The useless sacrifice

Day 5 / Sacrifices

Pair:  OC & OC (platonic) 

Writer: krklandzzz_

Tangan Daina bergetar saat melihat kepala sahabatnya. Manik tanpa kehidupan itu membuat kakinya lemas dan tenggorokannya tersumbat. Dia terjatuh, tanpa ada orang-orang yang memegangi. Dia merangkak mendekati kepala sang sahabat, kemudian menyentuhnya dengan tangan bergetar. Napasnya tersengal, darah menempel di jari ketika dia menyentuh kulit yang dingin itu. 

Matanya terasa panas. Tak terasa air mata menuruni pipi dan merembes ke rumput dengan cepat, seiring perasaannya yang hancur dan limbung. Dadanya bagai ditebas kapak, merutuki mengapa dirinya tak menolonginya lebih awal. Gadis itu meraung, menjambak rambutnya sendiri, lalu mengeluarkan teriakan penuh penyesalan, kemarahan, dan duka. 

Orang-orang yang melihatnya merasa kasihan, namun mereka tak bisa berbuat apa-apa. Mereka perlahan-lahan pergi, meninggalkan Daina yang meraung-raung dengan kepala tak berbadan itu. 

Arthur datang terlambat. Pemandangan pertama yang dilihatnya di tempat itu adalah Daina yang memeluk kepala sahabatnya sambil meraung. 

Hetalia milik Himaruya Hidekaz, saya tidak memiliki dan mengambil keuntungan apapun dari oneshot ini

OC milik saya, segala kemiripan baik secara nama maupun fisik merupakan hal yang tidak disengaja

Warn: OCs, Kirkland krn sy cinta kirkland xixixixi, typo, OOC, alur gajelas, ditulis dlm kondisi stress krn tgas yg tiada hentinya, dll

************************

Tepukan di pundak mengagetkan Helen. Gadis itu menoleh ke kanan, dan mendapati Daina dengan muka coreng-moreng tersenyum padanya. Helena balas tersenyum, walaupun agak kaget dengan penampilan Daina yang biasanya. Rambutnya juga menjadi pendek, mungkin gadis itu baru memotongnya tadi. 

"Kau habis apa? Berantakan begitu. Habis main kejar-kejaran dengan kuda Mister Kirkland?" tanya gadis berambut pirang itu. 

Daina menghela napas sambil terkekeh. "Yah, singkatnya--- aku nyaris dilindas kereta kuda Antonio." Raut wajahnya menggambarkan itu bukan pengalaman yang mengenakkan. 

Helen  berusaha menahan tawa. Daina meraih kain lap yang berada di pinggang kemudian mengelap mukanya, sementara sahabatnya kembali melukis. Daina mengamati gadis pirang itu menggores kuas penuh warna ke kanvas yang buluk. Dia tiba-tiba teringat sesuatu. 

"Sebentar lagi ritual pertengahan kan?" sahut Daina. "Mereka pasti akan mencari gadis lain untuk dijadikan tumbal. Semoga bukan di antara kita." Dia melempar kain lap dengan kasar. 

Helen termenung. "Ini sudah berjalan berapa lama?" tanya gadis itu, kembali memusatkan perhatian pada kanvasnya. 

"Musim semi dua tahun yang lalu," ujar Daina sambil mengacakkan pinggang. 

"Siapa yang mengusulkan ritual bodoh ini?" 

Daina membuang pandangannya ke padang rumput melalui jendela. "Entahlah, yang pasti bukan orang-orang yang kita tahu. Setelah kekeringan yang melanda, seseorang memutuskan untuk mengadakan ritual pengorbanan yang melibatkan gadis. Aku tidak mengerti apa yang di kepala orang-orang itu." 

