𐙚˙⋆.˚19. Jeda Amarah

Jingga sengaja menyembunyikan diri dari Harsa, kemudian mengusir Harsa dengan alasan ingin beristirahat sendiri. Sementara Harsa hanya bisa tertawa kecil, kemudian memenuhi keinginan Jingga dengan keluar dari UKS. Pemuda itu berpamitan pada guru yang berjaga di UKS, dan mendapati Dika bersandar pada dinding luar UKS, sembari menyilangkan tangan di depan dada.

Dika menatap lurus ke halaman UKS, tetapi bibirnya sendiri menyindir, "Cinta pada tendangan pertama."

Bukannya merasa tersindir, Harsa malah bertanya, "Lo kenapa masih ada di sini?"

Dika melirik ke arah Harsa, sembari berkata, " Apa lagi selain manfaatin kesempatan ini buat bolos?"

"Gue pikir, lo nyuruh gue beli obat karena di suruh guru. Tapi ternyata? Selain disuruh guru, lo sengaja beli buat cewek itu?"

"Ck, ternyata tebakan gue bener. Lo akhir-akhir ini sibuk ngelamun, karena mikirin tuh cewek."

Ucapan Dika membuat Harsa mengeluarkan napas panjang. "Mau apa pun yang gue lakuin, asalkan gak ganggu lo, harusnya bukan masalah besar kan?"

Dika mengangguk, dan memasukkan tangannya ke dalam saku. Dia kembali menatap halaman UKS, sebelum memperhatikan salah satu bunga mawar yang mekar di atas pot bunga. "Gue gak keberatan, asalkan cewek itu gak ganggu pertemanan lo sama anggota geng."

"Inget, setelah ujian, kita punya jadwal berantem. Kalo cewek itu ikut campur, gue gak akan diem lagi," peringat Dika.

Tatapan tajam Dika membuat Harsa menjulurkan ponselnya. Tepat di layar ponsel, terdapat sosok gadis berambut pendek, yang berhasil menarik perhatian Dika. Harsa bertanya, "Lo kenal dia? Dia salah satu anggota kewirausahaan yang ditugasin bikin video dokumentasi dagang di acara pameran seni."

Dika langsung mengambil ponsel Harsa, dan mengamati foto gadis dalam layar ponsel Dika. Dika menggelengkan kepala, dan mengungkap, "Gue gak kenal dia, tapi gue pernah liat dia. Namanya kalo gak salah... Kak Jo?"

"Joshena," lanjut Harsa.

Harsa berkata, "Gue butuh mentahan video dokumentasi dagangnya, buat nyari tahu pelaku selain Chandra."

"Ada yang bilang, kalo cewek ini sebenernya terlibat dan minta Chandra ngegantiin posisinya dihukum. Oleh karena itu, dia gak ngasih video mentahannya ke klub dengan alasan kameranya rusak," jelas Harsa.

Dika langsung mengelak,"Dia gak mungkin kayak gitu. Orangnya gak gengsian dan baik kok."

"Dari mana lo tahu?" tanya Harsa.

Dika tersenyum kikuk, lalu berkata, "Gue pernah gak sengaja nabrak dia."

Harsa merotasikan matanya, lalu membalas, "Kalo lo gak kenal dia, yaudah gue nyari orang lain buat minta video mentahannya aja."

Ketika Harsa ingin berjalan, Dika langsung mengadangnya. "Gak perlu. Biar gue aja yang minta sama dia."

Harsa berkata, "Lo kan gak kenal dia? Mana mungkin dia mau ngasih video mentahannya ke sembarang orang."

"Lo kayak yang gak kenal gue aja! Gue yakin, gue pasti bisa bujuk dia!" jelas Dika.

•••

Pulang sekolah, Dika langsung melancarkan aksinya dalam membuntuti Joshena. Padahal Dika paling tak mau berurusan apalagi membantu Jingga. Namun, karena objek pengamatan Harsa adalah Joshena, entah kenapa Dika merasa tertarik untuk mengenal gadis itu lebih jauh.

