harus nodong Bang Ganjar dulu baru bisa bawa mobilnya."

"Emangnya Bang Ganjar lagi di Kopo?"

"Lagi liburan di sini sampe minggu depan. Dah ya. Gue mo cuci muka dulu. Gak kuat sama nih semen."

Panggilan pun berakhir. Abay kembali pada layar laptop-nya. Ia berpikir sejenak lalu masuk ke situs Pencarian Orang Hilang milik kepolisian. Barangkali ada petunjuk di sana. Situs itu tidak hanya menampilkan informasi mengenai orang-orang hilang. Ada informasi penemuan orang oleh masyarakat hingga mayat tak bertuan di kamar jenazah rumah sakit.

Ia mulai menyelidiki informasi mengenai mayat di rumah sakit Rancabadak. Informasi dari kamar jenazah rumah sakit akan muncul selama satu minggu. Jika dalam kurun waktu tersebut tidak ada pihak keluarga/kerabat yang mengambil jenazah atau hasil otopsi tidak cocok dengan rekam data milik pihak Kepolisian, pihak rumah sakit akan mengambil alih mayat tersebut. Biasanya mayat tersebut mereka gunakan untuk pendidikan dokter. Informasi yang muncul pada halaman tersebut sesuai pencarian berdasarkan ciri-ciri fisik atau penyebab kematian korban.

Abay mencari mayat yang tewas oleh pembunuhan. Ada 5 mayat dengan penyebab kematian pembunuhan. Dua mayat berjenis kelamin laki-laki dan 3 perempuan. Satu orang berusia sekitar 40 tahun, 2 orang berusia sekitar 20 tahun, 1 orang berusia belasan, dan seorang bayi berumur 18 bulan. Ia berusaha mengingat ciri fisik hantu itu. Seorang wanita berambut hitam panjang. Berusia sekitar 20 tahun dengan luka di wajah dan kepala. Tingginya sekitar 160 cm. Penyebab kematian benturan di kepala. Ada satu mayat yang cocok dengan kriteria tersebut. Mayat itu baru berusia 3 hari di kamar jenazah.

Sabtu itu Saras berdiri di depan rumah. Mobil Lancer hitam metalik bernaung di bawah pohon mangga manalagi yang berbunga. Sejak tadi Saras terus memanggilnya dari luar.

"Abay!"

"Bentar!" balas lelaki berkursi roda yang sedang mengelap meja. Ayah membuka pintu rumah lebih cepat daripada Abay.

"Eh Saras. Tumben pagi-pagi ke sini."

"Abay ngajakin main, Om. Katanya dia jenuh di rumah."

"Nak, ada Saras di depan!" seru Ayah.

Abay mendorong kursi roda menuju ruang tamu. Mereka berpamitan sebelum Saras membantu Abay duduk di mobil.

"Ras. Ini beneran mobilnya bang Ganjar? Bukannya lu gak bisa sembarangan pinjem mobilnya?"

"Gue sita mobilnya. Salah sendiri nombok benerin mobil tiga bulan. Katanya sutradara terkenal yang gajinya gede. Eh sekalinya mobil rusak minta benerin gratis."

"Lho, emangnya baru balik syuting?"

"Iya. Abang gue baru balik. Sekalian main ke Kopo sama bawa oleh-oleh."

"Enak juga ya jadi sutradara kayak Abang lu, Ras. Kerjaannya jalan-jalan mulu."

"Bilang aja lo pengen ketemu Laura Basuki secara langsung, 'kan?"

Abay tertawa kecil. Toh enaknya jadi sutradara itu bisa bertemu artis idola lebih mudah, 'kan?

Ganjar benar-benar merawat mobilnya, setidaknya dari interior yang tertata rapi. Sebuah miniatur mobil kecil berwarna sama seakan rekurs memperlihatkan mobil itu. Debu tipis tidak melekat pada dashboard ataupun celah-celah dari lubang AC. Tak lupa parfum apel segar berada di dekat lubang AC.

Saras mengemudikan mobil seakan-akan ia mengemudikan kontainer berisi barang pecah belah.

"Coba kalo Bang Ganjar mampir ke rumah lo, Bay. Bisa-bisa langsung kena stroke."

"Lebai amet sih, Ras. Itu 'kan cuman mobil jadul seken."

"Lo gak ngeh selama ini Om Wira punya mobil kolektor di rumah? Kemaren gue liat di internet, harganya di atas 500 juta, Bay!"

Apa benar perkataan Saras soal mobil Ayah? Abay bisa kaya mendadak dengan mobil sedan tua kesayangan Ayah. Tanpa ginjal hilang satu apalagi bertemu Lenny di ruang interogasi semalam suntuk karena terjerat pesugihan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top