Helen memandang punggung Daina yang tegap. Sahabatnya memiliki rambut cokelat tanah bagai batang kayu, hidung besar, mata berwarna madu, alis yang menukik, serta raut wajah yang tegas. Meskipun dia bisa saja mengeluarkan aura bersahabat dan percaya diri, sang sahabat lebih memilih untuk mengeluarkan aura jutek tiap kali bertemu orang lain, apalagi jika orang itu lawan jenis. Hobinya adalah bermain kejar-kejaran dengan kuda (terutama kuda milik keluarga Kirkland, karena kuda mereka sangat kuat), menjelajahi hutan, mencari keberadaan monster yang menjadi mitos di masyarakat, dan bermain air. Jika sedang bosan, biasanya dia mengajak Helen menemaninya menjelajah di hutan. 

Lalu ada Helen, gadis yang menjadi sahabat Daina selama sepuluh tahun. Helena memiliki rambut pirang platinum, mata biru gelap, kulit pucat, dan raut wajah yang teduh. Meskipun pendiam, dia berperilaku lebih sopan dan tenang dibanding Daina yang kikuk dan judes. Dia selalu membungkuk, menyembunyikan wajah dibalik lautan surai blondenya yang indah. Hobinya melukis, menjahit, menjulidi kehidupan orang lain secara diam-diam, dan mencari bunga untuk dikoleksi. Dia terkadang mengurung diri di rumahnya untuk melukis, atau ikut Daina pergi ke hutan untuk mencari bunga, walau biasanya dia menemukan bangkai rusa atau sarang lebah. 

Sepasang sahabat itu tak terpisahkan. Orang-orang sudah biasa melihat mereka selalu pergi bersama. Bahkan, orang-orang akan merasa heran jika melihat Daina atau Helen berjalan sendirian. Masyarakat di situ mulai memanggil mereka sebagai anak kembar, walaupun mereka sama sekali bukan anak kembar. Namun, kedua orang itu tak keberatan dipanggil seperti itu. 

Meskipun berbeda baik secara fisik dan minat, kedua orang itu memiliki beberapa kesamaan: mereka membenci desa tempat mereka lahir dan tinggal. Mereka sering menggerutu tentang betapa tak becusnya kepala desa, tetangga yang buruk (tidak semuanya begitu, namun kebanyakan seperti itu), serta satu hal yang membuat mereka semakin membenci desa ini: 

Ritual pertengahan. Sebuah ritual di mana seorang gadis akan dijadikan tumbal, lalu dikuburkan dekat hutan untuk menghindari malapetaka di lain tahun. Ritual ini mulai dilakukan setelah kekeringan parah, dan sudah memakan dua korban. Banyak orang yang tidak setuju dengan ritual ini, namun kepala desa dan pendukungnya bersikeras untuk melaksanakan hal ini. 

Karena itu, kedua sahabat itu memiliki rencana untuk meninggalkan desa ini. Mereka memutuskan untuk mencari pekerjaan dan mengumpulkan uang. Untuk sementara, sebisa mungkin mereka bersikap tidak terlalu mencolok, tidak berpartisipasi banyak di acara desa, dan memilih untuk menjaga jarak dengan penduduk desa. Meskipun begitu, mereka tetap berhubungan baik dengan orang-orang desa yang mereka percayai. 

Uang mereka mendekati kata cukup sebagai bekal. Sebentar lagi mereka akan pergi, namun Daina memutuskan untuk tinggal sedikit lebih lama. 

"Kalau kita meninggalkan desa ini sebelum ritual, orang-orang akan curiga dengan kita. Mereka pikir kita tidak mau untuk dijadikan tumbal, kemungkinan terburuknya mereka akan memburu kita," tuturnya. "Karena itu, aku mau kau untuk bersabar sedikit lagi. Setelah ritual ini selesai--- satu atau dua hari setelahnya--- kita akan pergi." 

Helen mengingat janji yang diucapkan gadis itu saat memikirkan rencana kepergiannya. Tangannya menggerakkan kuas penuh warna-warna cerah, namun pikirannya mengawang ke awan gelap penuh kemungkinan buruk. 

