[Kenangan yang Hilang] - 3
Anggota tim Reserse sudah kembali lengkap. Mereka kembali menyelidiki kasus di Suryalaya setelah Rendra melaporkan serangan berikutnya pada sang ibu.
Berdasarkan perjanjian dengan psikiater, seharusnya Rendra membawa ibunya untuk kontrol rutin di hari Senin. Tiba-tiba saja ibunya jatuh dari ranjang lalu berteriak kencang. Rendra langsung menghubungi Isabella yang rumahnya dekat. Isabella, Rendra, dan perawat yang disewa Rendra kewalahan menangani Cempaka yang mengamuk.
"Pergi! Pergi kalian semua!"
Teriakan lantang sang ibu membuat Rendra serba salah. Dia tak bisa mengikat kedua kaki dan tangannya seperti Isabella bahkan perawat di rumah. Rendra kembali melapor pada Asosiasi berkat saran dari perawat.
"Kalo aja gak ada Bella sama Mbak Ida di sini, Ibu mungkin sudah kenapa-napa."
Kamar Cempaka kini terkunci rapat. Ida, seorang perawat berusia 20 tahunan, baru saja meninggalkan kamar itu.
"Mbak Ida, gimana Ibu?"
"Pak Rendra jangan cemas. Ibu udah tidur."
Rendra kemudian mengajak para cenayang berkeliling rumah ibunya. Sejak tadi Lenny terdiam di depan foto pernikahan Rendra.
"Di mana istri saudara Rendra? Saya tidak melihatnya sewaktu terakhir ke sini."
"Istri saya seorang manajer bank swasta. Dia masih training di Jayakarta. Dia baru saja berangkat kemarin sore."
Lenny lalu meminta Abay dan Malika berkeliling di sekitar rumah dengan dua lantai itu. Tidak ada benda mencurigakan seperti barang-barang bertuah atau jimat di sana. Mereka kemudian memasang detektor sekaligus mencari petunjuk.
Sementara itu, Rendra mengantar Lenny ke rumah Isabella. Rumah Isabella berada dua blok depan rumah Rendra, tepatnya di ujung persimpangan dekat gerbang menuju Suryalaya. Mobil Jazz hitam miliknya terparkir di garasi rumah.
Meskipun berbeda ibu, mereka begitu akrab. Isabella bahkan akrab dengan Cempaka seperti ibu kandungnya sendiri. Wanita berusia 30 tahunan itu lalu menyambut mereka dengan senyuman ramah.
"Mas Rendra. Ibu Cempaka gimana?"
"Udah mendingan, Bel."
Isabella bekerja sebagai bagian pemasaran dari Priya Group. Dialah otak di balik kesuksesan restoran ayam geprek Pitik hingga sekarang. Namun, pembukaan cabang ke-10 di Jayakarta turut mengakhiri pula kebersamaannya dengan sang ayah. Lenny kemudian memeriksa barang-barang di rumah Isabella dengan seizinnya.
"Apa hubungan keluarga saudari Bella memang seperti ini?"
"Ya begitulah. Biar beda ibu, pasti ada waktunya berantem sama rukun. Untungnya karena Mas Rendra anak yang paling tua jadi lebih pengertian."
"Di mana dua saudara yang lain?"
"Maksudnya Putri sama Mas Billy? Mereka masih sibuk mengurusi soal aset Papa."
Berdasarkan informasi Isabella, keluarganya memang tengah mengurusi masalah pembagian harta warisan beserta aset perusahaan. Masalahnya serumit perhitungan aljabar kompleks yang harus diselesaikan dalam soal ujian selama tiga menit. Aset-aset pribadi milik Priya Sumarsono tersebar daAlam beragam bentuk. Mulai dari aset fisik berupa restoran hingga aset lain seperti saham, bongkahan emas, dan tabungan di bank luar negeri. Selain itu pengacara pribadinya masih mengurusi masalah perpindahan aset perusahaan. Hal itu memakan waktu yang tidak sebentar mengingat rumitnya masalah hukum negeri ini.
"Serangan" yang dilancarkan pada Cempaka turut memperkeruh keadaan di antara keluarga Priya Sumarsono. Berembus kencang kabar soal keterlibatan Maria dalam kasus ini. Namun, jika dilihat dari kedekatan anak-anak mereka, rasanya tidak mungkin. Hal itu dibenarkan pula dengan bahasa tubuh Rendra dan Isabella yang memperlihatkan kenyamanan satu sama lain.
Motif dari kasus yang menimpa keluarga Priya Sumarsono kemungkinan besar berhubungan dengan harta warisan. Lenny kemudian mendapatkan informasi mengenai pengacara pribadi Priya Sumarsono, Sanata Satyamkara. Hingga kini keberadaannya masih sulit untuk dihubungi bahkan oleh anak-anak Priya Sumarsono sekalipun. Jika saja keberadaan pengacara itu ... ketukan pintu ruang rapat membuyarkan hipotesis Lenny di depan papan tulis. Abay kemudian memasuki ruangan bak akuarium di tengah ruang unit Reserse itu.
