[Delusi] - 2

Hamparan rumput halus berayun di bawah simfoni angin. Angin itu turut membelai rambut jabrik Abay.

Dia menoleh sekitar. Hamparan kebun sayur menyambutnya tepat di depan mata, tidak jauh dari padang beralaskan rumput liar tempatnya berpijak. Tunas-tunas kecil menyembul dari dalam baris demi baris tanah nan gembur. Barangkali itu tanaman rambat lain seperti tomat dan ketimun mengingat ada penyangga tegap di atasnya.

Pikirannya menjelajah mundur pada setiap sel neuronnya. Sungguh. Tersesat berulang kali di tempat yang sama benar-benar tidak lucu.

"Apa ini mungkin mimpi?" gumam Abay.

Pipinya pun sakit berkat cubitan, tamparan, bahkan gigitan yang disengaja di bagian dalam mulut. Mana mungkin mimpi bisa membuatnya kesakitan seperti ini. Lucid dream? Entahlah.

Abay susuri jalan setapak di antara hamparan kebun sayur. Jalannya menanjak dengan aliran air di kanal kecil mengikuti jalanan tersebut.

Ada sebuah rumah kecil dengan hutan di belakang dan hamparan rumput yang luas untuk anak kecil berlari mengejar layangan. Sebuah rumah tagog anjing berdiri tegap tepat di depan mata.

Seorang pria bertelanjang kaki duduk di selasarnya. Pria itu tersenyum ke arah Abay.

"Halo."

Pria itu memiliki senyuman menyipit persis Tora—anggota Karang Taruna bermata sipit yang juga sahabatnya.

"Lho, katanya mau pulang. Apa jangan-jangan kau tersesat?"

"Aku juga bingung kenapa bisa balik lagi ke sini."

"Apa mungkin kau sedang mencari Abimana? Dia belum pulang sejak tadi. Aku takut dia pingsan di tengah jalan."

Abay mengerjapkan matanya berulang-ulang. "Paman, Abimana itu siapa?"

"Pemilik rumah ini. Kupikir kau mengenalnya," balas pria itu dalam senyuman.

"Aku juga nyasar ke sini kok. Mana mungkin kenal sama teman Paman."

"Oh ya, siapa namamu?"

"Bayu Samudera. Biasa dipanggil Abay ato Dekil."

Pria berbaju lurik itu tertawa terbahak-bahak. "Dekil? Ada-ada saja panggilan anak muda zaman sekarang."

"Soalnya kulitku kayak orang gak mandi tiga bulan."

"Kau ini benar-benar polos ya. Hati-hati di jalan. Kabari aku jika bertemu dengan Abimana!"

Suara Ayah tiba-tiba bergema dari jauh. Abay lalu mencari asal suara itu. Tahu-tahu dirinya terbangun di atas jok mobil. Sabuk pengaman terikat kencang di badannya.

"Nak. Bangun. Sudah sampai."

Ayah lalu meninggalkan mobil. Keadaan teras rumah menjadi pemandangan pertama yang muncul di depan mata. Abay lalu mengurutkan kejadian sebelum ada di mobil. Dia sedang pergi ke psikiater. Mengisi formulir. Tahu-tahu sudah ada di rumah. Kepalanya pengar setelah berusaha mengingat kejadian yang hilang.

"Ayah."

Ayah berdiri di depan pintu kamarnya. "Apa kepalamu sudah mendingan?"

"Mendingan?"

"Kau pingsan sewaktu di rumah sakit. Dokter itu bilang kau harus menemuinya dua minggu lagi di rumah sakit. Dokter itu juga memberikan nomornya untuk ngebel. Nanti Ayah kirimkan nomornya di WasApp."

"Ayah, mana surat dokternya?"

"Hampir saja lupa," balas Ayah selagi memberikan amplop berisi surat dokter di tangannya.

Keesokan harinya, Abay kembali masuk sekolah. Dia selipkan surat dokter di antara buku absensi kelas. Masalah dengan absensi kelasnya selesai, tapi tidak dengan markas Asosiasi.

