[Acara Kantor] - 2

Angin apa yang tiba-tiba membuat Ayah mengajaknya ke acara kantor? Pertanyaan Ayah jauh lebih membuatnya terkejut daripada kemunculan film Laura Basuki di kanal TV kabel.

Kantor Ayah selalu mengadakan acara tahunan khusus untuk mendekatkan para pegawai beserta keluarganya. Tak jarang, banyak pegawai mendapat jodohnya dari acara ini. Anak-anak pun bisa bermain sepuasnya dengan banyak teman dan makanan. Setidaknya, itu berdasarkan cerita dari Ressa semasa kecil.

"Bay, di sana banyak banget temennya. Ada juga yang sepantaran sama Abay."

Kuping dan dadanya panas setiap kali Ressa bercerita soal acara itu. Ressa sering membawa makanan dari sana untuk Abay. Namun, Ayah ... Ayah seakan-akan menganggap anaknya hanya Ressa. Abay selalu berada di rumah saudaranya atau pergi bermain setiap kali Ayah dan Ressa pergi. Tidak pernah Ayah mengajak apalagi mengingat keberadaan Abay selagi ada di sana. Percuma saja berharap Ayah akan mengajaknya.

Pertanyaan itu ... Abay masih terdiam di kamar setelah filmnya usai. Ayah meminta izin untuk mengambil baju dari dalam kamar.

"Ayah tidak memaksa bila tidak mau ikut. Itu memang hakmu."

Acara kantor itu sering sampai malam. Siapa yang akan menggembok pagar bila kakinya masih pincang seperti ini?

"Kurasa aku ikut."

"Bersiaplah, Nak. Jalanan menuju Hotel Neumann akan macet bila tidak berangkat sekarang."

Pergi ke sana? Abay tak punya pakaian formal meskipun hanya satu setel kemeja batik. Ia tak bisa mandi cepat dengan kondisinya sekarang.

"Pakai ini, Nak."

Ayah mengeluarkan sebuah jas berwarna biru gelap yang seperti baru. Ayah jarang memakai jas jika bukan acara penting seperti halnya presentasi tender di depan klien. Postur badan Abay memang jauh lebih ramping dibandingkan dengan Ayah. Jas milik sang ayah kedodoran di tubuhnya.

Sekitar pukul 3 siang. Abay sudah siap dengan setelan kemeja terbaiknya. Tidak serapi Wirawan Wiguna sang manajer konstruksi. Abay masih kesulitan menjejaki lantai. Tangannya segera meraih kruk di samping ranjang.

"Kau yakin ingin ke sana dengan tongkat, Nak?"

"Dokter bilang aku harus banyak latihan biar bisa jalan lagi."

Ayah berusaha menuntun Abay menuju mobil. Kaki kirinya masih terangkat seperti sedang bermain sondah.

Sebelah kakinya melompat setiap kaki pasangannya berusaha menapak pelan-pelan. Kaki kirinya belum pulih benar. Masih ada rasa sakit menghimpit dari bengkak di sekitar tulang kaki yang patah.

Hotel Neumann menjadi tujuan mereka malam itu. Setiap tahunnya, Palapa Konstruksi selalu mengadakan konsep yang berbeda untuk outing day. Tahun ini mengambil konsep gala dinner sekaligus malam penghargaan bagi pegawai terbaik. Semua tamu undangan kenakan pakaian terbaik mereka. Tak peduli dirinya seorang office boy ataupun salah seorang dewan direksi. Seorang pemandu acara tampak menguji coba mikrofon di atas panggung. Beberapa orang berseragam ala kepala pelayan berkeliling membagikan camilan sebelum acara utama dimulai.

Abay tidak banyak bicara. Keadaan di sekitarnya membuat mata dan harga dirinya tertunduk. Ia tidak bisa berjalan-jalan mengingat jalannya masih pincang. Ayah bisa saja memarahinya seperti biasa. Ia juga harus menjaga nama baik Ayah di depan koleganya. Bahkan saat kolega sang ayah datang, ia memasang senyuman kaku nan palsu.

"Apa ini anak Pak Wira juga? Di mana putri Pak Wira? Biasanya Bapak selalu datang dengannya."