"Ada apa?"
Abay menyerahkan hasil cetakan printer yang masih hangat. "Tadi Bang Jaka minta nitipin ini. Katanya penting."
Lenny membuka lembaran-lembaran di tangannya. "Apa kau tahu informasi yang berasal dari situs gosip itu sangat tidak relevan? Carilah sumber lain yang lebih terpercaya untuk penyelidikan!"
"Bukan gitu, Nyonya. Bang Jaka bilang sesuatu soal skandal istri keduanya."
Lenny membaca ulang artikel yang Abay cetak. Berita pada situs gosip itu memperlihatkan soal skandal antara istri kedua Priya Sumarsono dengan seorang penyanyi pendatang baru. Jauh sebelum sang pengusaha meninggal dunia. Jaka juga menyertakan artikel lain pada lembaran kedua di belakangnya.
Maria Soewono dulunya merupakan peragawati populer di era 90-an. Pernikahan itu menuai kontroversi mengingat pada masa itu poligami merupakan hal yang tak lazim. Para pengusaha, pejabat, dan orang penting lainnya lebih senang melakukan nikah siri daripada melegalkan pernikahan dengan wanita di luar istri sahnya.
Penelusuran Jaka lewat situs dan forum gosip mengarahkan dugaan akan motif penyerangan tersebut: gaya hidup Maria Soewono. Selama ini media kerap menyinggung soal perseteruan antara Cempaka Prameswari dan Maria Soewono. Tidak hanya karena gaya hidupnya selama masih menjadi peragawati, tetapi juga karena perhatian sang suami diduga lebih condong pada istri pertamanya.
Sejak tadi Lenny masih diam di depan papan tulis ruang rapat. Papan tulis itu kerap penuh dengan tempelan foto-foto dan potongan artikel berhubungan dengan kasus yang ditanganinya. Jika motif utama penyerangan bermula karena perseteruan di antara dua istri ....
"Abay."
"I-Iya, Nyonya."
"Bisakah kau menemaniku pergi ke rumah Maria Soewono?"
"Apa? Ru-Ru-Rumah Maria Soewono?"
"Iya. Kenapa kau sebingung itu?"
Setelah mendapat informasi dari Rendra, Abay dan Lenny pergi mengunjungi Maria Soewono yang tinggal di Kota Baru. Rumah Maria berada pada sebuah kluster dekat jam matahari raksasa. Sejak tadi Abay terus membandingkan foto dan alamat rumahnya dari foto dan alamat pemberian Rendra.
"Nyonya, kita gak salah tempat, 'kan?"
"Masa anaknya ngasih alamat yang salah?"
Abay kemudian memencet bel di depan rumah dua lantai itu.
"Permisi."
Seorang wanita lalu membukakan pintu dari dalam. Wanita bertahi lalat di dagu itu Maria Soewono. Wajahnya berbanding terbalik dengan Cempaka. Tidak banyak keriput di wajah mantan peragawati berusia 50 tahunan itu. Bisa saja itu berasal dari suntikan botox atau gaya hidup sehat yang dijalaninya.
"Siapa kalian?"
Lenny memperlihatkan sprindik dan lencana miliknya. "Aku Lenny Marcellina dari Asosiasi Sektor Kopo. Kedatanganku ke sini ingin memeriksa Ibu Maria Soewono atas kasus penyerangan Ibu Cempaka Prameswari."
"Apa? Mbak Cempaka diserang?"
Maria kemudian mempersilakan mereka masuk. Deretan piala dan pigura berisi potongan artikel mengenai dirinya bersanding dengan foto keluarga besarnya. Abay membantu Lenny mengambil barang bukti di sekitar rumahnya. Lagi, hasilnya nihil. Selagi Abay memeriksa keadaan sekitar rumah Maria dengan kemampuannya, Lenny bertanya pada Maria soal hubungannya dengan sang istri tua.
"Aku mendapat kabar kalau selama ini Ibu Maria dan Ibu Cempaka sempat berseteru terlebih setelah skandal perselingkuhan itu. Apa benar?"
"Sejak pertama kali aku menikah dengan Mas Pri, kami memang sering bertengkar. Aku memang tidak suka caranya yang kolot dalam mengelola aset Mas Pri dan membesarkan anak-anak. Bukan berarti aku benci Mbak Cempaka dan mencelakainya. Justru Mbak Cempaka banyak menolongku sewaktu skandal perselingkuhan itu muncul di media."
Perselisihan di antara istri muda dan istri tua memang hal yang lumrah terjadi bila berpoligami. Hal itu menggugurkan hipotesis Lenny soal penyerangan Cempaka yang didasarkan kebencian. Hasil penyelidikan Abay pun turut membenarkan perkataan Maria. Mereka lalu diam sesaat di mobil Lenny.
"Apa ada yang kau temukan?" tanya Lenny selagi menyalakan mesin.
