𐙚˙⋆.˚ 18. Luapan Amarah
Matahari bersinar terang tepat di atas kepala. Sinarnya menambah semangat baru bagi para anggota OSIS yang mendapatkan tugas baru. Mereka masuk ke ruang OSIS ketika bel istirahat sudah berbunyi. Kemudian duduk di tempat masing-masing, sembari menunggu kedatangan Jingga.
Gadis yang berstatus sebagai sekretaris OSIS, memeriksa jam di ponselnya, kemudian mengernyitkan kening. Dia menatap ke arah pintu masuk ruang OSIS, baru kemudian bertanya, "Tumben Jingga ngaret. Padahal biasanya dia paling cepet?"
"Stefan, apa Jingga ngehubungin lo?" tanya Sia pada Stefan yang sudah duduk, sembari mengusap-usap bola basket. Stefan menggelengkan kepala, lalu memeriksa ponselnya sendiri. Dia membalas, "Jingga gak ngehubungin gue."
"Mungkin dia ada urusan mendada---" Belum sempat Stefan mengakhiri tebakannya, sesosok gadis bertubuh kurang tinggi masuk ke ruang OSIS. Sudut bibir Jingga melengkung ke bawah, bersamaan dengan jemari tangannya yang menggenggam erat beberapa kertas.
Namun, setelah Jingga berada di kursinya, Jingga terpaksa menarik sudut bibirnya ke atas. Gadis itu menatap satu persatu anggota. Meskipun hatinya masih kesal ketika menemukan sosok Stefan yang duduk tenang.
Jingga berucap, "Makasih karena udah luangin waktunya buat kumpul di sini, dan maaf gue agak sedikit ngaret. Tadi gue harus nganterin tugas dulu."
"Sans aja, lagian beberapa pelajaran emang udah nyampe bab terakhir. Banyak tugas yang harus dikumpulin," ucap Riki, pemuda yang duduk di samping Stefan.
Jingga kembali menarik sudut bibirnya ke atas. Sejujurnya selain merasa kesal pada Stefan, Jingga merasakan perutnya melilit sejak pagi. Gadis itu mencoba menahan rasa sakitnya, dengan meremas sebuah pena. Baru kemudian duduk di kursinya, sembari berkata, "Seperti yang udah gue sampaikan di pesan grup, hari ini kita akan membahas perlombaan antar kelas setelah ujian diadain."
Sia tersenyum lebar, sembari mengepalkan tangannya. "Kali ini acaranya harus berjalan lancar!"
Riki menganggukkan kepala, lalu membalas, "Setelah UAS, kebanyakan siswa sering gunain waktu nunggu nilai rapot dengan hal-hal yang gak bermanfaat. Ada baiknya kita pakai buat lomba antar kelas, biar semua kelas kompak."
Semangat para anggota untuk mengadakan acara baru, membuat rasa sakit pada perut Jingga tak terlalu dipedulikan Jingga. Kini fokus Jingga adalah menyampaikan hasil pemungutan suara lomba online dari semua siswa di sekolah. "Berdasarkan hasil pemungutan suara, ada beberapa perlombaan yang paling diminati."
"Pertama, lomba nyanyi, kedua lomba nari, ketiga lomba estafet lari."
"Terus, tambahan lombanya ada sepak bola putra, sepak bola putri, lomba basket putra, lomba basket putri," jelas Jingga.
Sia membalas, "Gue jadi pengen ikutan lombanya juga. Apa anggota OSIS boleh ikutan?"
"Ya kagak lah! Kita cuman sepuluh orang aja! Kalo lo ikutan, anggota kita berkurang!" gerutu Riki.
Jingga tersenyum, dan menggelengkan kepala. Dia lalu membalas, "Kalo lo mau ikutan ya ikutan aja."
Riki mengernyitkan kening, dan berkata, "Itu berarti, anggota kita makin sedikit yang ngurus acara ini, dong?"
Jingga menunjukkan ponselnya, lalu berkata, "Sebelum gue ngebahas hal ini sama kalian, gue udah bilang ke Kak Hani."
"Dan bagusnya, selain di acc Kak Hani, Kak Hani juga bilang, anggota MPK bakalan langsung bantuin kita!"