"Dia Abay. Anak keduaku. Ressa sedang sibuk dengan kegiatan dies natalis di kampusnya."

Lagi-lagi kerumunan itu membicarakan soal Ressa. Keberadaannya menjadi pemanis di samping Ayah. Seharusnya Abay di rumah saja.

"Kenapa dengan anak Pak Wira? Apa Pak Wira sengaja tidak mengajaknya karena cacat?"

Ayah membalas, "Anakku itu normal. Dia hanya mengalami cedera sewaktu bertugas sebagai cenayang."

"Astaga. Semuda itu sudah bergabung dengan Asosiasi? Pak Wira pasti membesarkan kedua anak Bapak hingga jadi seperti sekarang."

Meskipun pembicaraan kolega Ayah berubah baik di telinga Abay, tetap saja. Telinga dan dadanya panas dengan keadaan ballroom hotel. Keberadaan AC sekalipun tak sanggup mendinginkan bara itu. Lebih baik Abay mengambil minum saja dari atas bufet berlapis taplak putih di seberang sana.

Dengan langkah tertatih, Abay berusaha mengambil minum. Ia tepis setiap tawaran pelayan yang mondar-mandir membawakan camilan dan minuman bagi para tamu. Baru saja mengambil minum, seorang anak kecil tak sengaja menabrak tubuhnya dari jauh. Pecahan gelas menyebar di atas karpet hotel. Syukurlah tidak mengenai tangan dan kakinya. Kemejanya basah dengan minuman. Bocah lelaki itu gemetar.

"Ma-Maaf."

Keadaan tersebut membuat suasana ballroom Hotel Neumann yang mendadak hening. Tahu begini Abay menerima tawaran pelayan atau pergi dengan kursi roda saja.

"Pasti dia akan marah-marah lagi," cibirnya selagi bangkit. Seorang pelayan yang tengah mengambil camilan dan minuman turut membantu Abay berdiri. Sementara itu, bocah lelaki kecil itu mengambil kruknya. Sejak tadi kepalanya terus menunduk.

"Kakak maaf. Kakak gak apa-apa?"

"Kaki Kakak memang sedang sakit kok," balas Abay selagi berdiri dengan sepasang kruknya.

Bocah lelaki itu ambil sapu tangan dari dalam setelan jas putihnya. Dia bersihkan noda di kemeja Abay. Tak lama kemudian, seorang gadis bersetelan gaun rapi mendekat.

"Vito. Apa yang kau lakukan? Sudah Kakak bilang. Jangan berlari di sekitar sini. Banyak orang lalu lalang dan—" dia melirik ke arah Abay. "—Bayu? Sedang apa kau di sini?"

Abay pun memalingkan wajahnya. "Gu-Gue kepaksa ke sini gara-gara Ayah. Udah tahu sekarang ada film rame yang tayang di TV kabel malah diajak ke sini."

Rupanya gadis itu Sephia. Dia langsung menuntun Abay kembali ke kursi para tamu undangan. Setelan gaun satin panjang menjulur melewati lututnya itu pasti buatan desainer. Tidak biasanya juga Sephia mengenakan riasan natural dan jepit rambut di kepalanya. Kenapa ini? Kenapa tiba-tiba wajah Abay merah padam?

"Kakak, ini teman Kakak?" tanya bocah lelaki di samping Abay.

"Iya. Ini Kak Bayu. Teman sekolah Kakak. Vito. Minta maaflah padanya."

"Maaf ya, Kak," ucap Vito sambil menggenggam sapu tangannya. Meskipun keduanya bermata sipit, Vito tidak begitu mirip dengan Sephia.

Dari jauh, mata Abay tertuju pada Sephia. Ia benar-benar berbeda dari personanya sebagai seorang cenayang atau sebagai dirinya yang biasa. Cara pakaian dan sopan santun yang ditunjukkan adiknya pun membuat Abay semakin terdiam. Mereka benar-benar seperti berasal dari langit dan bumi.

Sephia benar-benar cantik dengan riasan. Sayang kecantikan khas orientalnya tertutupi dengan trauma hingga tidak terpancar sempurna. Hari ini nyaris tak ada jarak di antara mereka. Sephia terus menunduk seakan-akan ada sesuatu yang disembunyikan. Keduanya pun diam sesaat dalam jangka waktu lama.