Sepulang sekolah, Abay langsung ke markas Asosiasi. Lenny lalu menarik pemuda yang baru saja memasuki ruangan unit ke dalam ruangannya.

"Nyo-Nyo-Nyo-nya!"

Seperti biasa, Lenny mendadak menjadi Medusa di hadapan Abay.

"Dari mana saja kau kemarin?"

Abay menundukkan kepalanya. "Ru-Ru-Ru-Rumah sakit."

Lenny melembutkan suaranya, "Sakit?"

Pemuda payah itu mengangguk.

"Sakit apa?"

"Aku tidak tahu, Nyonya. A-Ayah tiba-tiba membawaku ke Rancabadak."

"Bukankah kau menyimpan nomorku? Kenapa kau tidak menghubungiku di WasApp? Mana surat dokternya?"

"Di ... sekolah."

Lenny melipat tangannya di dada. "Bayu, ini Asosiasi. Lembaga pemerintah. Kau jangan menghilang begitu saja. Kau bisa terkena sanksi atau potong gaji karena hal ini."

"A-Apa? Potong gaji?"

"Seharusnya aku meminta unit Administrasi untuk memotong gajimu. Kupikir kau lari dari tanggung jawab sebagai cenayang. Kali ini kumaafkan. Lain kali, kau harus memberikan surat dokter atau mengabariku. Paham?"

"Ba-Baik, Nyonya," jawabnya lirih.

Tiga minggu damai tanpa kasus. Ini rekor terpanjang selama Abay bergabung dengan Asosiasi. Pemuda itu menggeliat di depan komputer markas. Laporannya sudah selesai. Dia bisa pulang lebih cepat.

Sesampainya di rumah, Abay bisa tidur nyenyak. Dia harus bangun lebih awal untuk mengikuti rapat Karang Taruna. Sudah cukup masalah menghampirinya karena begadang di situasi genting.

Malam itu dia bermimpi.

Jalanan Marga Asih di sekitar rumahnya benar-benar lengang. Tanpa denting mangkuk pedagang keliling bahkan suara melengking penjual bandrek. Tidak ada kucing liar atau burung gereja yang biasanya lalu-lalang di sekitar rumah. Bahkan deru kendaraan dari arah Prama atau jalan lintas Marga Asih di belakang rumahnya.

Abay tercenung di depan rumah bercat putih berhias keramik kecokelatan sebagai ornamennya. Pot-pot cantik berisi aneka tanaman dan bonsai tertata rapi di sekitar. Gemericik air terjun dari kolam ikan di sudut halaman mengisi kesunyian siang itu. Pagarnya terbuka. Abay meninggalkan halaman rumah itu. Rumahnya di ujung persimpangan kini berada sejauh lima rumah di depan.

Sejak kapan ia berada di rumah Tora? Tubuhnya ikut-ikutan mengecil sebesar anak TK. Apa ini pengaruh APTX 4869? Huh. Terlalu banyak menonton film memang membuat imajinasi Abay tidak terkendali.

Abay lalu kembali ke rumahnya. Dia berpapasan dengan seorang wanita yang berjalan dari arah sebaliknya. Rambut hitam legam bergelombang jatuh lemas melewati dada. Gaun putih panjang membuat kulit kuning langsatnya menyilaukan di siang terik. Kantung keresek berlatar putih dengan tulisan Toserba Mataram berada pada genggaman kedua tangannya. Wanita itu tersenyum lebar ke arahnya.

"Abay?"

Suara lembut itu membuat matanya berkaca-kaca. Abay terus berlari seraya berseru.

"Ibu!"

Ibu tidak pernah kembali lagi setelah pergi ke Toserba Mataram. Bahkan hingga petang menjelang, Ibu tidak menjemputnya setelah bermain di rumah Tora. Penantian selama tiga belas tahun lamanya kini terbalaskan meski dalam mimpi.

Abay lalu mendekap erat Ibu yang tak sedikitpun menua. Raganya persis seperti kenangan masa kecil Abay. Luapan air mata membasahi gaun putih Ibu.

"Bu. Ibu ke mana aja? Abay kangen sama Ibu," isak Abay yang tak ingin kehilangan sedetik momen bersama dengan Ibu.

