𐙚˙⋆.˚20. Akhir Amarah
Langit diselimuti warna oranye. Panasnya sinar matahari mulai mereda, dan para siswa sudah keluar dari kelas mereka untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Di antara siswa-siswa ini, terdapat Jingga yang berlari sekuat tenaga ke ruang OSIS. Jika dulu, ada sebuah keraguan dan rasa cemas untuk pergi ke ruang itu. Maka sekarang, Jingga berlari percaya diri melewati orang-orang dengan senyuman lebar.
Ketika sampai di ruang OSIS, hal yang pertama Jingga lakukan adalah mengecek satu persatu anggota OSIS. Selain ingin membicarakan mengenai acara lomba, Jingga juga ingin membeberkan informasi yang dia dapat dari Dika. Setelah Dika menemukan sebuah video, dari orang yang terlibat dalam perusakan karya seni.
Awalnya beberapa orang merasa heran, melihat Jingga membawa sebuah patung dari lilin rusak, yang merupakan bagian dari pameran seni. Mereka juga semakin heran, ketika melihat Hani datang dengan membawa lukisan miliknya yang sudah rusak.
Sia mengernyitkan kening, lalu bertanya, "Loh, ada Kak Hani juga?"
"Apa hari ini mau diadain evaluasi lagi?" tanya Riki.
"Kenapa sampai bawa-bawa lukisan rusak itu?" tanya Nadia bingung.
Jingga tersenyum, dan mengizinkan Hani ataupun Joshena masuk ke ruang OSIS. Setelahnya, Jingga memberitahu, "Hari ini, gue mau ngungkap pelaku sebenernya yang sembunyi di balik Chandra."
"Sebelum gue ungkap kebenarannya, apa ada di antara kalian yang mau ngaku sendiri?" tanya Jingga.
Semua anggota OSIS melirik ke kiri dan ke kanan. Mereka bingung sendiri. Bagaimana bisa di antara mereka ada yang jadi pelaku, jika mereka sendiri dulu membolos mengikuti pameran.
Nadia tiba-tiba mengacungkan tangannya, dan mengaku, "Gue. Gue salah karena gak hadir pas pameran. Dulu, gue ngerasa takut sama lo, apalagi pas temen-temen yang lain bilang... mereka gak bakalan hadir juga."
Pengakuan Nadia membuat para anggota ikut mengangkat tangannya. Mereka sama-sama merasa bersalah, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun, meskipun Jingga sudah menganggap kesalahan mereka sebagai angin lalu. Ada sebuah kesalahan yang tak bisa Jingga maafkan, yaitu kebohongan salah satu anggota.
"Makasih, karena kalian semua udah mau ngakuin kesalahan. Tapi sayangnya, ada yang berbohong di antara kalian semua," ucap Jingga.
"Padahal, gue udah ngasih kesempatan buat ngakuin hal ini secara jujur, tetapi ternyata masih aja bohong," lanjut Jingga.
Jingga berjalan ke arah para anggota, sembari membawa ponsel di tangannya. Setelah itu, Stefan bertanya, "Siapa orangnya?"
"Lo," balas Jingga.
Semua anggota mengernyitkan kening, melihat Jingga menuduh Stefan begitu saja. Padahal, selama ini Stefan adalah orang yang mendukung Jingga, tetapi Jingga tak segan-segan menunjuk orang itu sebagai pelaku. Jelas saja, Stefan tertawa dan berkata, "Gue gak hadir di acara pameran. Gimana caranya gue ngerusak benda-benda itu? Lagian gak ada manfaatnya."
Jingga memutar video pemberian Joshena. Awalnya hanya terlihat Joshena yang sedang berjualan. Namun, ketika video dilambatkan, dan diperbesar bagian ruang seni. Anggota bisa melihat Stefan memakai seragam, sedang berdebat dengan Chandra sebelum akhirnya menyeret Chandra ke ruang terdekat, yaitu ruang seni.
"Bukannya lo waktu itu lagi lomba? Kalo lagi lomba, kenapa bisa ada di sekolah?" tanya Jingga.
Stefan meneguk ludahnya sendiri. Pemuda itu masih bisa tersenyum, kemudian berkata, "Bisa jadi video itu editan. Lagian, Chandra juga udah bilang 'kan, kalo dia sendiri yang ngerusak karya seni itu."
