Seven days of madness

Day 2 / Fears (ketakutan)

Pair: Allistor & Arthur (family)

Writer: krklandzzz_

****************************

Sebagai anak kecil, Arthur tentu memiliki ketakutan yang tidak masuk akal. Misalnya, dia kerap kali berbicara tentang monster hitam jelek yang akan memakan jiwa kakak dan orang-orang terdekatnya— yang tentu sangat tidak masuk akal bagi Allistor. Dan malam ini, Arthur berteriak karena mimpi buruk (yang menurutnya benar-benar buruk) hingga membangunkan Allistor yang tertidur lelap.

Allistor mengelus rambut emas Arthur yang sesenggukan. Dia meraih saputangan kemudian mengelap ingus yang meler di hidung bocah tersebut. Arthur kembali menangis, kali ini dia memeluk lengan Allistor dan mengelap ingusnya di sana.

"Kakakkk jangan tinggalkan aku!! Aku takut sendirian!!" raungnya.

Allistor mengernyit jijik ketika cairan encer dan bening mulai mengenai lengannya. Dia menyingkirkan lengannya dari genggaman Arthur kemudian menggesekkanya ke seprai. Arthur kembali meraung-raung. Allistor tambah kesal melihatnya.

"Sudah-sudah, jangan menangis begitu. Nanti monster hitam jelek yang kau ceritakan akan memakan jiwamu," hibur Allistor sambil mengelus rambut Arthur.

Raungan Arthur mulai berhenti, namun dia masih terisak. Dia menatap sang kakak dengan mata yang berkaca-kaca serta muka yang bengkak akibat menangis keras. Tangan imutnya meraih piyama Allistor, kemudian dengan suara serak dia membisikkan sesuatu di telinga Allistor.

"Kakak ... Aku bermimpi monster hitam jelek itu merasukimu, lalu di mimpi itu kamu tersenyum sangat lebar hingga mulutmu hampir sobek— lalu kepalamu mengucurkan darah ... Kakak aku sangat takut! Kumohon, jangan tinggalkan aku ya!"

************************************* 

Hetalia belongs to Himaruya Hidekaz, saya tidak mengambil keuntungan apapun dari oneshot ini

Warn: typo, OOC, old Allistor cuz i cant move on from him, alur gajelas, a bit of horor, dll

*********************************

Day 01.

Kini Arthur sudah duduk di kelas tiga SMP, namun mimpi buruk itu masih menghantuinya setiap saat. Setiap pagi, dia selalu mengecek tehnya untuk memastikan tehnya tidak berwarna hitam. Dia juga sering memastikan bahwa Allistor tidak tersenyum terlalu lebar dan warna merah rambutnya tidak terlalu pekat (Allistor menertawainya karena merasa itu tidak masuk akal). Dan biasanya Arthur akan tersenyum lega karena mendapati hal-hal tersebut masih waras.

Arthur menunggu sang kakak selesai memasak scone. Dia mengaduk-ngaduk teh, hingga Allistor menaruh sepiring scone untuk adiknya.

Arthur menatap scone gosong itu. Meskipun pemandangannya agak mengerikan, namun Arthur akui bahwa rasanya tidak begitu buruk. Dia mengambil satu scone, kemudian memoteknya menjadi dua.

Betapa terkejutnya Arthur saat menemukan seuntai benang (?) yang menggeliat dari salah satu scone yang dipotek. Diambilnya benang tersebut, kemudian mata hijau Arthur mengamati benda itu. Saat benda itu menggeliat lagi, barulah Arthur tersadar itu bukan benang— melainkan cacing. Arthur berteriak, kemudian melemparkan cacingnya ke meja makan. Cacing itu menggeliat, merangkak menuruni meja makan kemudian menuju jendela tempat pot tanaman, lalu masuk ke pot itu.

Arthur menatap Allistor dengan tatapan shock. Allistor hanya mendengus.

Day 02.

Pagi itu Arthur bersiap-siap berangkat sekolah. Dia menaiki sepeda reyot peninggalan orangtuanya dan dibonceng oleh Allistor. Dia pergi, dan tidak ada kejadian aneh.