Para anggota mengeluarkan napas lega, setelah mendengar apa yang Jingga katakan. Mereka kemudian membagikan tugas satu sama lain. Lalu pembagian tugas selesai, tepat ketika bel tanda istirahat berakhir.
Ketika satu persatu anggota pamit pergi, Jingga terduduk di depan ruang OSIS. Gadis itu tanpa sadar menyentuh perutnya, sembari menekannya untuk meredakan rasa sakit. Bibir bawahnya dia gigit, keringat membasahi keningnya, dan sialnya lagi suara Stefan terdengar di telinganya.
Stefan berkata, "Kenapa lo diem di sini aja? Apa masih ada urusan?"
Tanpa menatap Stefan, Jingga membenarkan posisi duduknya. Dia lalu berkata, "Bukan urusan lo."
Ucapan Jingga yang ketus membuat Stefan mengernyitkan kening, lalu berkata, "Kalo ada masalah, bilang ke gue. Gue bakalan bantu lo."
Jingga menjawab, "Gue gak butuh bantuan apalagi rasa kasihan dari lo. Hari ini gue baik-baik aja, jadi gak ada topik obrolan buat diaduin ke Kak Hani."
Stefan semakin mengernyitkan kening, lalu berkata, "Ada masalah apa? Dari tadi, lo kayaknya terus ngehindarin gue."
"Gue bilang gue gak papa! Gak usah tanya-tanya kayak detektif, gue males urusan sama orang kayak lo!" gerutu Jingga kemudian memaksakan diri untuk berdiri dari tempat duduknya. Dia berniat pergi UKS, dan tangan Stefan langsung menahan pergelangan tangan Jingga.
"Jingga!" panggil Stefan.
Tarikan pada pergelangan tangan Jingga terasa sangat keras. Jingga tak pernah tahu, jika Stefan bisa menahan tangannya dengan kuat seperti ini. Dia mencoba melepaskan diri, dan Harsa yang sedari tadi hanya memperhatikan, langsung memukul Stefan dengan mata memelotot.
"Dia bilang, dia gak mau deket-deket sama lo! Apa lo tuli, s*alan?!" gerutu Harsa.
Stefan melirik ke kiri dan ke kanan, setelah memastikan tak ada orang yang melihatnya dia langsung membalas satu pukulan Harsa dengan pukulan baru. "Siapa lo?! Dateng-dateng berani mukulin gue? An*jing!" tanya Stefan.
Jingga melirik ke belakang, dan menemukan sosok Harsa dan Stefan yang saling memberikan pukulan satu sama lain. Dia sebelumnya belum pernah melihat Stefan mengumpat, atau bahkan melayangkan pukulannya pada orang lain. Namun, setelah dipancing Harsa, kini Jingga bisa melihat langsung, jika Stefan sama-sama mudah tersulut emosi untuk bertengkar seperti Harsa.
"Jangan berantem!" pinta Jingga.
Jingga ingin melerai, tapi sakit di perutnya tak bisa diajak kerja sama. Dia hampir jatuh, dan Harsa buru-buru mengakhiri pergulatannya, hanya untuk berjongkok di depan Jingga, sekaligus memberi tumpangan. Harsa menawarkan, "Gue anter lo ke UKS."
Dibanding terus mendengar suara Stefan yang membuatnya semakin muak, Jingga memutuskan menerima tawaran Harsa yang seharusnya dia hindari. Gadis itu melingkarkan tangannya pada leher Harsa, sebelum akhirnya diangkat Harsa dalam gendongannya. Harsa berpamitan, "Geludnya gue skip dulu, kita bisa lanjutin setelah gue anter gebetan gue."
Ucapan Harsa terdengar tepat di telinga Jingga, tetapi untuk kali ini Jingga sama sekali tak merasa marah pada Harsa. Perut Jingga masih terasa melilit, dan berada dalam gendongan Harsa membuat Jingga merasa tidak menderita sendirian.
Dari langkah kaki Harsa yang dipercepat, dengan suara deru napasnya, Jingga tahu jika Harsa mencoba secepat mungkin untuk membawanya ke UKS. Sebenarnya kenapa Harsa mau memberi Jingga bantuan, padahal Jingga sering memukulinya? Apa Harsa merasa kasihan, seperti Stefan?
