River of words
Day 04 / Unspoken words
Pair: Dylan Kirkland x Readers
Writer: krklandzzz_
Ada sebuah sungai yang melintasi area hutan, pegunungan, dan pedesaan kecil tak bernama. Sungai itu mengalir diatas cekungan yang beralaskan batu, bahkan pinggiran sungai itu juga beralaskan batu. Sungai itu memiliki aliran air yang tenang dan menghanyutkan. Airnya jernih. Tidak ada buaya, ular air, aligator, ataupun hewan-hewan berbahaya yang ada di situ--- membuat sungai itu terlihat damai tanpa bahaya mencekam di dalamnya. Sungai itu terletak jauh di dalam hutan yang gelap dan suram, sehingga hanya sedikit orang yang mau mengunjungi sungai itu.
Sungai itu memiliki mitos-mitos. Mitos tentang peri air, putri duyung, wanita penunggu sungai, maupun rusa yang bertanduk bagai ranting pohon kerap menjadi buah bibir masyarakat kala sungai tersebut diperbincangkan. Namun, sungai itu memiliki hal lain yang menjadi buah bibir.
Di dasar maupun pinggiran sungai, terdapat guratan kata-kata yang diukir di batu sungai. Konon, orang-orang dulu biasa mengukirkan kata-kata yang tak terucap namun sangat ingin mereka sampaikan di batu tersebut, lalu menyuruh orang tercinta mereka mencari kata-kata yang mereka ukir berdasarkan clue tertentu. Terkadang mereka mengambil salah satu remahan batu yang terdapat ukiran kata, lalu membawa pulang batu tersebut untuk diberikan kepada orang yang mereka sayangi. Karena hal tersebut, sungai itu diberikan nama Sungai Kata-Kata, atau River of words---- karena sungai tersebut dipenuhi kata-kata yang tak mampu terucap.
Namun, sekian lama semakin sedikit yang melaksanakan tradisi itu. Penyebabnya adalah daerah pedesaan yang jauh dari hutan, serta lokasinya yang susah ditempuh. Belum lagi, anak-anak muda tidak berminat melakukan tradisi tersebut, dikarenakan mereka lebih sibuk belajar ataupun mengais rezeki dan takut kepada mitos-mitos yang berasal dari sungai tersebut.
Meskipun begitu, masih ada satu-dua orang yang sudi mengunjungi sungai itu. Mereka biasanya datang bersama kekasihnya, lalu bersama-sama mengukir kata-kata yang ingin mereka ucapkan di sungai itu. Meskipun jarang dilakukan, tradisi itu masih hidup di beberapa orang dan menciptakan kenangan tersendiri bagi mereka.
Hetalia belongs to Himaruya Hidekaz, saya tidak memiliki dan mengambil keuntungan apapun dari oneshot ini
Reference / Inspired from Riverside - Agnes Obel / Persephone - Tamino
Warn: typo, OOC, alur ndak jelas, dll
*************************************
(Name) merasakan sensasi dingin air sungai yang menyentuh kakinya. Dia menoleh kesana-kemari, menanti kedatangan orang yang mengundangnya ke sungai ini. Kalaupun boleh memilih, dia takkan mau mendatangi tempat ini dan lebih memilih mengurung diri di rumahnya. Tetapi karena pria itu mati-matian memaksanya, dia terpaksa datang.
Sebenarnya (Name) memiliki hubungan yang buruk dengan pria itu meskipun dia mencintainya. Dia mencintai namun juga membenci pria itu karena pria itulah yang mematahkan hatinya, serta membuat gadis itu gila karenanya. Dan sekarang, dia tidak tahu apa lagi yang akan dilakukan oleh pria itu--- apakah dia akan ditenggelamkan atau dibiarkan kedinginan di sini gadis itu tidak peduli asalkan pria itu ikut menderita bersamanya.
Terdengar suara semak-semak yang bergerak. (Name) menoleh, kemudian menemukan pria itu sedang tersenyum padanya. (Name) membenci senyuman itu, senyuman yang dulu membuat dirinya melambung tinggi ke awan-awan.
Pria itu mendekati (Name).
"Apa kabar, (Name)? Sudah lama kita tidak bertemu, apa kau baik-baik saja?" tanya pria itu dengan ramah.