Saat di perjalanan, Arthur merasa mengantuk. Dia menguap, kemudian menyandarkan kepala pada punggung Allistor. Baru sekejap dia memejamkan mata, Arthur terkejut oleh angin yang menampar wajahnya dengan keras. Dia membuka mata, kemudian merasakan sepedanya melaju cepat dan bergoyang-goyang. Merasa sang kakak menjahilinya, dia berseru,

"Kakak, hentikan ini! Bagaimana kalau kita menabrak tiang listrik?!"

Baru saja Arthur berkata seperti itu, Arthur melihat tiang listrik menjulang tinggi di hadapannya. Belum sempat Arthur menjerit, Allistor sudah membanting stang dan membuat sepeda mereka menuruni pinggir jalan hingga oleng— yang akhirnya membuat kakak-beradik itu terjatuh.

Arthur nyaris tercebur ke sungai. Allistor langsung bangun dan mengelap darah yang mengalir dari lengannya, kemudian lanjut berjalan.

Day 03.

Arthur sedang melangkah ke kamarnya ketika dia mendengar suara cicitan dari kamar Allistor. Dia menghentikan langkah di depan pintu kamar Allistor, merasa heran atas suara cicitan tersebut.

"Allistor, kau menangkap burung?" Arthur memutar gagang pintu, dan mendorong pintu kamar. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat segerombolan tikus yang mengitari tempat tidur Allistor, serta melahap sebangkai kelinci. Suara cicitan yang Arthur kira adalah suara burung, ternyata merupakan suara tikus.

Arthur membelalakkan mata ngeri. Dia hendak memarahi Allistor, namun ketika dia menoleh dia sudah mendapati Allistor berdiri di hadapannya. Allistor tersenyum, bukan senyum yang menyenangkan, melainkan menyeringai lebar dan melotot. Arthur langsung cabut dari tempat itu dan mengunci diri di kamarnya.

Day 04.

Arthur mengintip Allistor yang tertawa dan berdansa sendirian ditemani alunan lagu dari piringan hitam peninggalan sang ayah.

Day 05.

Arthur lupa mengunci kamarnya. Remaja malang itu mati-matian menahan napas dan tangis ketika pintu kamarnya dibuka dan sang kakak mengawasinya sambil menenteng sebuah cangkul.

Day 06.

Arthur menemukan ular di kasur Allistor. Ketika Allistor datang, ular itu melenggang pergi.

Day 07.

Arthur terpaksa menghabiskan hari minggunya dengan pergi ke rumah Kiku dan bermain di arkade seharian. Ketika dia pulang pada malam hari, seisi rumah berantakan. Dia menemukan Allistor sedang duduk di kursi goyang milik sang ibu.

Day 08.

Pagi ini, Arthur pergi ke sekolah tanpa memakan sarapannya dan tanpa diantar Allistor. Saat Arthur berpamitan tadi, sang kakak hanya menoleh kemudian menunjukkan senyum lebarnya yang mengerikan, lalu tertawa. Arthur buru-buru angkat kaki dari rumahnya.

Syukurlah hari-hari di sekolah tidak seseram yang dibayangkannya. Arthur masih bersyukur teman-temannya tidak bersikap gila seperti kakaknya, serta masih bisa diajak bicara. Kali ini, dia berbicara dengan Kiku tentang kejadian aneh selama seminggu ini— serta mimpi buruk yang dialaminya semasa kecil.

Kiku manggut-manggut saja mendengar cerita Arthur. Lelaki Jepang itu mengelus dagunya, kemudian berkata, "Mungkin Kakakmu sedang stress, Arthur-san. Apa kamu pernah melihat Kakakmu minum alkohol?"

"Allistor tidak menyentuh whiskey-nya selama seminggu ini," ujar Arthur yang bergidik.

Kiku mengelus dagunya, berpikir.

"Mungkin Kakakmu kerasukan?"

"Bloody hell, aku tidak mau menerima penjelasan tidak masuk akal seperti itu ya," sangkal Arthur.

"Tapi kamu bilang pernah bermimpi Kakakmu dirasuki makhluk jahat, kan?" tanya Kiku. "Bisa jadi itu pertanda. Mimpi itu bunga tidur, beberapa di antaranya tidak nyata dan beberapa di antaranya merupakan sebuah pertanda," tutur pemuda asal Jepang tersebut.