Namun, langit Marga Asih berubah gelap gulita. Tubuh Ibu perlahan mendingin. Abay gemetar. Sepertinya mulai masuk angin karena bajunya basah kuyup. Gaun putih kesayangan Ibu lalu memerah.

"Bu?"

Abay bergerak mundur. Genangan darah setinggi mata kaki membuatnya terjatuh. Kedua bola matanya semakin melebar. Kini sesosok tanpa kepala dengan gaun tidur satin putih tergeletak di atas genangan darah.

"Ibu!"

Keringat dingin membasahi piyamanya. Sinar rembulan dari sela-sela tirai menerangi sedikit kulitnya yang tak jauh beda dengan bayangan dalam kegelapan. Abay memang tidur dengan lampu padam. Dia menoleh ke arah jam dinding. Pukul 11 malam. Kondisi fisik anehnya membantu Abay melihat apapun seterang siang. Tidak bisa tidur, dia kembali pada kebiasaannya di akhir pekan: begadang menonton film.

Pagi itu Abay terus menguap. Kepalanya terangguk-angguk menahan kantuk selagi duduk di ruang makan. Ressa yang baru saja mengangkat makanan dari kompor pun mencibir.

"Bay, ngapain sih begadang mulu? Gimana kalo nanti sakit terus gak bisa sekolah sama kerja?"

"Semalem aku gak bisa tidur, Kak."

Ressa mengambil nasi untuk Abay dari rice cooker. "Itu karena kamu dibiasain begadang."

"Ini beneran, Kak. Semalem aku mimpi Ibu mati tanpa kepala. Gimana gak parno, Kak?"

Ayah lalu duduk di samping Abay.

"Apa perlu Ayah temani lagi ke psikiater?"

Abay menundukkan kepala ke arah sepiring nasi di depannya.

"Makanya. Berdoa dulu sebelum tidur. Biar gak mimpi buruk," pungkas Ressa selagi mengambilkan lauk untuk Abay.

Kepalanya pening akibat kurang tidur dan terbayang-bayang mimpi buruk. Abay nyaris salah mengira tetangga yang menyapu di jalan itu penampakan makhluk halus. Pikirannya kacau selama perjalanan menuju gedung sekretariat Karang Taruna yang ada di samping gedung serbaguna RW 09. Adnan yang tinggal di seberangnya lalu menghampiri Abay.

"Bay, masih sakit? Jangan maksain ikut rapat," bujuk Adnan.

"Gue gak enak kalo absen terus."

"Lu sekarang udah kerja. Wajar kalo jarang aktif. Anak-anak juga maklumin kok."

Mereka lalu memasuki gedung sekretariat Karang Taruna. Pagi itu para anggota Karang Taruna membahas program kerja tahunan. Sejak tadi perkataan Adnan dan anggota lainnya mengabur. Bobby yang duduk di sampingnya menepuk bahu Abay.

"Bay, poker kuy. Pasang taruhan yang gede biar rame."

Abay dan Bobby memang biasa main kartu dengan taruhan. Mereka sering tidak mau kalah dalam urusan bermain kartu. Ajakan Bobby tidak membuatnya kembali waspada. Namun, sosok berwujud persis anjing hitam menggantikan Bobby begitu saja. Abay lalu merangkak mundur menjauhi Bobby.

"Bay?"

Pertanyaan serupa muncul pada sosok anjing hitam dengan gigi bergerigi nan runcing. Anjing hitam bermata merah itu menyeringai di hadapan Abay. Ia bersiap untuk menerkam Abay di dalam gedung Sekretariat.

"Nan, duluan ya. Badan gue mulai gak enak," ucap Abay dalam gemetar.

Para anggota Karang Taruna terpaku sesaat setelah kepergian Abay. Pemuda keling itu lari tunggang-langgang kembali ke rumah.

Ayah benar. Abay harus pergi ke psikiater.

NB:

Tagog anjing itu salah satu rumah tradisional orang Sunda. Bentuknya persis rumah panggung dengan ukuran yang kecil. Sekilas bentuk atap rumah itu memang seperti anjing yang sedang duduk.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top