"Aku melihat pertengkaran di antara korban dan Nyonya Maria yang terjadi di sana. Itu tidak ada hubungannya dengan harta warisan. Hanya masalah sepele soal cara menghadapi wartawan sewaktu skandal perselingkuhan itu muncul."
"Apa kau menemukan hal yang mencurigakan seperti kemunculan makhluk halus atau perubahan energi tak wajar?"
"Semuanya benar-benar negatif."
Kasus ini menemui jalan buntu. Satu-satunya petunjuk mengenai kasus ini berada di tangan pengacara. Masalahnya anak-anak Priya Sumarsono sendiri kesulitan menghubungi sang pengacara.
Keesokan harinya, Lenny meminta Jaka untuk mencari tahu soal pengacara pribadi Priya Sumarsono. Sanata Satyamkara bukanlah seorang pengacara ternama negeri ini. Namanya tertera pada situs resmi Priya Group sebagai kuasa hukum dari firma "Eddy dan Sanata". Penelusuran lebih lanjut mengenai pengacara itu mengarah pada kantornya di kawasan Tamansari.
Firma hukum itu tidak sibuk. Lengang seperti tanpa klien dan kasus. Dari kejauhan, sekelompok anak muda mondar-mandir membawa berkas menuju meja pegawai di depannya. Barangkali mereka mahasiswa Hukum yang magang. Lenny lalu menemui resepsionis di depannya.
"Permisi. Saya Lenny Marcellina dari Asosiasi Sektor Kopo. Saya ingin bertemu dengan Pak Sanata."
"Pak Sanata?" Seorang resepsionis pria menaruh teleponnya. "Beliau tidak datang ke sini sejak bulan lalu."
"Apakah beliau sedang sibuk menangani kasus di persidangan atau ada hal lain?"
"Saya juga kurang tahu sih, Bu. Pak San itu orangnya sibuk. Jarang ngobrol sama Pak Eddy atau pegawai lain di sini."
Lenny meninggalkan biro hukum itu dengan tangan kosong. Selagi Lenny hendak memanaskan mobil, dia berpapasan dengan seorang pria bersetelan jas rapi yang baru saja santai.
"Bu Lenny?"
Pria itu Eddy Sudrajat, pengacara kenalan Inspektur Edward. Edward sering meminta bantuannya untuk menjadi pengacara bagi korban orang miskin di persidangan.
"Pak Eddy. Kantornya di sini ya?"
"Iya. Ini firma punya saya dan teman kuliah dulu. Bu Lenny cari siapa?"
"Pak Sanata ada? Saya sedang menangani kasus yang berhubungan dengan percobaan pembunuhan istri Priya Sumarsono."
Air muka pengacara berbahu bidang itu berubah. Dia kemudian membawa Lenny ke ruang pribadinya di lantai dua kantor. Ruangan itu memiliki sofa putih nyaman. Kontras dengan perabot minimalis lain di ruangan itu yang serba cokelat.
"Aku tidak menyangka masalahnya bisa seburuk ini. Seingatku masalah pemindahtanganan aset milik Priya Group masih ditanganinya, tapi belakangan ini Pak San terlihat aneh."
"Kudengar dari resepsionis kalau beliau sudah tidak ke kantor selama sebulan. Apa benar?"
"Iya. Pak San tidak biasanya absen tanpa sebab seperti ini. Dia jarang sekali sakit. Tidak ada kasus lain yang ditanganinya selain masalah aset Priya Group yang banyak tersebar di luar negeri. Terakhir kali dia datang ke kantor, wajahnya benar-benar kusut. Pak San juga tidak mau bicara apapun soal perkembangan kasusnya. Padahal biasanya dia sering berkonsultasi padaku untuk perkara hukum yang sulit ditanganinya seperti pengurusan aset di luar negeri untuk ahli waris."
Perubahan ekspresi seseorang dalam kurun waktu tertentu bisa jadi menandakan adanya ancaman. Firasat Lenny benar soal pengacara itu. Dia mungkin tahu sesuatu soal masalah Cempaka.
"Pak Eddy, boleh saya tahu alamat rumah Pak San?"
Eddy mengeluarkan kartu nama di atas mejanya. "Ini kartu nama milik Pak San. Dia baru saja menggantinya sebelum menghilang. Sampaikan salamku juga padanya kalau ke sana."
Rumah sang pengacara berada di kawasan Sederhana, tak jauh dari Rumah Sakit Rancabadak. Lenny kemudian bertanya pada pedagang setempat mengenai alamat rumah itu. Sampailah dirinya pada rumah sang pengacara. Sebuah rumah dua lantai dengan mobil Brio terparkir di garasi rumah. Namun, perasaan Lenny tak enak sewaktu turun dari mobil.
Jalanan di sekitar kawasan Sederhana benar-benar lengang. Tak ada pedagang keliling apalagi kucing yang lalu lalang. Benarkah ini ... dan sebuah teriakan muncul dari rumah sang pengacara.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top