Arthur termenung. Tidak terbayangkan olehnya bahwa ketakutannya akan menjadi nyata. Kalaupun sang Kakak benar-benar terasuki oleh makhluk jahat itu, Arthur tidak tahu harus berbuat apa.

Kiku menepuk pundak rekannya. Dia tersenyum, kemudian berkata, "Kalau Kakakmu bertingkah aneh lagi, kau bisa menginap di rumahku. Kita bisa memecahkan masalah ini bersama-sama."

Arthur balas tersenyum, meskipun menyadari bahwa senyum Kiku terlihat aneh.

*********

Arthur pulang dengan berjalan kaki sendirian. Kiku tidak menemaninya, karena remaja asal Jepang itu memiliki kegiatan ekstrakurikuler tambahan bersama kedua rekannya. Akhirnya Arthur memutuskan untuk pulang sendirian, tanpa mengabari sang kakak.

Batinnya ingin mengambil jalan yang berbeda dan menuju ke arkade atau toko buku— daripada langsung pulang ke rumah seperti biasanya. Rumah bukan lagi tempat yang aman. Namun, Arthur sadar dia memiliki banyak tugas yang perlu diselesaikan dan besok dia sekolah, jadi dia terus berjalan ke rumahnya walaupun perasannya tidak enak.

Arthur sampai di rumah. Ketika dia membuka pintu rumah, keadaan rumah sudah rapi. Mungkin Allistor menyadari kelakuannya dan mulai membersihkan rumahnya. Arthur berharap Allistor tidak lagi bertingkah aneh, sudah cukup seminggu ini dia diteror.

Saat sedang mengamati seisi rumah, suara langkah kaki yang tegas mengagetkan Arthur. Arthur menoleh ke asal suara, kemudian melihat Allistor yang memakai rompi serta kemeja. Penampilan Allistor sangat rapi, sehingga membuat Arthur heran.

"Oh, Arthur, kau ternyata sudah pulang," sahut Allistor.

Arthur mengangguk. "Kakak mau ke mana?"

"Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Ayo kita minum teh, ada beberapa hal yang ingin kujelaskan padamu." Allistor segera berbalik dan bergegas menuju ke dapur. Arthur mengedikkan bahu, berharap Allistor menjelaskan perilaku anehnya selama seminggu ini.

Namun ketika Arthur akan melangkahkan kaki, suara bariton Allistor menghentikannya.

"Tidak usah ganti baju. Tarulah tasmu dan bergegaslah ke dapur."

**********

Kakak-beradik itu duduk berhadapan. Allistor menyesap cangkirnya, sementara Arthur tak berani memegang cangkir sesenti pun sebelum sang kakak memberikan klarifikasi atas perilaku anehnya. Anehnya, cangkir teh Arthur ditutupi oleh tutup cangkir. Biasanya Allistor maupun Arthur ketika menyajikan teh tidak menutup cangkirnya, karena itu Arthur merasa heran.

Namun dia tidak ambil pusing. Rumahnya sudah kembali rapi, sang kakak berperilaku normal dan akan memberikan penjelasan terkait perilaku anehnya.

Allistor meletakkan cangkirnya. Dia berdehem, Arthur dengan sabar menunggu penjelasan.

Allistor membuka mulutnya, "Sebenarnya aku ini bukan Allistor."

Arthur terperangah. Apa maksudnya itu? Batinnya.

Allistor menyeringai. "Buka tutup cangkirmu," perintah sang kakak.

Arthur membuka tutup cangkirnya. Dan mimpi buruk itu segera datang ke pikirannya ketika teh yang berada di cangkirnya berwarna hitam, bukan coklat tua. Tangan Arthur gemetar, napasnya tersengal-sengal. Dia menatap kembali Allistor yang tersenyum lebar, saking lebarnya hingga mulutnya nyaris sobek dan matanya melotot.

"Bagaimana rasanya merasakan mimpi burukmu yang menjadi nyata, Arthur?"

Itu bukan suara bariton Allistor yang dikenalnya. Suara itu serak, menyeramkan, membuat bulu kuduk Arthur berdiri dan kakinya lemas.

Allistor tertawa. Kekehannya semakin besar hingga bergema ke seluruh ruangan. Darah mengucuri kepala sang kakak, Arthur tak asing dengan penampilan itu.

Monster itu datang. Ketakutannya menjadi nyata.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top