(Name) semakin kesal. Dibalasnya pertanyaan pria itu dengan kasar, "Mau apa lagi kamu?" Gadis itu menatap sang pria dengan tatapan tajam dan benci.
Pria itu hendak meraih tangan (Name), namun (Name) menolaknya dengan kasar. Tatapan bencinya semakin kentara, gadis itu mundur selangkah. Sang pria tersenyum getir.
"Ya ampun, kamu ternyata masih membenciku, ya," ujarnya.
"Jangan sentuh aku, Dylan. Kalau kau berani menyentuhku lagi akan kutenggelamkan kau ke sungai ini," ucap (Name) dengan tajam.
Dylan menghela napas. Dia menatap sungai itu dengan sayu, kemudian menengok pada (Name) dan kembali tersenyum.
Dylan memiringkan kepalanya. "Aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku, kau bisa, kan?"
Napas (Name) tersengal. Dylan dapat melihat alisnya mengerut dan matanya berkaca-kaca, seperti hendak menangis. Gadis itu mundur selangkah.
"Apalagi yang ingin kamu lakukan padaku?" selidik gadis itu.
"(Name), aku sudah tidak akan menyakitimu lagi-"
"Aku tidak akan percaya omong kosongmu untuk yang keseribu kalinya, Dylan."
"(Name), dengarkan du-"
"Aku sudah muak dengan seribu alasanmu. Apa kau tidak tahu bagaimana perasaanku padamu?"
"(Name)-"
"Aku lelah, Dylan. Aku mau kau memberiku penjelasan sesegera mungkin dan tidak menyakitiku lagi, aku sangat sangat membencimu-"
Perkataan (Name) terhenti karena Dylan mencengkeram bahu gadis itu dan menatapnya dengan tajam. (Name) tersentak karena tidak pernah melihat Dylan begitu serius. Dia memberontak, namun Dylan semakin mengeratkan cengkeramannya. Semakin (Name) meronta, semakin kencang cengkeramannya. Dylan kemudian mendekap (Name), tanpa memedulikan (Name) yang meronta-ronta minta dilepaskan. Setelah kakinya diinjak oleh gadis itu, Dylan akhirnya melepaskan dekapannya. Dia menatap (Name) dengan tatapan tajam dan napas tersengal--- berbanding dengan (Name) yang sepertinya hendak menangis.
"Kau-"
"Sssstt." Dylan menaruh telunjuk di bibir (Name). Gadis itu terdiam, memutuskan untuk menurutinya.
"Aku tidak akan berbuat yang aneh-aneh, dengarkan dulu, (Name)." Dylan berbicara dengan suara yang dalam. "Di hulu sana, tidak begitu jauh, ada patung wanita yang berada di pinggir sungai. Di sekitar patung itu banyak batu-batu yang terukir dengan kata-kata. Aku mau kau mencari batu hitam yang terukir kata-kata yang berada di sekitar patung itu," tutur Dylan.
(Name) terdiam. Dia menatap telunjuk Dylan, kemudian beralih ke matanya.
"Lalu kau akan tinggal di sini selama aku mencarinya?"
"Tidak, aku akan mengawasimu dari belakang--- memastikan kau tidak kenapa-kenapa." Dylan mendekatkan wajahnya. Setelah merenung cukup lama, (Name) menghela napas kemudian berkata,
"Asal kau tidak menganggu hidupku lagi, aku akan melakukan ini untukmu," jawabnya.
Dylan tersenyum.
"Tidak akan, (Name). Aku tidak akan mengganggumu lagi."
***********************
(Name) dengan hati-hati melangkah melewati bebatuan yang berlumut. Kadang dia memegangi ranting-ranting karena batu-batu itu licin, dan tak ayal dia terpelesat karenanya. Dylan, sesuai janjinya, mengikuti gadis itu--- memastikan gadis itu tidak kenapa-kenapa. Setiap kali (Name) terpeleset, dia akan menawarkan diri untuk memegang tangannya, yang ditolak dengan dingin oleh (Name). Meskipun begitu, dia tetap setia mengawasi gadis itu.