Jingga tak tahu tujuan Harsa untuk membantunya apa. Setelah sampai di UKS, Harsa langsung memanggil guru yang bertugas, sekaligus menjaga jarak dari Jingga. Dia sengaja berdiri di depan pintu, tanpa mendekati Jingga yang sedang diperiksa. Namun, ketika sang guru mengatakan kehabisan obat pereda sakit saat datang bulan, Harsa langsung menghubungi temannya yang kelasnya dekat dengan kantin.
"Beliin obat buat redain sakit datang bulan. Gue gak tahu obatnya kayak apa, tapi nanti duit lo gue ganti," pesan Harsa pada Dika.
Tak perlu waktu lama, bagi Dika datang membawa obat, meskipun dirinya enggan membantu Jingga. Dika memanfaatkan kesempatan ini untuk membolos, dan Harsa masih menjaga jarak dengan Jingga. Bahkan ketika guru sudah memeriksa Jingga. Wanita itu meminta Harsa menemani Jingga, dan Harsa menurut dengan berdiri di depan pintu saja.
Jingga berbaring di tempat tidur UKS, sembari mengusap-usap perutnya. Gadis itu berucap, "Lo bisa pergi. Jangan jadiin gue alesan, supaya lo bisa bolos kelas."
Harsa menjawab, "Materi pelajaran hari ini udah kelar, dan tugas gue juga udah beres. Jadi, gue bebas keluar kelas."
Jingga menarik dan mengeluarkan napas panjang. "Dalam satu bulan, hampir setengahnya lo bolos kelas. Lalu sekarang, setelah kelasnya beres, lo bolos juga."
Harsa tersenyum tipis, dan berucap, "Rupanya diem-diem lo sering perhatiin gue juga. Gue bahkan gak tahu, dalam sebulan gue bolos berapa kali."
"Selain perhatian, lo bahkan menuhin ucapan gue buat jauhin Stefan," ucap Harsa percaya diri.
Jingga tersenyum kecut, lalu membalas, "Gue ngejauhin dia bukan karena lo, tapi karena gue udah tahu sifatnya yang sebenernya kayak apa. Ternyata dia mandang gue dengan sebelah mata. Dia nganggep remeh kemampuan gue."
"Lalu lo? Apa lo juga sama kayak dia?" tanya Jingga.
Harsa membalas, "Setiap orang punya kelemahan dan kelebihan masing-masing. Tapi dibanding merhatiin kelemahan lo, gue lebih suka merhatiin kelebihan lo."
Jingga berkata, "Gue gak percaya. Lagian kebanyakan orang lebih seneng lihat kekurangan gue dibanding kelebihan yang gue punya. Gue pendek, gue gak pinter ngomong, gue sering emosian, gue tukang ngadu, dan gue---"
"Gue suka sama lo. Mau lebih atau kurang, gue suka sama lo, " balas Harsa.
Ucapan Harsa yang dulunya terdengar main-main, kini membuat pipi Jingga memanas tanpa sebab. Jingga merasakan jantungnya berdetak kencang, padahal Harsa mengungkapkan perasaannya berjarak dari Jingga. Namun, Jingga merasakan ucapan Harsa terbang oleh angin, dan sampai tepat di telinganya hanya dalam hitungan detik saja.
Jingga menyentuh dadanya, kemudian meminta pada dirinya sendiri, "Jangan kayak gini. Gue gak boleh baper. Gue gak boleh baper. Jangan dimasukin ke hati."
Jingga memberanikan diri melihat ke arah Harsa, yang masih berdiri di depan ruang UKS dengan senyuman lebar. Setelah itu, dia bertanya, "Kenapa lo bisa suka sama gue? Apa ada alasan yang masuk akal?"
"Gue juga gak tahu. Tiba-tiba gue suka gitu aja. Mungkin... setelah lo tendang?" tanya Harsa ikut bingung.
"Gak masuk akal," balas Jingga kemudian menarik selimut dan menyembunyikan dirinya di balik selimut.
•••
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top