"A-Apa ayahmu bekerja di Palapa Konstruksi?" tanya Sephia sambil menunduk.

"Iya. Ayah memang manajer di sini. Kenapa? Aneh?"

"Ku-Kupikir ayahmu itu seorang cenayang. Beliau terlihat seperti seorang cenayang senior."

Seorang wanita berjalan sendiri sambil mengenakan tas tangan. Dia lalu mendekati Sephia yang duduk di area para tamu. "Sephia sayang. Apa kau sedang bersama Vito?"

"Vito di sini, Ma!" balas Sephia sambil menunjuk ke samping Abay.

Wanita itu tidak bermata sipit seperti Sephia dan Vito. Matanya besar dengan riasan wajah yang tebal. Rambut pirangnya digelung seperti riasan salon. Bibir merah merekah menggoda mata siapapun yang memandangnya. Wanita itu memancarkan aura yang membungkam Sephia dari dekat. Hawa ini ....

"Sephia sayang. Siapa dia? Apa dia kekasihmu?"

"Ma, ini Bayu. Dia teman sekelasku di sekolah."

Wanita itu menyiratkan senyuman menggoda ke arah Abay. "Senang bertemu denganmu. Aku Lidya, mama Sephia. Terima kasih kau sudah menemani putriku selama di sini. Omong-omong, kau benar-benar persis seseorang yang kukenal."

Abay gemetar dengan sorot mata tajam Lidya. Napasnya tertahan di ujung bibir. Sephia lalu mendelik ke arah mamanya. "Ma. Sebentar lagi acaranya mau dimulai."

"Nak Bayu, kami permisi dulu."

"Dadah teman Kakak!" seru Vito. Mereka bertiga lalu pergi menuju meja di dekat panggung. Sephia menoleh ke arahnya seakan menyiratkan sesuatu pada Abay.

Siapa wanita bernama Lidya itu? Kenapa dadanya tiba-tiba sesak dan pikirannya kosong?

Acara outing day hari itu pun dimulai. Keadaan ballroom hotel berubah sunyi, kontras dengan suara sang pembawa acara. Pembawa acara pria itu terus menyampaikan kata sambutan bagi para tamu yang sudah datang. Sejak tadi Abay terus menguap dengan acara di atas panggung.

"Membosankan. Kenapa Kak Ressa bisa kuat ikut acara ini sih?" gerutu Abay.

"Biasanya outing day itu acara keluarga dan hiburan biasa. Bukan malam penghargaan seperti sekarang," balas Ayah.

Pembawa acara lalu mempersilakan perwakilan dari dewan direksi dan pemegang saham untuk menyampaikan kata sambutannya. Saat itu mata Abay membelalak dengan keberadaan seorang wanita bergaun hitam panjang di atas panggung. Tunggu. Bukankah itu mama Sephia? Jadi, ponsel mahal itu ... Sephia benar-benar berasal dari keluarga golongan atas? Abay nyaris saja pingsan setelah mendengar sambutan mama Sephia di atas panggung, sebagai perwakilan dari pemegang saham Palapa Konstruksi.

"Aku ke sini mewakili suamiku yang sedang berhalangan hadir. Seharusnya suamiku yang membuka acara outing day sekaligus malam penghargaan bagi para karyawan berprestasi ini. Kami harap penghargaan ini bisa memacu produktivitas dan kinerja para karyawan agar jauh lebih baik ke depannya. Dengan ini, acara outing day dan malam penghargaan karyawan berprestasi resmi dibuka," pungkas mama Sephia.

Pidato singkat itu lalu berakhir dengan tepukan tangan meriah dari seluruh tamu undangan. Abay masih pucat pasi dengan keberadaan mama Sephia yang baru saja turun dari panggung. Sementara itu, Ayah mematung. Tangannya terus mengepal di atas meja makan.

"Ayah."

"Sialan. Kenapa wanita jalang itu berada di sini?" bisiknya.

"Ayah bicara apa barusan?"

"Jangan pernah sekalipun berurusan dengannya, Nak. Berhadapan dengan Lidya itu sama saja dengan cari mati."