Mereka berjalan dalam keheningan. Sesekali (Name) merintih karena nyeri, namun dia gengsi untuk meminta tolong pada Dylan. Dalam hati dia bertanya-tanya mengapa Dylan menyuruhnya melakukan hal seperti ini, penasaran kata apa yang akan dia tunjukkan melalui batu itu. Namun (Name) sungkan untuk bertanya--- dia memiliki harga diri yang tinggi.
(Name) mencelupkan dirinya ke sungai, diikuti oleh Dylan. Mereka menyisiri sungai dengan pelan, karena permukaan batu di dasar sungai sangat licin dan dipenuhi lumut.
Ketika menyisir sungai yang dingin, entah mengapa kemarahan (Name) kepada Dylan semakin memuncak. Teringat kembali memori-memori buruk yang berusaha dia lupakan, membuat api membesar di dada dan dendam kembali membara. (Name) kembali gelap mata. Dia berjalan dengan cepat, tanpa menghiraukan seruan Dylan untuk berhati-hati. (Name) melangkah semakin cepat, cepat dan cepat, hingga tanpa sadar dia terpeleset dan tenggelam ke sungai itu.
Air memasuki mulut dan hidung (Name). Samar-samar dia mendengar Dylan memanggil namanya. Gadis itu menyodorkan tangannya, berusaha meraih permukaan. Kakinya berkali-kali menapak batu namun kembali tergelincir, membuat dia terjebak di dalam air. (Name) tidak bisa bernapas, dia semakin panik. Gelembung mulai keluar dari mulut dan hidungnya. Kemudian, ketika hampir kehilangan kesadaran, dia mendengar suara deburan air lalu merasa tubuhnya terangkat oleh sesuatu--- hingga ke permukaan.
Udara permukaan menamparnya. (Name) terengah-engah, sedikit lega karena akhirnya dia bisa bernapas. Seseorang mendorongnya dan menaikkan dirinya ke bebatuan di tepi sungai--- (Name) terlalu lemas untuk memberontak. Samar-samar dia mendengar suara Dylan, namun tidak tahu apa yang dia katakan. Paru-parunya seperti penuh dengan air. Dylan membaringkan (Name), kemudian melakukan pertolongan pertama. (Name) membiarkan pria itu menekan dadanya berkali-kali dan memberinya pernapasan buatan, dirinya terlalu lemah untuk menolak. Tiba-tiba dia merasa isi dada dan perutnya naik, memaksa untuk bangun dan memuntah isinya. (Name) tersentak. Dia terbangun dan memuntahkan air yang masuk ke tubuhnya, lalu terbatuk-batuk. Dylan berteriak lega. Dia menyandarkan gadis itu ke batu besar di dekat mereka kemudian mengelus-elus rambutnya.
"Aku sangat senang kau tidak apa-apa, aku sangat takut kehilanganmu." Mata Dylan berkaca-kaca. (Name) hanya terengah-engah, namun dia ingin menangis. Orang yang dia benci dan cintai telah menyelamatkan dirinya. Perasaan itu bercampur dengan dendam serta kemarahan yang dia pendam, hingga gadis itu tak sanggup lagi menahan dan terisak.
"Apa ... yang sebenarnya ... kau inginkan dariku-?" sahut gadis itu sambil terisak. Dylan memandang dengan pilu, lalu merengkuhnya. (Name) tak memberontak. Dia menangis di pelukan pria itu, meluapkan semua perasaan yang dia pendam selama ini.
*********************
Setelah insiden itu, Dylan tak lagi mengawasi (Name) dari belakang. Dia berjalan di sebelah (Name), tak ingin gadis itu terpeleset lagi. (Name) masih terisak pelan, namun dia tak lagi menolak pertolongan dari Dylan. Dia kini menggenggam tangan pria itu--- walaupun perasaannya masih campur aduk.
Mereka dapat melihat sesosok berdiri tegak di pinggir sungai dan dikelilingi batu dan lumut. Ketika semakin dekat, (Name) tahu bahwa patung itulah yang dimaksud oleh Dylan. Patung itu berupa wanita berambut panjang bergelombang dan sedang mengamati burung yang bertengger di tangannya. Entah bagaimana patung itu bisa berada di sini--- patung itu digerogoti lumut. Di sekelilingnya terdapat batu dengan berbagai macam warna. Sekarang, tugas (Name) adalah mencari batu berwarna hitam dengan ukiran kata-kata.
