[Kenangan yang Hilang] - 2
Jemari halus menggenggam tangan-tangan mungil dan ringkih. Sejak tadi bocah kecil itu terus mendongak ke arah sosok tinggi di samping. Segaris cahaya dari langit menyapu sebagian tubuhnya hingga memudar. Ia lalu merunduk sesaat. Sepasang tangan berjemari kurus nan lembut mengusap wajahnya dengan penuh kasih sayang.
"Jangan takut. Abang akan menemani Lenny."
Setelah itu, Lenny terbangun dengan daster yang basah. Tepat pukul 12 malam. Waktu pada alarm samping nakas menunjukkan demikian. Adrian masih terlelap dalam bunga tidur.
Mimpi itu tak seperti malam-malam biasanya. Bukan detik-detik kematian kedua orang tuanya yang terus berulang di setiap malam. Dadanya menghangat, tapi hampa. Familiar, tapi asing. Layaknya terpanah asmara, tapi tak bisa mengingat sang terkasih dan kenapa.
Lupakan saja. Lenny kembali menarik selimut. Dia tak boleh terlambat untuk mempersiapkan kebutuhan keluarganya esok pagi.
Enam bulan sudah kepergian Priya Sumarsono dari dunia ini. Kecelakaan hebat di tol Purbaleunyi km 96 merenggut nyawa sang pengusaha kuliner eksentrik asal Kopo, tak lama setelah meresmikan cabang restoran ayam geprek di Jayakarta. Kepergian sang pengusaha menyisakan masalah di antara kedua istri sahnya. Masalah pembagian harta warisan yang belum tuntas menjadi cikal bakal kasus baru yang masuk ke Unit Pelayanan Masyarakat Asosiasi.
Siang itu, sebuah rumah bertipe 120 di bilangan Suryalaya menjadi tujuan Lenny. Letaknya yang dekat dengan Rajamantri membuat Lenny sengaja ke sana sebelum pulang. Seorang pria berambut cokelat klimis menyambut Lenny yang turun dari mobil. Itu Rendra. Anak tunggal dari Cempaka Prameswari, istri pertama. Dia melaporkan kejanggalan yang dialami ibunya pada Asosiasi kemarin. Hari itu Lenny datang langsung untuk memeriksa kondisi korban atas seizin Rendra.
"Dokter sempat bilang kalau Ibu kena depresi. Ibu sempat mengonsumsi obat-obatan, tapi kondisinya tambah memburuk. Teman dekat Ibu bilang kalo ada yang 'ngirimin' Ibu."
Rendra membukakan pintu kamar di depannya. Seorang wanita terduduk di atas ranjang sambil memeluk bantal. Rona kusam dan mata cekung mengaburkan sisa kecantikan di balik wajah tirusnya. Wanita paruh baya itu menua lebih cepat dalam kurun satu semester. Dia seperti orang lain dibandingkan dengan deretan foto dan potongan artikel bisnis tentang kesuksesan sang suami.
"Bu, ini Bu Lenny."
Cempaka terus mengelus-elus bantal di pelukannya.
"Apa ibumu juga mengalami masalah gangguan pendengaran?"
"Tidak. Ibu memang seperti ini setelah Bapak meninggal."
"Kiriman" bisa berarti gangguan dari makhluk halus atau ilmu hitam. Detektor yang tersembunyi di balik tas Lenny tidak menunjukkan apapun. Tak ada perubahan konsentrasi energi mendadak atau reaksi fisik yang aneh sewaktu memasuki rumah Cempaka.
Petang pun menjelang. Lenny undur diri untuk pulang. Rendra mengantar Lenny ke depan pintu rumah.
"Aku tidak menemukan apapun yang janggal di sekitar sini. Sebaiknya Saudara Rendra harus melanjutkan pengobatan Bu Cempaka sambil terus memeriksa keadaan selama seminggu. Jika tidak ada gangguan apapun selama seminggu ini, Saudara Rendra bisa datang ke markas untuk mencabut laporan kasus ini."
Sebuah mobil Jazz hitam menghalangi mobil Lenny di depan rumah Cempaka. Seorang wanita turun dari mobil itu.
"Rendra. Siapa dia?"
"Ini Bu Lenny dari Asosiasi."
Wanita di depan Rendra itu Isabella, adik tirinya. Isabella merupakan anak kedua dari Maria Soewono. Meskipun berbeda ibu, mereka teramat rukun.
Serangan gaib seperti penyakit nonmedis memang sulit terdeteksi. Cenayang Asosiasi bukanlah cenayang sebenarnya, secara harfiah. Mereka sebatas anggota satuan polisi berkemampuan khusus. Mereka bukan dukun apalagi pemuka agama yang bisa langsung mengatakan "dia terkena teluh" lalu mengobatinya. Cenayang tak bisa melakukan hal itu. Masih ada prosedur penyelidikan dan hukum yang harus berjalan di samping tak punya kapasitas untuk menolong korban.
Kasus ini sangat merepotkan tanpa keberadaan Abay. Kemampuannya bisa menguak rahasia dan petunjuk yang bahkan luput dari detektor, analisis bahasa tubuh, bahkan deduksi Lenny semata. Tak ada bahasa tubuh mencurigakan, baik saat keduanya berbicara maupun ekspresi mikro di wajah, yang menyiratkan serangan terhadap Cempaka.