Pintu ruang OSIS terbuka, menampilan Harsa dengan Dika yang tersenyum lebar. Harsa berjalan puas, melihat Stefan disudutkan Jingga. Pemuda itu lalu mengungkap, "Chandra gak sengaja tahu rahasia lo, dan cara supaya dia bungkam rahasia lo, adalah dengan kekerasan."
"Waktu pameran, lo berdebat sama dia, supaya dia gak bilang ke siapa pun tentang rahasia lo. Tapi, Chandra si Jujur gak mau nyembunyiin apa pun. Akhirnya lo seret dia ke tempat sepi, yaitu ruang seni yang lagi kosong."
"Lo emosi, lo pukulin Chandra sampai Chandra tersudut ke meja karya seni. Chandra berusaha ngehindarin pukulan lo, tapi pukulan lo meleset kena ke karya seninya," jelas Harsa.
"Setelah karya seninya rusak, lo baru sadar dan buru-buru merintah Chandra buat nyari kotak kardus baru, sekalian ngumpetin kotak kardus lama."
Stefan memelototkan mata, dan mengelak, "Gue gak hadir!"
Harsa berucap, "Lo tahu, alasan kenapa lo milih nyembunyiin karya seni? Dibanding minta maaf sama Jingga dan pemilik karya seninya?"
Stefan masih mengelak, dan Harsa melanjut, "Karena lo munafik. Lo selalu pengen buat citra cowok populer baik hati, yang dikagumi para cewek. Dan kenyataannya, lo nyembunyiin sifat manipulatif, kasar, dan br*ngsek lo."
Stefan mengepalkan tangannya. "Ucapan lo gak akan bisa ngebuktiin gue pelakunya!"
Hani mendengkus, lalu mengambil patung lilin di tangan Jingga. Gadis itu menyentuh tangan Stefan yang mengepal kuat, dan menyamakannya dengan bekas pukulan di patung lilin. Hani berucap, "Cocok."
Lalu Stefan segera menurunkan tangannya. Dia ingin menjelaskan, "Han... jangan dengerin cowok urakan ini. Dia cuman bisa nud---"
Belum sempat Stefan mengakhiri ucapannya, Hani sudah lebih dulu mendaratkan pukulan tangannya pada pipi Stefan. Gadis itu menggerutu, "S*alan lo! Di depan gue, lo sok-sok an ngehina orang yang ngerusakin karya seni gue, sekaligus pura-pura nenangin gue! Tapi ternyata?! Lo sendiri pelakunya?!"
"B*jingan! Gue udah marah-marah sama Chandra, padahal lo pelakunya?! Pokoknya ini gak bisa dibiarin! Lo harus gue aduin sama Bu Citra!" peringat Hani sebelum akhirnya keluar dari ruang OSIS. Kepergian Hani membuat Stefan mengeluarkan napas panjang. Pemuda itu mengejar-ngejar Hani, dengan tangan bersatu di depan dada. "Han! Han! Maaffin gue!"
Dika tertawa melihat Stefan yang sebelumnya angkuh, kini mengemis permintaan maaf pada Hani. Padahal awalnya Dika tak ingin ikut campur dengan masalah ini. Namun, melihat Stefan yang biasa dikagum-kagumi para gadis, kini mengemis ampunan, membuat hatinya lega. Apalagi ketika matanya menemukan sosok Joshena yang berdiri sembari tersenyum ke arahnya.
"Sore, Kak Joshe," sapa Dika. Joshena tersenyum, dan Harsa yang menemukan Dika menyapa Joshena langsung merotasikan mata. Pemuda itu menyindir, "Katanya gak suka dideketin cewek. Ternyata sukanya ngedeketin duluan."
"Diem lo!" ucap Dika sembari menginjak kaki Harsa.
Harsa berdecak, dan matanya akhirnya bertemu dengan Jingga yang tersenyum tipis. Padahal beberapa hari lalu, Jingga masih menyukai Stefan. Namun, sekarang Jingga sudah merasa jijik, sekaligus lega setelah mengungkap kebenaran yang ada.
Jingga berdiri dengan jarak beberapa centi dari Harsa. Namun, ketika bibirnya mengucap terima kasih, dengan pipi memerah dan mata berbinar, Harsa langsung merasakan sebuah pukulan manis menyentuh jantungnya. Pukulan ini merambat ke sudut bibirnya yang semakin melengkung ke atas. "Janji gue terpenuhi."