Acara pun berlanjut dengan pembagian penghargaan bagi para karyawan berprestasi. Ayah lalu maju ke atas panggung sebagai salah satu manajer terbaik tahun ini. Namun, wajahnya masam selagi menerima penghargaan dari direktur perusahaan. Setelah itu, acara outing day berlanjut dengan makan malam untuk seluruh tamu undangan. Wajah Ayah benar-benar masam selagi makan malam.

"Bukannya Ayah bilang kalo makanan itu jangan dibuang-buang?"

"Nak, sebaiknya kita pulang saja. Firasat Ayah mengatakan hal buruk akan terjadi malam ini."

"Fi-Firasat buruk?"

"Habiskan makananmu, Nak. Kita langsung akan pulang setelah ini."

Sejak mendapat penghargaan, Ayah terus cemberut. Ayah juga tidak banyak bicara dengan koleganya yang lain seperti sebelumnya. Ayah terus menyembunyikan sesuatu di balik senyuman. Ayah lalu membawa Abay menuju area parkir. Abay terus mempercepat langkahnya untuk mengimbangi gerakan Ayah.

"A-Ayah. Pelan-pelan sedikit."

"Jangan sampai Lidya menemukan kita."

Sepasang pria dan wanita berjalan dari arah berlawanan. Ayah terdiam sambil menggenggam erat kruk Abay. Seorang pria bersetelan tuksedo rapi berdiri di samping wanita berambut pirang yang tersenyum ke arahnya.

"Lama tidak jumpa, Cenayang Tampan."

"Lidya. Mau apa kau ke sini? Apa kau ingin menggangguku?"

Lidya kemudian mendekati mereka. "Kenapa kau setega itu padaku? Kau bicara seperti orang asing saja."

"Apa kata dewan direksi bahkan suamimu bila sampai tahu hal ini?"

Lidya terkekeh. "Kau masih saja serius seperti dulu, Cenayang Tampan. Omong-omong, di mana anjing tampan peliharaanmu itu? Biasanya kalian selalu bersama."

Sekujur tubuh Abay gemetar. Keadaan di lorong sana mulai memanas. Senyuman Lidya membuat lidahnya terkunci rapat. Napasnya semakin tak teratur karena aura tajam di sekitar Ayah dan Lidya. Ia lalu mengamati Abay lekat-lekat.

"Ah, pantas rasanya tidak asing. Kau benar-benar persis seperti Wira."

"Jauhkan tangan kotormu dari anakku!"

"Lho, memangnya aku salah jika menyapa teman putriku? Kenapa kalian tergesa-gesa seperti itu? Santailah. Ini acara untuk bersantai dengan keluarga."

"Nyonya. Acaranya sebentar lagi akan dimulai," ucap pria di belakang Lidya.

Lidya lalu mendekati Ayah. Ia lalu berbisik di sampingnya, "Tenang saja. Aku takkan mengganggumu selama kau berkinerja baik dan tidak mengusik Benny. Sampai jumpa lagi, Cenayang Tampan."

Lidya dan ajudannya lalu berlalu meninggalkan mereka begitu saja. Abay benar-benar kehabisan napas dengan kejadian barusan. Mereka kemudian pergi ke area parkir mobil.

"Ayah. Siapa dia?"

Ayah menyulut rokoknya. "Kau harus berhati-hati dengan wanita jalang itu. Dia masih saja Lidya si Ratu Pemikat dari Utara yang sama. Ia salah satu siluman kuat berskala 9 yang pernah mengacau di alam manusia."

Jadi, tingkah aneh Sephia padanya itu ... apa karena dirinya juga memiliki darah siluman?

"Rupanya si brengsek Dika itu benar. Kenapa aku tidak sadar bila selama ini bekerja di perusahaannya? Apa yang dia inginkan sekarang? Apakah dia akan kembali mengacau seperti dulu?"

"Mengacau?"

"Kau tidak akan ingat karena dulu pernah dalam pengaruh Lidya. Dulu aku pernah meminta bantuanmu untuk menangani kasusnya. Sayang, kau justru terjebak dengan ilmu pemikatnya yang kuat."

Saat itu mobil Ayah terus melaju meninggalkan kawasan Asia Afrika. Entah apa yang akan terjadi pada mereka setelah acara outing day Palapa Konstruksi malam itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top