Karma
Day 1 / Bitter deceits (Karma)
Pair: South Italy & North Italy (family relationship)
Writer: krklandzzz_
*************************
Feliciano menggenggam tangan kakaknya erat. Lelaki itu tidak tahu akan dibawa ke mana, dia hanya mengikuti jejak sang kakak yang nampaknya terburu-buru. Mereka menempuk jarak yang jauh, dari kota yang padat oleh mesin uap dan asap ke pedesaan asri hingga ke hutan dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Mereka tidak membawa apa-apa selain pakaian yang melekat di tubuh mereka serta keyakinan dan keingintahuan.
Mereka akhirnya sampai di depan sebuah gua. Feliciano memeluk lutut, napasnya ngos-ngosan karena tidak sempat diajak berhenti. Sang kakak--- Lovino--- juga terlihat lelah, dia berusaha mengatur napas dan mengelap keringat yang menderas.
Lovino meraih tangan Feliciano. Feliciano sempat mengeluh karena tak diberikan waktu untuk berleha-leha di atas rumput yang empuk, namun Lovino mengabaikannya. Mereka memasuki gua itu tanpa membawa obor atau alat penerang.
Feliciano memerhatikan gua itu. Disana gelap, hanya ada batu-batu runcing serta parit kecil yang terisi air di sebelah kedua dinding gua. Mereka terus berjalan, masuk semakin dalam ke gua. Feliciano memeluk erat lengan Lovino, penasaran sekaligus ketakutan.
"Kita pergi ke mana, kak?" Suaranya bergema. "Disini gelap sekali, hanya ada batu-batu runcing dan gemericik air. Ayo kita keluar dari sini," ajak Feliciano.
Lovino menggeleng. Dia terus menuntun Feliciano semakin dalam ke gua.
"Jangan dulu. Jangan sampai perjalanan kita sia-sia, aku sudah susah payah mencarinya," kata Lovino.
Feliciano menoleh. "Mencari apa?"
Lovino terdiam sebentar, kemudian menjawab, "Kekayaan."
Mereka sampai di hadapan kakek tua yang menjulang tinggi. Janggutnya sangat lebat hingga menyentuh permukaan, matanya tajam seperti elang dan badannya tinggi walau berusia sepuh. Kakek itu duduk di singgasana yang terbuat dari batu, serta buah-buahan dan makanan lezat yang terletak di meja samping singgasana. Sekeliling koridor tersebut ditempeli obor, membuat penerangan redup-redup di dalam kelamnya gua.
Feliciano tercengang. Dia menggenggam erat lengan kakaknya, merasa takut sekaligus penasaran.
"Kakak, siapa Kakek tua itu?" Feliciano menahan tangis.
Lovino berusaha menenangkan sang adik. "Tidak usah takut. Kakek tua ini yang akan mengabulkan semua permintaanmu asal kau membuat perjanjian dengannya. Dia yang akan membuat kita kaya, Feliciano."
Feliciano menatap takut-takut kakek itu. Kakek itu tak bergeming selain menatap angkuh kedua pemuda miskin di hadapannya.
Lovino mengambil pisau kecil yang terletak di atas meja batu. Dia meraih tangan Feliciano, kemudian menyodorkan pisau itu.
"Tanganmu harus disayat oleh pisau ini," tuturnya. "Tidak usah khawatir, tanganku akan dibuat begitu juga. Kamu mau kan?"
Feliciano mematung. Dengan napas yang terengah-engah, dia mengangguk pelan. Lovino mengangguk mantap, kemudian menyayat tangan Feliciano dengan sekejap. Feliciano menjerit sambil memegangi tangannya yang mengucurkan darah. Jeritannya bergema, membuat bulu kuduk Lovino berdiri. Tanpa basa-basi lagi, dia menyayat tangan miliknya. Pemuda itu meringis, menjerit tertahan. Lalu dia memeluk Feliciano yang menangis.
Darah masih menetes dari tangan mereka. Darah itu menetes ke lantai batu gua, menjadi bukti atas perjanjian terlarang mereka.
Hetalia belongs to Himaruya Hidekaz, saya tidak memiliki dan mengambil keuntungan apapun dari oneshot ini.
Based from 'We Have It All' by Pim Stones
Gambar di atas berasal dari Pinterest
Listening to: We Have It All - Pim Stones
Warn: OOC, typo, chara death, SEDIKIT BANGET unsur steampunk, fantasy au ofc, ide diluar nalar, dll.