"Daina, kita akan berjanji untuk saling melindungi, kan? Aku takkan membiarkanmu untuk dijadikan tumbal oleh mereka," ucap Helen dengan dingin. 

Daina tersenyum kecil. "Tentu saja, Ele. Aku juga takkan membiarkan orang-orang itu menjadikanmu sebagai tumbal. Berani-beraninya mereka." 

Helen terkekeh.

******************** 

Langit masih gelap, namun Helen terbangun oleh ketukan pintu yang brutal. Gadis itu bergegas bangkit dari kasurnya lalu menghampiri pintu rumah. Dia membuka pintu, lalu napasnya tertahan melihat Daina dengan raut wajah panik dan bengkak, seperti habis menangis. Dia membiarkan sahabatnya masuk sebelum angin dini hari membuatnya beku, lalu memegang kedua pipinya. 

"Apa yang terjadi? Apa sesuatu yang buruk terjadi padamu?!" tanya Helen dengan khawatir. 

Daina terisak. Dia melepaskan tangan Helen dari pipinya, lalu memeluk gadis itu. Helen terpaku, membiarkan Daina menangis di bahunya. 

"M-Mereka ... Akan menjadikanku sebagai tumbal tahun ini, Helen! Mereka akan membunuhku!" 

Helen seperti disambar petir. Kakinya lemas, tanpa sadar dia berlutut dan membuat Daina hampir terjatuh. Dia merangkul Daina sebelum tubuhnya menyentuh tanah, lalu memeluk sahabatnya erat-erat. Perasaan marah dan putus asa membakar dadanya. 

"Bagaimana ini bisa terjadi, Daina?! Apa yang harus kita lakukan?!" Helen berseru tanpa menatap wajah sahabatnya. Daina terisak semakin keras. 

"Aku tidak tahu, Helen! Orang-orang itu tiba-tiba datang ke rumahku, lalu dengan raut wajah gembira mereka mengabarkan bahwa aku akan menjadi tumbal untuk ritual tahun ini!" isak Daina. "Berani-beraninya mereka!" 

Helen merangkul wajah Daina. Mata birunya menatap mata madu sahabatnya dengan tegas, mengingat tekad yang sudah mereka pegang dahulu. 

"Aku akan melindungimu. Aku tidak akan membiarkan orang-orang itu membunuhmu, aku akan menggantikanmu untuk menjadi tumbal," usul Helen. 

Daina bangkit, raut wajahnya berubah menjadi marah dan shock. "Aku tidak akan membiarkanmu menjadi korban, Ele!"

Helen ingin mengatakan sesuatu, namun Daina buru-buru menutup mulutnya sambil menggelengkan kepala. 

"Ritual akan diadakan hari ini, pagi selepas dini hari, saat matahari sudah bersinar. Pergilah, Ele. Bawa uang yang selama ini kita kumpulkan, kemas pakaian dan bawa barang yang menurutmu berharga. Ketika perhatian mereka teralih kepadaku, kau bisa gunakan kesempatan ini untuk pergi. Pinjamlah kuda milik Kirkland. Kalau kau tidak sanggup menungganginya, kau bisa meminta Arthur atau Dylan untuk membantumu," ucap gadis itu panjang lebar. 

Air mata kembali turun di pipi Daina. "Kumohon, aku tak mau lagi ada yang mati." 

Helen menatap sahabatnya dengan pilu dan ketidakterimaan. Bibirnya ingin sekali menyuarakan ketidaksetujuan, namun cengkeraman Daina yang erat membungkamnya. 

*******************

Matahari sudah muncul di ufuk timur. Pagi yang cerah, ditemani tumbuhan hijau dan bunga warna-warni. Sungai mengalir dengan tenang, burung-burung berkicau riang, hewan ternak dengan tenang memakan rumput yang hijau segar. Sungguh suasana pagi yang tenang, sebelum darah bercipratan dan kepala terpisah dari tubuhnya. 