•••
Hari-hari berikutnya masih berlalu, dan Stefan diskors setelah kebohongannya terbongkar. Rupanya, selain berbohong bukan pelaku perusak karya seni, Stefan juga menyembunyikan kenyataan jika dia tidak ikut berlomba dan sengaja mendaftarkan diri, hanya untuk mendapatkan uang dari sekolah.
Kebenaran ini diketahui oleh Chandra yang menemukan Stefan bersembunyi di dekat ruang klub pecinta alam. Oleh karena itu, supaya tidak ketahuan, Stefan sengaja memberikan ancaman berupa pukulan pada Chandra.
Stefan mendapatkan hukuman, dan Jingga masih fokus pada tujuannya untuk melancarkan kegiatan lomba. Setelah ujian akhir sekolah dilaksanakan, Jingga menjadi pembawa acara yang mempimpin jalannya lomba di mulai.
Senin, selasa, rabu, dan juga kamis menjadi waktu sibuk Jingga saat mengurus perlombaan. Namun, meskipun di hari-hari ini Jingga disibukkan oleh acara sekolah, tetapi keberadaan para anggota yang saling membantunya adalah sebuah kesenangan sendiri bagi Jingga. Jingga baru merasakan, indahnya memiliki teman-teman yang saling membantu dengan tujuan sama.
Setelah seharian menjadi panitia lomba, Jingga duduk di depan ruang OSIS, sembari menggoyang-goyangkan kipas berwarna putih. Gadis itu menyandarkan tubuhnya pada kursi, sementara tangannya beberapa kali mengusap keringat yang membasahi keningnya. Perlu Jingga akui, jika hari terakhir menjadi panitia merupakan hari yang melelahkan, dan menyenangkan untuk diingat.
Ketika para anggota pergi ke kantin, Jingga memutuskan mendinginkan tubuh sembari melihat daftar pemenang di kertas yang ada pada pangkuannya. Diam-diam sudut bibir Jingga melengkung ke atas. Matanya menemukan nama Harsa dalam daftar pemenang, sampai ingatannya ketika Harsa berlomba teringat kembali.
"Ketos Bocil, boleh minta hadiah gue lebih dulu?" tanya Harsa yang berada tak jauh dari Jingga.
Harsa masih menjaga jarak dari Jingga, tetapi tidak dengan komunikasi keduanya yang masih tersambung. Lalu Jingga yang mendengar suara Harsa, langsung menurunkan sudut bibirnya. Dia melirik ke arah Harsa, dan menjawab, "Hadiahnya diumumin senin depan. Lagian hadiah ini bukan cuman buat lo doang, tapi temen sekelas lo juga."
"Kalo gue ngasih lo hadiah lebih dulu, boleh?" tanya Harsa.
Jingga mengernyitkan kening, sementara Harsa menunjukkan sebuah plastik hitam berisi eskrim. Pemuda itu menitipkan eskrimnya pada orang yang tak sengaja melewatinya. Hingga akhirnya, eskrimnya ada di tangan Jingga.
"Buat lo. Lo pasti gerah teriak-teriak di tengah lapang yang panas," ucap Harsa sembari menarik sudut bibirnya ke atas.
Perhatian Harsa lagi-lagi membuat Jingga tak enak hati. Jingga ingin menolak, tapi melihat rasa haus menggerogoti lehernya. Apalagi ketika melihat, plastik eskrim yang menunjukkan gambar eskrim mangga dengan es batu di sisinya. "Makasih," balas Jingga.
Jingga mencicipi eskrimnya tanpa melihat ke arah Harsa. Setelah itu, dia bertanya, "Btw, dari mana lo tahu kalo Chandra dipukulin Stefan karena tahu rahasia Stefan?"
Harsa menjawab, "Chandra baru berani ngomong, setelah gue peras."
"Harsa!" Jingga menghentikan acara makan eskrimnya. Dia melirik tajam ke arah Harsa, sementara Harsa malah tertawa dan menyentuh perutnya sendiri. "Gue bercanda. Lagian gue udah bilang, kalo gue udah berenti gangguin dia."
"Terus gimana caranya Chandra mau ngomong?" tanya Jingga.
Harsa menundukkan kepala, lalu menjawab, "Gue diundang Bokap gue buat makan malam sama keluarga barunya. Dan di sana gue ketemu Chandra sekalian tanya-tanya juga."
Jingga merendahkan suaranya. Dia tak ingin menyinggung Harsa, oleh karena itu Jingga bertanya hati-hati, "Apa lo gak papa?"