Meminta video asli rekaman hanya alasan semata. Karena aslinya, Dika ingin mencari tahu tentang Joshena lebih dalam lagi. Pemuda itu membuntuti Joshena ke tempat pemberhentian bis, dengan sepeda motornya.

Setelah Joshena berpisah dengan Hani, diam-diam Dika mengamati Joshena dari bawah hingga atas. Gadis itu membawa kotak kecil, yang tak Dika ketahui isinya apa. Selain itu, sudut bibir gadis itu tak berhenti melengkung ke atas, karena menyapa satu persatu kenalannya yang baru pulang sekolah.

"Bisa-bisanya si Harsa nuduh cewek sebaik ini tukang bohong," gumam Dika.

"Tunggu... Cewek baik?! Sejak kapan gue punya pikiran kayak gini?! Enggak-enggak! Delete! Delete! Ini pasti typo!" gerutu Dika pada otaknya sendiri.

Dika memerlukan beberapa waktu untuk mempersiapkan diri bertemu langsung dengan Joshena. Dia memakai helmnya, dan berdeham beberapa kali untuk mempersiapkan pertanyaan. Setelah siap, Dika langsung menghampiri Joshena dengan sepeda motornya.

Dika berhenti di depan Joshena, sembari melepas helm miliknya. Rambut pemuda itu menari-nari tertiup angin jalan raya, sampai akhirnya Dika menyibaknya dan menyapa Joshena, "Sore, Kak."

Joshena mengernyitkan kening, tak mengenali Dika sedikit pun. Gadis itu membalas sapaan Dika, dengan lambaian sebelah tangannya sembari tersenyum. Oleh karena itu, Dika yang menebak Joshena tak mengenalinya, langsung memperkenalkan diri, "Gue Dika dari kelas 11 IPS 2."

"Sebelumnya... gue nyamperin lo, karena mau minta maaf, setelah ngatain karya seni lo rongsokan sekaligus nabrak lo tanpa tahu itu hasil kerja keras lo."

"Lo masih muda tapi udah kerja keras, demi bisa ngehasilin duit. Sedangkan gue? Ya... gue sekarang emang masih minta ke nyokap gue, sih," ucap Dika.

Sejujurnya Joshena sudah melupakan kejadian tabrakan itu. Namun, karena Dika meminta maaf, akhirnya gadis itu menganggukkan kepala. "Makasih udah minta maaf juga. Lain kali, kita sama-sama lebih berhati-hati lagi. "

Suara lembut Joshena menyapa indera pendengaran Dika. Setiap Joshena tersenyum, dan membalas ucapannya dengan tenang, membuat Dika merasa tidak diabaikan oleh seorang gadis. Entah kenapa, Joshena memiliki sebuah daya tarik magnet, yang membuat Dika ingin terus berdekatan dan mencari topik untuk dibahas bersama Joshena. Bahkan, Dika hampir lupa dengan tugas yang sudah diberikan Harsa.

"Udah sopan, cantik, pekerja kerja, sederhana, murah senyum lagi. Kok ada cewek paket komplit kek gini? Rugi banget kalo gak gue dapetin," gumam Dika, yang langsung ditepis oleh otaknnya.

Dika lalu bertanya pada Joshena, "Lo mau pulang naik angkutan umum?"

Joshena mengganggukkan kepala lalu membalas, "Tadinya mau dijemput, tapi ponsel gue abis baterai. Jadinya naik angkutan umum aja, sekalian berhemat."

Dika bertanya, "Emangnya rumah lo di mana?"

Joshena mengatakan alamat rumahnya, dan Dika langsung membalas, "Rumah kita searah, kalo lo mau, ayo pulang bareng. Anggap aja, ini sebagai ganti rugi."

Joshena menerima tawaran Dika setelah menolak beberapa kali. Gadis itu mengenakan helm yang Dika berikan, sebelum akhirnya naik ke belakang sepeda motor Dika dengan tangan membawa sebuah kotak kecil. Hal ini membuat Dika memperlebar senyumannya. Dika berpikir, selain ramah dan tidak gampang marah, Joshena juga merupakan sosok gadis sederhana yang mudah dia raih.