Sabtu pagi di Rajamantri tidak seramai daerah lain. Tak ada pasar kaget, orang-orang berlari di sekitar rumah, apalagi penduduk yang membawa peliharaannya jalan-jalan. Nyaris senyap, tapi tak seperti sebagian besar rumah di utara Kopo yang hanya dihuni anjing dan pembantu rumah tangga. Kucing-kucing liar yang bersliweran jauh lebih rajin berolahraga daripada para penghuni di sana.
Namun, itu tidak berlaku bagi penghuni rumah tua satu tapak berhalaman luas dengan saung di belakang rumah. Sejak tadi getaran kecil merambati jalanan yang bahkan pedagang keliling sekalipun tidak lewat. Bantingan. Pukulan. Lalu tendangan bertubi-tubi menyasar pada pemuda malang yang menjadi samsak pagi itu. Lenny terus menutup mata Ryan yang bermain di saung.
"Mama. Kapan Papa beres bersihin kasur?"
"Bentar lagi ya. Sabar. Nanti Ryan dibeliin es krim sama coklat kok."
Suara gedebuk berulang-ulang yang menghantam halaman belakang persis seperti kasur yang ditepuk-tepuk selagi dijemur. Abay menjadi pemukul kasur halaman belakang yang sejak tadi penuh dengan debu dan serangga. Darah segar melumasi bibir Abay yang menghitam. Sekujur tubuhnya remuk redam berkat serangan bertubi-tubi Adrian. Matanya terus berkedut akibat lebam sebesar jambu batu matang yang tumbuh di samping rumah Lenny.
Lenny langsung membawa Ryan ke kamar sebelum menepikan Abay ke saung. Satu baskom berisi air dan es kini mengompresi wajah Abay yang lebam. Persendian di tubuhnya nyaris tercerabut karena serangan Adrian yang tidak tanggung-tanggung.
"Adrian. Kau benar-benar tega!" hardik Lenny.
"Lho, Abay yang minta kok."
"Masalahnya bukan gitu. Dia masih ulangan."
Abay membalas sembari meringis, "Aku udah sante kok. Minggu besok juga cuman pembagian hasil ulangan."
"Tetap saja."
Aliran tenaga dalam membanjiri tubuh Abay. Sejak tadi pemuda malang itu kelojotan di atas saung. Baik Adrian maupun Abay, keduanya seakan tak mau mengalah dalam pertarungan sebelumnya. Memang kemampuan Abay meningkat setelah kejadian di Kopo Medical Center, tapi ... bukan begini caranya.
Adrian pergi membelikan es krim dan cokelat. Sementara itu, Lenny melilitkan perban di kepalanya.
"Jika kau benar-benar serius ingin membantu, janganlah memaksakan dirimu seperti ini. Siapa yang akan menolong tim jika badanmu babak belur seperti ini?"
"Maaf, Nyonya."
"Kau juga harus sisakan sedikit tenaga dalam untuk mengobati rekan satu tim yang terluka parah."
Lenny menepikan kotak peralatan medis ke sudut saung.
"Nyonya benar-benar telaten mengobati orang lain. Kenapa Nyonya gak jadi dokter aja?"
"Aku ingin keadilan ditegakkan bagi anak-anak korban pembunuhan sepertiku. Itu sebabnya aku memilih menjadi polisi. Meski akhirnya mereka 'membuangku' ke Asosiasi."
"Nyo-Nyonya pernah dibunuh?"
"Aku sebatas ingat teriakan ibuku yang memintaku tetap bersembunyi. Lalu bapak dan ibuku saling membunuh. Seakan-akan mereka bukan dirinya sendiri. Bapak tua mengejarku dengan kapak berlumur darah. Hal itu terus berulang dalam mimpiku setiap malam."
Abay pucat pasi. Bibirnya menganga dalam diam. Biasanya ia melihat kejadian dari masa lalu bila diam terlalu lama. Tangannya gemetar. Tiba-tiba saja Abay meringkuk di atas saung. Lenny langsung mendudukkannya.
"Apa serangan Adrian tadi masih membuat kepalamu pusing?"
"Sepertinya. Nyonya benar. Aku melihat darah dan seorang pria tertawa di rumah besar. Sepasang suami istri yang saling menyerang dengan mata kosong. Jika aku berada di posisi Nyonya ...."
"Itu sebabnya aku tidak mau terlibat langsung dengan kasus santet. Badanku selalu gemetar ketika memasuki TKP. Bahkan saat kasus di Imam Bonjol itu, aku nyaris kehilangan akal sehat setelah berhadapan dengan pengguna ilmu hitam."
Abay menggenggam tangan Lenny. "Nyonya gak usah takut. Masih ada kita di sini kok."
Lalu suara misterius seakan menyambung perkataan Abay, "Lenny juga jangan merasa sendiri. Abang sama Adrian akan membantu Lenny kalau ada masalah."
Kehangatan di dada membuat Lenny terisak. Dia memang tak bisa mengingat sosok itu. Sosok misterius itu sedekat dua jari yang berdampingan. Tak pernah terjangkau, tapi selalu memberi kehangatan yang menenangkan.
"Nyo-Nyonya kenapa?"
"Makasih," pungkasnya dalam senyuman berlinang air mata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top