[Acara Kantor] - 1
Palapa Konstruksi itu aneh. Jika kantor-kantor perusahaan konstruksi swasta besar lainnya membuka kantor pusat di Jayakarta, kantor Palapa Konstruksi berada di Kopo. Itu karena salah seorang pendirinya berasal dari sana.
Kehidupan seorang Wirawan Wiguna tak ubahnya manajer lain yang berada di lini teratas perusahaan tersebut. Kesehariannya menangani resentasi tender proyek, masalah pembangunan di lapangan, mengurusi masalah pegawai kontrak, dan telepon masuk tak henti ke mejanya berkaitan dengan proyek konstruksi di luar kota belakangan ini. Mulai dari masalah kecelakaan mandor di proyek apartemen Kawali sampai sengketa tanah pembangunan proyek Soreang.
"Ya. Palapa Konstruksi di sini. Mohon maaf. Soal ganti rugi kecelakaan kerja sudah dalam tanggungan Jaminan Sosial. Bukannya kami lepas tangan. Kami sudah melakukan semuanya semaksimal mungkin termasuk administrasi dengan pihak rumah sakit."
Wira tutup teleponnya. Lagi-lagi masalah soal ganti rugi kecelakaan kerja di proyek apartemen Kawali. Dia melirik ke arah pigura 4R di atas meja. Banyaknya proyek pembangunan—dan tentu saja masalah—belakangan ini membuat uban teracak di kepalanya pun bertambah lebat. Itu memang kewajibannya sebagai seorang manajer konstruksi. Namun, Abay tak bisa ditinggal begitu saja.
Sosok bocah kecil dalam foto itu sangat membutuhkan seorang ayah.
Siang pun menjelang. Satu persatu pegawai tinggalkan kubikelnya. Seorang asisten pria dari ruangan lain mengetuk pintu.
"Pak Wira. Sudah waktunya makan siang!"
"Duluan saja."
"Baik, Pak."
Bicara soal pekerjaan, Wira terbilang serius. Kadang dia membawa pekerjaan ke rumah. Tidak heran. Perkara banting setir tidak menjadi masalah. Wira memang seorang cenayang di masa lalu. Statusnya sebagai sarjana Manajemen membantunya berada di posisi ini di samping kerja keras dan ... tentu saja koneksi orang dalam.
"Wira. Apa kau di dalam?"
Suara pria tua itu alihkan Wira dari layar komputernya. Seorang pria berjas rapi duduk di sofa ruangannya.
"Ada perlu apa Pak Direktur datang ke sini?" tanya Wira yang duduk di sofa samping Pak Direktur.
"Kudengar dari pegawai lain, belakangan ini banyak masalah di Kawali sana."
"Iya, Pak. Lagi-lagi masalah kecelakaan kerja di Kawali. Aku tidak bisa membantu banyak karena ini berhubungan dengan bagian Kesehatan dan Jaminan Sosial."
"Ini masalah yang sulit. Nanti akan kubicarakan dengan manajer keuangan dan personalia untuk masalah ini. Bagaimana dengan keadaan anakmu?"
"Kondisinya sudah membaik, tapi masih harus melakukan terapi."
Wira sebenarnya mengenal direktur utama Palapa Konstruksi sejak masih kuliah. Beliau dulunya kepala unit di tempatnya kerja praktik dulu. Wira sempat bekerja di perusahaan itu selama setahun setelah lulus kuliah lalu pindah berkat ajakan saudara angkatnya mengikuti tes Kepolisian. Setelah lama tidak jumpa, mereka bertemu kembali di titik terendah dalam hidupnya.
Hidup Wira hancur setelah kepergian Marini secara misterius. Dia nyaris hilang akal sehatnya. Dia tinggalkan pekerjaan lamanya demi mengasuh kedua anaknya yang masih sangat kecil. Terlebih Abay yang saat itu masih 4 tahun. Wira berusaha bekerja serabutan tanpa harus meninggalkan anak bungsunya yang selalu menangis kencang setiap kali ditinggal pergi.
Pertemuan kembali Wira dan Pak Direktur bermula sewaktu mengurusi biaya sekolah Ressa. Wira terpaksa berutang sana-sini demi biaya sekolah putrinya yang baru masuk SD. Saat itu, Palapa Konstruksi juga membuka lowongan pekerjaan. Pak Direktur lalu menawarinya bekerja di sana tanpa harus meninggalkan anak-anaknya lebih lama.
Wira pun bekerja di sana sebagai office boy. Dia sering membawa Abay kecil ke kantor. Bocah kecil itu menjadi semangatnya agar bekerja keras hingga meraih posisi seperti sekarang.