Semua penduduk desa berkumpul di suatu lapangan tempat mereka biasa mengadakan ritual. Mereka membentuk lingkaran, mengerubungi Daina dan beberapa orang yang akan menjagalnya. Tangan Daina diikat, kedua pria kekar berdiri di belakang sambil menahannya. Satunya lagi membawa kapak besar untuk memenggal. Di hadapannya, ada sebongkan kayu yang berguna untuk memudahkan sang algojo memotong lehernya. 

Daina menelan ludah. Di antara orang-orang yang mengerubungi, dia mengenal beberapa wajah tertentu. Antonio, Lovino, Lukas, Bella, dan orang-orang dengan raut muka masam lainnya. Mereka adalah beberapa orang yang tidak menyetujui kegiatan ritual ini, dan sebagian dari mereka adalah orang yang kedua sahabat itu percayai. 

Kepala desa sudah memberikan pidato beberapa menit yang lalu, tinggal menunggu ritual dilakukan. Seorang algojo dengan kasar membenturkan kepala Daina ke batang kayu, membuat gadis itu merintih. Kapak diangkat tinggi-tinggi, siap menghantam leher Daina dan memisahkan kepala dari badannya. Daina menahan napas dan menutup mata, bersiap akan hantaman kapak. Kapak hampir menyentuh leher gadis itu jika tidak ada tangan yang menahan pakaian sang algojo. 

"Berhenti!" 

Daina tersentak. Dia memaksakan diri untuk menengok, dan mendapati Helen menahan salah satu algojo. Helen melirik sekilas, lalu melanjutkan perkataannya. 

"Aku akan menggantikan dia untuk berkorban! Aku akan menggantikannya!" seru Helen. 

Setelah itu, sesuatu berjalan dengan cepat hingga Daina tak mampu memproses apa yang terjadi. Tiba-tiba dia dipaksa berdiri, dilepaskan ikatannya, lalu orang-orang itu mengikat tangan Helen. Daina baru menyadari apa yang terjadi ketika kepala Helen dituntun untuk menyandarkan kepalanya di batang kayu. Daina berteriak, meminta agar Helen dilepaskan. Beberapa orang menahannya, Daina berusaha memberontak namun ia kalah. Daina dapat melihat sekilas Allistor Kirkland menahannya, lalu membisikkan sesuatu di telinganya. 

"Pergilah. Helen memintaku untuk membantumu kabur dari sini, bawa barang-barangmu. Kau bisa mengambil kudaku," bisik pria itu. Namun Daina menggeleng keras-keras sambil meraung. 

"Tidak! Aku tidak akan meninggalkannya. Lepaskan dia, bajingan! Lepaskan!" Daina berteriak dengan liar. 

Kapak diangkat. Sedetik kemudian, kapak itu menghantam leher sahabatnya, membuat kepala Helen menggelinding jatuh dan darah memuncrat hingga mengenai pipi Daina. Kepala itu terus menggelinding, lalu berhenti tepat di hadapan Daina. Manik biru tanpa kehidupan itu membuat dunia Daina seperti runtuh. Kakinya lemas, dia terjatuh tanpa berkata apa-apa. Sesaat, dengan gemetar, dia merangkak mendekati kepala itu, lalu menyentuh pipi sahabatnya yang dingin. 

Teriakan pilu dan kemarahan membelah langit-langit. Daina mengerahkan seluruh tenaganya untuk meluapkan semua perasaan ini--- dendam, kesedihan, kemarahan, penyesalan, dan perasaan-perasaan lainnya yang tak mampu disebutkan dan membuat ombak besar di hatinya. Air mata turun deras menuruni pipinya, seiring tangannya dengan penuh penyesalan mendekap kepala Helen. 

Arthur datang terlambat, di saat semua orang sudah pergi meninggalkan mereka. Pemandangan pertama yang dia lihat adalah Allistor yang termenung, tubuh tanpa kepala, serta Daina yang meraung-raung sambil memeluk kepala Helen. 

-the end. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top