******************************
Vargas bersaudara adalah salah satu dari keluarga yang bisa dibilang miskin di daratan Ivorybell. Mereka tinggal di rumah yang hampir roboh, menghirup asap dari mesin uap yang berasal dari pusat kota, memakan kentang dan tomat yang hampir busuk, serta berharap suatu saat ada pekerjaan yang dapat mereka lakukan untuk mendapat sepeser uang.
Lovino, sang kakak, setiap pagi pergi ke pusat kota untuk mencari pekerjaan--- sementara adiknya Feliciano berkeliling di pemukiman mereka, berharap ada sesuatu yang bisa dia kerjakan untuk mendapatkan uang. Terkadang dia bekerja di bar dan restoran, dan terkadang membantu para ibu rumah tangga untuk mengawasi anak-anak mereka. Meskipun begitu, uang yang didapatkannya sangat pas-pasan untuk kebutuhan sehari-harinya. Lovino juga tak kunjung mendapatkan pekerjaan dan nyaris frustasi dengannya. Wawancara yang ditawarkan Antonio juga tak membantu, Lovino terus ditolak.
Lovino nyaris putus asa. Namun mengingat satu nyawa yang dia harus hidupi, serta tanggung jawab dan janjinya sebagai kakak kepada sang kakek yang sudah lama tiada membuatnya terus bertahan selama ini, meskipun harus meminum air mata sekalipun.
Hingga suatu hari, Lovino menemukan sesuatu. Sesuatu yang harusnya tidak dia temukan, meskipun itu dapat mengabulkan semua keinginan seseorang. Sesuatu yang berusaha disembunyikan dengan erat oleh orang-orang, terpencil di dalam hutan belantara dan jauh dari asap kota.
Lovino membawa Feliciano ke gua itu, dan terciptalah perjanjian itu.
******************************
Tak butuh waktu lama keinginan Vargas bersaudara terwujud. Mereka kaya mendadak, bergelimang harta dalam sekejap. Mereka dapat memakai baju bagus, memakan makanan enak, membuat kamar tidur mereka menjadi bagus, dan mengubah rumah mereka hingga tak berupa gubuk lagi. Para tetangga sangat penasaran dengan Vargas bersaudara yang mendadak tertimpa durian runtuh, meskipun mereka kerap menenggelam dalam-dalam rasa penasaran itu dan berusaha berpikir positif.
Lovino tampak lebih bahagia, wajahnya tak lagi memancarkan tampang tertekan ketika mencari pekerjaan. Hal itu berbanding terbalik dengan Feliciano yang tampak murung setiap harinya. Meskipun selalu menunjukkan raut wajah yang ceria dan konyol di hadapan semua orang, jauh di lubuk hati dia tak ingin membuat perjanjian itu. Baginya, perjanjian itu terasa salah, perjanjian itu bisa saja merenggut hal paling berharga yang dia miliki. Dia yakin kakek tua itu tak akan mengabulkan permintaan mereka tanpa tumbal. Baik nanti atau sekarang, dia yakin pasti akan ada tumbal sebagai bayaran atas dikabulkannya keinginan mereka, entah berupa nyawa atau harta.
Dia berkali-kali membujuk Lovino untuk membatalkan perjanjian mereka. Tak kenal lelah, setiap minggu dia mengetuk kamar Lovino, membuatkannya pasta dengan saus tomat kesukaannya, kemudian membujuk dia agar membatalkan perjanjiannya, yang berakhir dengan gelengan kepala dari Lovino.
Hari ini sudah kedua puluh kalinya Feliciano membujuk. Dia memandang sang kakak dengan raut wajah memohon sambil memegang tangannya.
"Kumohon, Kak. Batalkan saja perjanjian kita dengan pria itu. Menjadi miskin kembali pun tak apa asal kita terus bersama," Feliciano memelas.
Lovino merautkan alis, kemudian menggeleng. Reaksi yang selalu didapatkan Feliciano, namun hal itu tak menghilangkan kegigihannya untuk membujuk sang kakak.
"Tidak usah, Feli. Kita sudah hidup berkecukupan. Kau tidak mau kan aku pulang larut malam hanya untuk memberimu kabar bahwa aku tak kunjung mendapat pekerjaan, dan kita dengan terpaksa harus memakan tomat dengan roti lagi?" ucap Lovino setengah emosi. Bagaimana tidak, hampir setiap minggu dia ditanyakan pertanyaan seperti itu hingga membuat dirinya muak.