Sepanjang perjalanan, Dika sengaja membawa pelan sepeda motornya. Pemuda itu bertanya tentang klub kewirausahaan yang Joshena ikuti, termasuk tentang video yang Joshena rekam. Dia meminta melihat video itu untuk dijadikan bahan referensi tugasnya, dan berbeda dari apa yang Dika pikirkan, ternyata Joshena mengizinkannya melihat video asli itu.

"Kamera gue dulu rusak, tapi sekarang udah diperbaiki, kok."

"Terus, video aslinya ada di rumah gue. Kalo mau lihat, tunggu gue masuk ke rumah dan bawa kameranya, ya, " pinta Joshena.

"Serius?" tanya Dika.

"Serius, lagi pula lo udah nganterin gue pulang," kata Joshena.

Dika memperlebar senyumannya. Baginya semua yang terlibat dengan Joshena terlihat mudah digapai. Dika semakin ingin dekat dengan Joshena, tetapi saat Dika berada tepat di depan gerbang rumah Joshena, Dika langsung memundurkan niatnya.

"Dika? Ayo parkirin aja motor lo ke halaman rumah gue," ajak Joshena untuk masuk ke rumahnya.

Dika meneguk ludahnya sendiri. Ketika pintu gerbang berwarna putih di buka oleh seorang satpam, Dika bisa melihat sebuah bangunan besar dengan halaman yang sangat luas. Padahal Dika pikir Joshena berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Gadis itu bahkan berjualan untuk mendapatkan uang. Namun, kenyataannya? Besarnya rumah Joshena bahkan dua kali lipat lebih besar dari rumahnya Dika.

"Lah, kok bisa gini?" tanya Dika merasa takut untuk memenuhi ajakan Joshena. Apalagi setelah Joshena disambut oleh supirnya yang meminta maaf karena terlambat menjemputnya. Hingga akhirnya, Joshena harus menerima tumpangan dari pemuda urakan seperti Dika.

"Gue bawa kameranya dulu, ya!" Joshena masuk ke rumah untuk mengambil kamera miliknya. Sementara itu, seorang wanita paruh baya muncul dari rumah dan menatap Dika dari bawah hingga ke atas. Dari tatapannya, Dika menebak jika wanita itu akan mengusirnya. Namun, dibanding mengusir wanita itu malah mengajak Dika masuk ke rumah, sembari menunggu Joshena.

"Makasih banyak, udah nganterin Joshe. Kalo gak dianterin, pasti anak itu naik angkutan umum yang kotor," kata Ibunya Joshena.

Perlu beberapa menit bagi Dika untuk mendengar wawancara dari ibunya Joshena. Pemuda itu terpaksa menjawab setiap pertanyaan, layaknya sedang mengikuti ujian lisan. Setiap jawaban yang Dika ucapkan, dipikirkan Dika terlebih dahulu. Berbeda lagi, saat dirinya berbicara ceplas ceplos kepada teman-temannya.

"Kamu pasti gak nyangka kan, anak Tante bisa masuk sekolah yang jelek itu? Sebenernya awalnya Joshe daftar ke sekolah favorit, tapi karena nilainya kurang, dia gak bisa masuk."

"Tante udah coba bujuk Joshe, buat sekolah di sana. Lagian kami gak kekurangan soal uang. Tapi Joshe bilang, dia gak tertarik sama sekolah favorit yang udah nolak dia. Dan akhirnya, dia lebih milih sekolah terdekat, yang punya klub kesukaannya," jelas ibunya Joshena.

Meskipun merasa canggung, tetapi mendengar cerita ibunya Joshena, membuat Dika fokus mendengarkan. Pemuda itu sampai tak sadar, ketika Joshena menghampirinya dengan tangan yang memberikan sebuah kamera. "Lo boleh liat videonya."

Dika tersenyum, dan mengambil kamera yang terjulur ke arahnya. Awalnya, Dika fokus mengamati bagian Joshena yang sedang berjualan dengan senyuman ramahnya. Dia tak henti-henti mengarahkan pandangannya dari Joshena, hingga akhirnya Dika menemukan pelaku yang sebenarnya.

"G*la. Gue gak percaya ini."

•••

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top