-[ D A Y 0.6 ▻ CHIKA × SATOWA ]

Angst Week Pungut Project

Fake Love / Misunderstanding

Kudou Chika x Hozuki Satowa
[Kono Oto Tomare! Sounds of Life]

Memakai konsep 'What If ....'


Pada faktanya, semua itu hanya rasa simpati sebagai sesama manusia.



Suara antara pintu besi dengan lantai terdengar, mengusir keheningan di pagi hari. Sang pelaku pembuka pintu mulai masuk ke dalam ruangan. Dan seketika, kelereng madu kepunyaan sang pria menunjukkan sorot tercengang, melihat sosok bermanik cokelat dengan helaian senada yang membingkainya.

Dalam hitungan detik, sorot terkejutnya itu berubah. Menjadi tatapan sendu disertai dengan menghitamnya bola mata yang tadinya cukup bercahaya.

Disisi lain, sang gadis yang baru saja menoleh ke asal suara juga melukiskan ekspresi sendu. Alisnya berkerut, hatinya dipenuhi rasa bersalah akibat kejadian beberapa hari yang lalu.

Meskipun kejadian itu sudah beratus-ratus jam berlalu, ingatan tentang bagaimana dirinya menyakiti sosok sebaik dan setulus Chika hanya dengan satu fakta terus berputar dalam kepala.

Gadis itu sudah meminta maaf, sang pria yang sempat menjalin kasih dengannya juga tampak memaafkan dengan senyum ketulusan. Hampir sama dengan kejadian dimana lelaki itu tersenyum hangat kepadanya untuk yang pertama kali.

Namun bedanya, senyum yang terlukis beberapa hari lalu disertai aura menyedihkan juga air mata yang tertahan.


*


Entah sudah berapa bulan mereka bersama. Memulai hari dengan petikan nada lalu mengakhiri dengan kebersamaan dalam kereta, disertai sentuhan yang terkadang dilakukan untuk menunjukkan kasih sayang.

Kadang, Chika merasa penasaran. Bagaimana bisa dirinya bisa begitu beruntung? Mendapatkan seorang gadis yang paling Ia kagumi dan cintai seumur hidupnya, dapat menunjukkan perasaan cintanya secara bebas tanpa takut akan rasa tidak suka, ditambah gadis yang dia maksud adalah gadis yang sangat cantik ... dan juga manis.

Meskipun ada kalanya seorang Hozuki Satowa bersikap dingin seolah tak peduli, atau bahkan melontarkan kata yang cukup menusuk hati, Chika cukup yakin bahwa Satowa adalah pribadi yang baik, mampu menerima dirinya yang memiliki latar belakang buruk ... dan mau memberikan cinta kepada sang pria yang hampir membahayakan nyawanya.

Satu kalimat penuh arti saja tidak akan pernah cukup untuk mendeskripsikan sebesar apa kasih sayang Chika pada Satowa.

Kedua tangan besar si surai pirang menggenggam satu tangan gadis bermanik gelap. Mengusapnya dengan lembut, memainkan jemari perempuan bermarga Hozuki yang cukup keras sambil mengistirahatkan kepalanya di atas bahu Satowa. Senyum manis namun tipis tetap terlukis, bersama dengan rona merah muda di pipi yang tak kunjung pudar.

"Kudou, ini pemberhentianmu."

Suara tersebut menghentikan aktivitasnya untuk sejenak, diikuti dengan berhentinya kereta yang mereka tempati. Tak lama kemudian, lelaki tersebut mengusap tangan Satowa lagi dan menggenggamnya dengan lebih erat.

Buangan nafas memasuki indra pendengarannya, "Kau mencoba untuk ikut denganku atau apa?"

"Ya, jika aku bisa." Chika mendengkus, mulai melonggarkan pegangannya. "Menunggu sampai kita berusia 20 tahun ternyata terlalu lama."

Satowa menusuk pinggang Chika, membuat sang korban meringis, "Diam dan cepatlah. Kau tidak mau kalau sampai harus menunggu kereta selanjutnya, 'kan?"