Harsa menjawab, "Tenang aja. Gue udah nerima kenyataan ini, dan baikan sama Chandra. Lagian, mau dielak berapa kali pun, kenyataan gak bisa diubah."
"Setelah gue baikan sama dia, akhirnya dia mau cerita kejadian yang sebenernya," ucap Harsa.
Jingga mengeluarkan napas lega. "Syukurlah, semuanya baik-baik aja sekarang."
Harsa mengelak, "Sayangnya gue gak bersyukur."
Jingga mengernyitkan kening, dan bertanya, " Kenapa lagi?"
Harsa menarik dan mengeluarkan napas panjang. "Gue berhasil bantuin lo, tapi taruhannya udah dibatalin di awal. Jadinya... gue gak bisa dapetin apa yang gue mau."
Jingga menjawab, "Salah sendiri! Lagian... gue... gue... gue sejak awal gak nyuruh lo buat bantuin gue."
"Ya... meskipun begitu... harusnya lo balas budi, kek. Biar kita bisa punya hubungan kek simbiosis parasitisme gitu," ujar Harsa.
"Maksud lo, simbiosis mutualisme kali! Kalo parasitisme cuman nguntungin satu pihak, dan pihak lain dirugiin!" jelas Jingga.
Harsa berkata, "Gue bukan anak IPA, salah dikit wajarlah."
"Tapi... kayaknya ada benernya juga. Hubungan kita itu kayak simbiosis parasitisme, lo diuntungin... gue rugi gak dapet apa yang gue mau," ucap Harsa.
Jingga mengeluarkan napas panjang. Eskrim di tangannya sudah habis, dan dia berdiri untuk membuang plastik dan stik eskrimnya ke tong sampah. Jingga bertanya, "Kalo gitu apa yang lo mau, selain hadiah taruhan lo dulu?"
Harsa pura-pura berpikir. Keningnya mengernyit, kemudian dua jari jemarinya terangkat pada pipi. Dia menepuk-nepuk pipinya beberapa kali, sebelum membalas, "Cium pipi gue?"
Permintaan Harsa membuat Jingga mengepalkan tangannya. Wajahnya memerah, dengan mata memelotot ke arah Harsa. Jingga berjalan terburu-buru, sembari tersenyum kecut. "Oh... mau dicium? Dicium tangan gue?!"
Harsa langsung menggelengkan kepala, dan Jingga sudah lebih dulu mendaratkan telapak tangannya pada pipi Harsa. Harsa pikir, Jingga akan menamparnya sekuat tenaga, tetapi gadis itu hanya menepuk pipinya pelan. Setelah itu, Jingga mencium punggung tangannya yang ada pada pipi Harsa.
Hanya dalam hitungan detik saja, jantung Harsa langsung bereaksi. Jantungnya berdetak kencang, dengan sudut bibir terangkat ke atas. Dia ingin berkata-kata, tetapi Jingga sudah lebih dulu menurunkan tangannya dan berlari dari hadapan Harsa.
Jingga berlari seperti dikejar harimau. Lalu Harsa yang sekilas melihat wajah Jingga memerah, langsung mengusap-usap pipinya sendiri. Sekarang, Harsa menemukan wajah terbaik Jingga, selain saat Jingga sedang marah dengan wajah memerah. Ternyata, saat Jingga sedang tersipu malu-malu pun, wajah memerahnya membuat jantung Harsa berdetak kencang.
"Awas aja lo Jingga! Kalo gak bisa gue jadiin pacar, gue jadiin lo ibu dari anak-anak gue nanti!" teriak Harsa.
TAMAT
Author's Note:
Akhirnya selesai juga. Terima kasih untuk kamu yang sudah meluangkan waktunya membaca sampai akhir. Mohon maaf, bila ada kata-kata yang menyinggung, ataupun bagian yang tidak seperti ekspektasi kalian.
Seperti yang udah aku sampaikan diawal, buku ini adalah buku project bertema Ada Cinta di Sekolah yang seharusnya di update dua minggu sekali, dan tamat beberapa minggu lalu. Sayangnya, karena ada berbagai macam gangguan, aku gagal konsisten dan baru bisa menamatkan buku ini, tepat di hari ini.
Sekali lagi aku ucapkan terima kasih banyak! Sampai berjumpa di buku-bukuku selanjutnya!💫
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top