(Name) mengamati batu-batu itu. "Bagaimana aku bisa menemukan batu itu? Batu-batu itu sangat banyak."
"Aku yakin kau akan menemukannya. Aku sudah mengecek tempat ini, cari saja," tutur Dylan.
(Name) berjongkok. Dia memungut batu-batu itu, memindahkan mereka ke tempat lain. Dia mencari-cari keberadaan batu hitam yang dibicarakan oleh Dylan. Begitu lama dan begitu serius (Name) mencari keberadaan batu itu, namun dia tak kunjung menemukannya.
"Searah dengan tangan kirinya, (Name)," sahut Dylan tiba-tiba--- hingga mengagetkan (Name).
(Name) melongok ke batu-batu yang berada di bawah tangan kiri sang patung. Dia memungut beberapa batu, lalu menemukan benda hitam yang berkilat. Dia memungut batu itu, kemudian mengamatinya. Terdapat ukiran kata-kata yang tertutupi oleh lumut, membuat gadis itu tidak bisa melihatnya. Tangannya mencabuti lumut-lumut itu, hingga tulisan itu nampak olehnya.
'Aku sangat mencintaimu, meskipun aku tahu aku telah menyakitimu. Aku sangat merindukanmu, sebagaimana matahari merindukan bulan.'
(Name) merasa sebuah kapak telah menebas dadanya. Gadis itu tercekat sekaligus terkejut parah, tubuhnya gemetar dan lidahnya kaku. Dia menoleh ke Dylan yang tersenyum pahit dengan sorot mata yang bahagia sekaligus sedih. (Name) tak mampu berkata-kata. Perasaan senang, dendam, marah, terkhianati, terharu, serta perasaan-perasaan asing yang tak mampu dia deskripsikan bercampur aduk menjadi satu dan menciptakan perasaan antah-berantah yang membuncah di dada. (Name) ingin menampar pria itu, tetapi tangannya kaku. (Name) ingin memeluk pria itu, tetapi kakinya terpaku. (Name) ingin mengatakan bahwa dia juga mencintai Dylan, tetapi lidahnya beku. Karena itu, dia hanya terisak pelan dan membungkuk sambil menutup mulutnya.
Dylan mendekati (Name). Dia mendekap gadis itu lalu membiarkannya menangis di dalam rengkuhan hangatnya, meluapkan perasaan yang dia tak sanggup ucapkan. Sesekali dia mengelus rambut (Name), sementara (Name) meremas kemeja Dylan dengan penuh emosi dan bercucuran air mata.
"Kenapa-- kau baru--- memberitahuku sekarang---?" tanya gadis itu di tengah isakan.
Dylan meringis. (Name) kembali menangis, membuat hati pria itu bagai ditusuk kaca. Air mata menumpuk di pelupuk mata Dylan, membuat tenggorokannya bagai disumbat batu.
"... Maaf, (Name) ... Maaf...." Hanya itu yang bisa Dylan ucapkan. Lidahnya seolah kelu untuk kata-kata lain.
"Aku kira kau tak mencintaiku," lirih (Name).
"Aku mencintaimu, (Name. Aku sangat mencintaimu," isak Dylan. "Maafkan aku yang terus menyakitimu."
(Name) bangkit dari pelukan Dylan. Wajahnya merah dan bengkak, matanya sembab. Bibirnya yang bergetar membuka suara,
"Kau bohong. Kau bohong, kan?" gadis itu menolak percaya.
Dylan memegang kedua pipi (Name), mengangkat wajah gadis itu. Dipaksanya mata gadis itu bertemu matanya yang berkaca-kaca.
"Apa di mataku terlihat kebohongan yang kau percayai?"
(Name) terdiam. "Aku melihatnya. Kau berbohong ketika kau mengatakan kau tidak mencintaiku, dan aku dapat melihat pilu di matamu ketika kau melihatku terluka."
Dylan meringis. "Tapi sekarang tidak ada, kan?"
(Name) menggeleng dengan pelan. Dia menjatuhkan diri ke pelukan Dylan, dengan batu hitam yang dia dekap dengan erat. Dylan merangkul punggung (Name), kemudian menghirup aroma yang keluar dari rambut gadis itu.
-the end.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top