Chika menggumam, tampak berfikir, "Hmm ... ya, tentu saja." Tangannya kemudian Ia lepaskan, kepalanya Ia condongkan, mengecup kening sang gadis singkat lalu mulai bangkit dari posisinya, berjalan menuju pintu keluar setelah tersenyum hangat seolah mengatakan 'sampai jumpa'

Kala punggungnya mulai menjauh dan hilang ditelan kerumunan, Satowa yang masih terpaku pada sosoknya di balik jendela mengepalkan tangan. Alisnya berkerut, matanya tampak berkaca-kaca, hampir saja sebutir air jatuh jika dia tidak segera menahannya dengan jari telunjuk.


*


Jam demi jam terlewati, sepanjang hari sudah dilalui. Warna senja mulai terlukis di atas kanvas raksasa, bersama sapuan awan berwarna senada. Akhir pekan penuh kata bahagia hampir berakhir, setidaknya untuk seseorang bernama Kudou Chika.

Senyum bahagia tak Ia lepaskan, begitu pula genggaman pada tangan sosok yang menjadi cinta pertamanya. Binar bahagia tak kunjung lepas dari kelereng madu. Ada kalanya pria tersebut mempererat genggamannya terhadap Satowa.

Menjalani satu hari penuh bersama pacarnya, melihat sorot antusias yang kadang-kadang ditunjukkan, terlebih tak ada pengganggu yang merusak hari mereka, sudah lebih dari cukup untuk membuat Chika bahagia.

Di satu sisi, Satowa yang sejak tadi membalas genggaman tersebut tersenyum dengan bibir bergetar.

Memori tentang dirinya yang meneriakkan kata 'cinta' berputar kembali bagaikan kaset film tanpa ujung. Tentang bagaimana pria satu ini membalasnya dengan kurva manis bersama debu merah muda di bawah mata, tentang bagaimana Ia memegang tangannya dalam pesawat, tentang bagaimana helaian pirang itu menggelitik lehernya, tentang bagaimana cara Chika memberikan rasa hangat dalam hidupnya, semua itu terulang kembali dalam benak Satowa. Meninggalkan rasa bahagia, dan kasih sayang kepada sosok paling baik yang pernah Ia kenal.

Dan itu bukan cinta.
Bukan cinta yang gadis itu bayangkan.
Bukan cinta yang sangat pantas untuk didapatkan oleh seorang Kudou Chika. Bukan kasih sayang yang harusnya Satowa berikan.

Gadis itu ingin membalas semua yang telah diberikan. Semua cinta, dan kasih sayang yang begitu besar dari sang pria. Meskipun kata 'cinta' pernah terlontar dari lisannya, meskipun kata penuh arti pernah Ia ucapkan, semua itu hanya karena ucapan orang lain yang merendahkan Chika. Dan kini, gadis itu menyesalinya.

Menyesal karena harus memberikan cinta yang sejujurnya tak pernah ada. Menyesal karena harus menyakiti sosok murni dengan perasaan palsunya.

Satowa menyayangi Chika. Perempuan tersebut sangat menyayangi Chika. Sampai-sampai dia ingin membalas perasaan sang pria. Sampai-sampai Ia berusaha untuk benar-benar jatuh kepada Chika. Namun, Satowa tidak bisa. Hatinya bukan untuk Chika, perasaannya hanya rasa simpati belaka. Ia tahu ini jahat, terlalu jahat, tapi inilah fakta yang tak bisa lagi dibantah.

Kedua kaki Satowa tiba-tiba berhenti, menahan pria di sampingnya untuk kembali berjalan. Chika mengangkat sebelah alisnya, menatap sang gadis yang tengah menunduk dengan sorot bertanya.

Seolah tahu tentang tatapan yang tertuju kepada dirinya, Satowa menarik nafas. Dia tidak bisa membiarkan kebohongan ini berjalan lebih jauh.

"Kudou ... maafkan aku, tapi ... bisakah kita mengakhiri hubungan ini?"

Chika tersentak, membeku untuk beberapa saat, matanya melebar karena terkejut, "Apa?! Tidak, tunggu, kenapa tiba-tiba? Apa aku melakukan kesalahan? Katakan padaku, aku akan memperbaikinya."

Satowa menggeleng dengan cepat, "Tidak! Kau tidak melakukan kesalahan." Hening mengisi untuk sejenak, lalu gadis itu berbisik lirih, "Aku yang salah. Aku yang salah, Kudou. Maaf ...."

"Hozuki ... kau punya suatu masalah?" Chika mendekat, tangannya beralih kepada kedua lengan atas Satowa. Sorotnya tampak khawatir sekaligus sedih. "Kau bisa mengatakannya padaku. Lagipula, apa salahmu kepadaku?"