"Oh ya. Minggu ini ada outing day. Bawa saja anakmu ke sana. Dia mungkin akan bosan bila terus di rumah."
Wira lirik aplikasi kalender di ponsel. Jadwal dari ponselnya sudah sinkron dengan jadwal kantor lewat e-mail. Minggu ini, tepat di hari Sabtu, ada outing day. Itu acara tahunan Palapa Konstruksi yang melibatkan direksi, pemegang saham, seluruh pegawai, dan keluarganya.
Pagi itu senyap. Suara putaran roda mengelilingi seisi rumah. Berkaki pincang bukan berarti hambatan untuk lakukan kewajiban membersihkan rumah. Abay tetap pemuda rajin dengan vacuum cleaner di pangkuannya. Gerakannya lincah bersihkan setiap debu yang tampak. Ia masih menggunakan kursi roda agar lebih cepat membersihkan rumah. Wira yang berada di garasi tertegun. Gerak Abay kini terbatas, tapi sifat rajinnya tidak berubah. Kini ia mengambil selang untuk menyiram tanaman di halaman.
"Nak, jangan terlalu basah! Nanti kursi rodamu kotor."
"Kalo kotor 'kan masih bisa dilap."
"Nak. Apa kau ingin ikut acara malam nanti? Hari ini ada acara kantor di Hotel Neumann."
Ketika Wira bicarakan acara kantor ....
"Apa aku cuman jadi pelarian pas Kak Ressa lagi sibuk di kampus?"
"Ayah hanya ... apa kau tidak bosan berada di rumah terus?"
Abay menjawab, "Aku masih bisa nonton film di rumah kok."
Decit kursi roda mengakhiri acara menyiram tanaman pagi itu. Memang, tidak mudah mengajak Abay setelah semua perlakuan buruk yang Wira lakukan dulu.
Biasanya Wira mengajak Ressa ke sana. Orang tua mana yang tidak bangga membawa anak gadisnya? Apalagi Ressa itu pintar, sopan, dan penurut. Semua sangat berbanding terbalik dengan Abay, berdasarkan asumsi di matanya.
Perkataan Abay benar adanya soal "pelarian" itu. Ressa sedang sibuk mempersiapkan acara dies natalis kampusnya. Dia harus menginap di tempat kos temannya yang dekat dengan kampus sampai Minggu nanti. Tidak ada lagi yang bisa Wira ajak selain Abay. Pemuda itu terlalu asyik menonton "Madre" lewat kanal TV kabel.
"Nak, kau yakin tidak akan ikut?" tanya Ayah.
Pemuda yang sejak tadi senyam-senyum sendiri itu mendelik ke arah Ayah. Jangan sampai membuatnya kesal jika tidak ingin mengganti semua barang elektronik di rumah. Ekspresi Abay lalu berubah drastis dengan kemunculan wanita berparas oriental dalam adegan film tersebut.
Ya sudahlah. Ayah pergi saja sendiri. Percuma saja membujuk Abay.
"Kenapa kau tiba-tiba tertarik mengajakku ke sana?"
Pertanyaan Abay menghentikan Wira di depan pintu kamarnya. "Memangnya kau tidak bosan diam di rumah terus? Ayolah. Bisa saja kau bertemu jodohmu di sana."
Abay mendengkus. "Cih. Kau meledekku?"
"Cepat mandi. Jalanan menuju Hotel Neumann sering macet di akhir pekan."
"Hei, Wira. Apa kau tidak lihat kakiku ini pincang? Memangnya aku bisa berlari ke kamar mandi lalu mandi kilat?"
Ayah menyentil jidat Abay. Pemuda itu terus mengusap-usap jidatnya yang memerah.
"Dasar anak tidak tahu diri! Beraninya kau tidak sopan sama orang tua!"
"Memangnya sejak kapan aku ini anakmu, hah? Aku hanya kebetulan saja nyangkut di perut Ibu. Lagi pula siapa juga yang mau punya ayah galak dan—"
Tanpa basa-basi, Ayah langsung menarik kerah baju Abay. Urat-urat menyembul di sekitar matanya yang memerah.
"Apa perlu kuceburkan lagi kepala berotak udangmu ke bak mandi? Mandi sana!"
Hari itu, Ayah benar-benar mengajak Abay ke acara kantor untuk pertama kalinya. Namun, apakah keberadaan Abay justru menjadi masalah di depan para koleganya? Semoga saja tidak. Abay sudah besar. Setidaknya ia tahu sedikit tata krama di depan kolega kantornya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top