Feliciano menatap mata sang kakak dengan kecewa dan berkaca-kaca. Dia menunduk, kemudian menghapus setitik air mata yang hampir keluar.
"Aku hanya tak mau salah satu dari kita harus dijadikan tumbal ...," lirihnya. Lovino terdiam, kemudian meraih pundak sang adik. Dia menyuruh Feliciano untuk mengangkat wajahnya, kemudian menatap tegas manik hazel sang adik.
"Aku takkan membiarkan salah satu dari kita dijadikan tumbal. Aku akan melindungimu," sumpah Lovino.
Feliciano terisak pelan, kemudian memandang bekas sayatan di telapak tangannya dengan tatapan sendu.
***************************
Lovino belum melihat adiknya sejak kemarin. Dia sudah mengobrak-abrik seisi rumah untuk menemukan fakta bahwa Feliciano tidak ada di sana. Dia sudah bertanya kepada para tetangga, dan mereka tidak melihatnya. Kunjungan dia ke rumah Ludwig dan Antonio nihil, dia tidak menemukan Feliciano. Sampai akhirnya Lovino ingat tempat yang mungkin saja dikunjungi oleh Feli, setelah keinginannya tidak terwujud oleh sang kakak.
Gua itu. Gua tempat perjanjian mereka.
Lovino bergegas menuju gua itu. Melewati mesin-mesin kota yang canggih, terbatuk-batuk oleh asap tebal yang berasal dari mesin, melewati pedesaan asri, hingga menyebrangi sungai beraliran deras dan menerobos hutan dengan pohon-pohon yang menjulang menyeramkan. Sama seperti perjalanannya dengan sang adik ke gua itu, dia tak membawa apapun kecuali pakaian yang melekat di dalam tubuhnya. Sesekali dia berhenti, mengambil napas, berlutut, membiarkan keringat meluncur deras dan membasahi jasnya--- kemudian meminum segenggam air dari sungai, lalu melanjutkan perjalanannya.
Akhirnya Lovino sampai di depan gua itu. Dia memandang gua itu dengan tatapan marah, kemudian menerobos masuk sambil meneriakkan nama sang adik berkali-kali. Teriakannya bergema, menggetarkan dinding dan batu-batu gua--- namun tidak ada jawaban dari sang adik. Dia terus berlari sambil berteriak, hingga akhirnya sampai di hadapan sang kakek tua.
Napas Lovino tersengal marah. Alisnya bertaut, sorot matanya menggambarkan kemarahan yang luar biasa atas tuduhan yang dia lontarkan kepada kakek tua itu.
"Dimana Feliciano?!" teriaknya. "Dimana adikku, dimana dia?! Kau satu-satunya orang yang tahu keberadaan dia kan?!" Amarah Lovino semakin tak terkendali. Dia nyaris menjambak janggut kakek itu ketika tangan rentanya menunjuk ke dinding gua.
Lovino menoleh. Manik hazelnya membelalak histeris ketika melihat tubuh sang adik yang dililit tanaman bersulur. Matanya terpejam, di sekujur tubuhnya terdapat ruam keunguan. Lovino menghampiri tubuh sang adik, kemudian menggoyangkannya--- berharap mata Feliciano akan terbuka dan bibir kering dan pucatnya akan menjawab. Dia menepuk pipi Feliciano, meneriakkan nama Feliciano di telinganya, hingga akhirnya dia menyerah dan memutuskan mengecek nadinya.
Kaki Lovino terasa lemas. Tidak ada kedutan pertanda kehidupan masih berlangsung di nadi adiknya. Dunianya runtuh, air mata segera membanjiri pelupuk mata dengan cepat. Dia berteriak, teriakan penuh penyesalan dan amarah yang menumpuk di dalam lubuk hati, kemudian menciptakan perasaan bersalah yang kini membanjiri dada bagaikan hujan deras.
Lovino memeluk tubuh Feliciano yang dingin dan kaku. Dia berteriak memanggil nama sang adik sembari menangis keras, sementara sang kakek tua menatap dingin kedua bersaudara itu, pemandangan yang tak asing dilihatnya sebagai akibat dari mengukir perjanjian tanpa memikirkan timbal baliknya.
Karma.
-the end
A/N:
Yh, bginilh jdinya jka ak mmbwt oneshot di tengah tgas yg membara,,,, [pngsan,,]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top