Satowa semakin menunduk, kedua tangannya semakin mengepal, "Aku ... salah. Sejak hubungan- tidak, semenjak aku mengatakan bahwa aku mencintaimu, aku salah."

"Apa yang salah dari itu? Bukankah-."

"Perasaan itu tak pernah ada, Kudou!" Gadis itu mengangkat kepala, menegaskan semua pemikirannya semenjak tadi dalam satu kalimat. Membuat Chika terdiam, hingga genggamannya melemas. Disisi lain, Satowa kembali menarik nafas, "Perasaan cinta yang harusnya aku berikan tidak pernah ada. Semua kasih sayang yang aku tunjukkan tidak nyata. Kata 'cinta' yang aku sebutkan di hadapan bannyak orang hanya pengalihan saja. Aku ... tidak mencintaimu dalam maksud seperti itu, Kudou. Aku tahu ini ....-"

"Jadi, semua itu palsu?" Chika memotong pernyataan dengan cepat setelah terdiam beberapa saat. Maniknya menggelap, tangannya kini tak bersentuhan lagi dengan lengan atas sang gadis. Pria itu tersenyum miris, "Senyumanmu, sentuhanmu, raut wajahmu ketika tersipu, kata-katamu, caramu menerimaku, termasuk cintamu ... semua itu palsu?"

"A-aku ...."

"Kurasa itu sudah cukup untuk menjadi jawaban. Terimakasih," ujar Chika, kembali memotong apa yang akan Satowa katakan. Kelereng cokelat hangatnya semakin menghitam, Ia mulai meletakkan tangannya ke dalam saku celana. Berbalik dengan niat meninggalkan Satowa yang membeku di atas trotoar.

Demi apapun, Chika masih berharap bahwa semua ini mimpi.
Demi apapun, Chika berharap bahwa apa yang gadis itu katakan hanya candaan belaka.

Semua kasih sayang, semua cinta, dan semua afeksi yang diberikan dengan kebohongan dan kepalsuan, pria itu membencinya. Ia membenci bagaimana dirinya berfikir bahwa tidak apa-apa memberikan perhatian secara terang-tetangan, Ia benci mengingat fakta bahwa kata yang begitu berarti baginya hanya sebagai bentuk rasa simpati antar manusia. Chika benci mengetahui bahwa dirinya begitu mudah untuk menggenggam dan menyentuh Satowa tanpa tahu perasaannya. Tanpa tahu kata yang gadis itu lontarkan hanya rasa simpati belaka, tanpa tahu bahwa wajah kemerahannya itu palsu, tanpa tahu bahwa Satowa tidak cukup nyaman dengan bagaimana Ia memperlakukannya. Chika membenci fakta itu. Chika membencinya.

Namun, Ia tetap tidak bisa membenci seorang Hozuki Satowa.

"Tapi aku tetap menyayangimu, Kudou!" teriakan tegas muncul dari belakangnya. Lelaki tersebut menoleh, mendapati Satowa tengah berusaha menahan butiran bening di pelupuk matanya agar tidak terjatuh.

"Aku tidak membencimu, dan tidak akan pernah!" tegasnya lagi. "Aku tahu aku jahat. Aku tahu aku yang terburuk. Aku tahu aku adalah orang yang malah mempermainkan perasaan. Tolong, maafkan aku."

"Kau bisa melakukan apa saja terhadapku," ucap Satowa lagi dengan lirih, menunduk muka karena malu.

"Kita akhiri hubungan ini."

Satu kalimat tanpa penekanan apapun berhasil membuat sang gadis Hozuki mengangkat kepala. Mata berisi kelereng gelap membulat, menatap pemandangan dimana Chika membentuk lengkungan lembut di wajahnya dengan sorot tulus tanpa batas, meskipun tak mengurangi bagaimana gelapnya bola mata cokelat tersebut.

Air mata Satowa jatuh satu per satu. Isak tangis penyesalan dan rasa bersalah mengisi hening. Melihat betapa indah namun menyedihkannya senyuman Chika yang begitu tulus akan tetapi dibumbui dengan air mata tertahan di pelupuk matanya.


"Terimakasih atas kebahagiaan sementara yang kau berikan, Hozuki."







End.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top