𐙚˙⋆.˚ 17. Redam Amarah

"Lo bisa marahin gue, Kak. Gue yang salah," kata Chandra sembari meremas seragam sekolahnya.

Jingga menarik dan mengeluarkan napas panjang. Dia melihat ke arah Harsa yang tampak santai mengamati Chandra dengan senyuman tipis. Hal itu membuat Jingga kembali menatap Chandra dengan tatapan penuh selidik. Dia bertanya, "Gue harus tahu dulu, gimana kejadiannya?"

Chandra masih menundukkan kepala, dengan jemari bergetar hebat. Pemuda itu meneguk ludahnya sendiri, lalu berucap, "Gue... gue... gue gak sengaja kesandung... kabel di ruang seni. Badan... badan... badan... gue terhuyung ke depan, dan jatuh nimpa lukisan."

"Buat apa lo ke ruang seni?" tanya Jingga.

Chandra masih tergagap, "Gue awalnya mau... mau... mau... itu... mau... mau minjem gitar di ruang seni! Tapi, bukannya minjem malah ngerusak."

Semakin Chandra berkata-kata, semakin Jingga mengendus bau rahasia yang ditutupi Chandra. Gadis itu menyipitkan mata, dan bertanya, "Gimana lo bisa ngerapihin semuanya dalam waktu singkat?"

Chandra meremas tangannya, dengan bibir terbungkam rapat. Otaknya terus berpikir, sampai dia menemukan jawabannya. "Ada... ada... ada temen gue yang bantuin. Tapi, karena gue gak mau dia terlibat dalam masalah ini, jadi... hukum gue aja. Jangan libatin temen gue. Gue mohon, Kak."

Permintaan Chandra malah membuat Harsa tertawa. Pemuda itu mendekat ke arah Chandra lalu berbisik, "Di salah satu karya seni, gue nemu bekas tonjokan. Yakin, lo gak sengaja ngelakuinnya?"

Chandra langsung menjawab, "Mau rusak kayak gimana pun, kenyataan bendanya rusak gak bisa terbantahkan lagi! Jadi, kalo mau ngehukum gue, ya hukum aja! Lagian gue udah ngaku salah! Dan habis ini, gue... gue... gue bakalan ngaku juga ke Bu Citra."

Setelah mengatakan hal itu, Harsa bermaksud untuk menakut-nakuti Chandra dengan senyuman lebar. Namun, Jingga yang melihat Harsa memanfaatkan kesempatan ini untuk menjaili Chandra, langsung menatap tajam ke arah Harsa. Gadis itu berkata, "Ya udah. Karena lo udah ngaku, dan mau tanggung jawab. Berarti masalah ini gak perlu diperpanjang lagi."

Chandra mengangguk, dan berpamitan untuk pergi meninggalkan Harsa dan Jingga. Pemuda itu membiarkan Harsa menatapnya dengan senyuman lebar, berbeda lagi dengan Jingga yang menurunkan sudut bibirnya. Harsa bertanya, "Apaan ini? Gue kira setelah lo nemu pelakunya lo bakalan marah-marah. Tapi ternyata, lo masih tenang kayak gini?"

Jingga menjawab, "Entahlah. Tapi ngeliat ekspresi ketakutan dan keberanian dia buat ngakuin kesalahannya, agak sedikit aneh buat gue."

"Lo percaya dia pelakunya?" tanya Harsa.

"Setengah percaya, dan setengah gak percaya juga. Biasanya kalo dia ngelakuin kesalahan, dia langsung minta maaf dan nyari bantuan tanpa berniat nutup-nutupin," jelas Jingga.

Harsa berdecak, sembari menyilangkan tangan di depan dada. Dia menyindir, "Kayaknya lo tahu banyak tentang dia."

Jingga tersenyum, dan menatap ke arah Harsa, "Iya! Karena lo ngebuli dia, gue jadi nyari tahu dan tahu asal usulnya."

Ucapan Jingga langsung membuat Harsa membungkam rapat mulutnya. Setelah itu keduanya saling bertatapan tanpa adanya kata. Mereka berbicara lewat mata, sampai Jingga sadar dalam lamunannya. Dia baru ingat, jika dirinya tidak boleh berdekatan dengan Harsa lebih jauh lagi.

Langsung saja, Jingga memutar tubuhnya membelakangi Harsa, lalu berjalan pulang tanpa berpamitan. Hal itu membuat sudut bibir Harsa melengkung ke bawah, dengan tangan menggenggam tas berisi jaket miliknya. "Beneran gak ada harapan lagi, ya?"

•••

Chandra betul-betul menepati janjinya untuk mengakui kesalahannya pada Bu Citra. Pemuda itu juga mendatangi satu persatu siswa yang karya seninya rusak untuk meminta maaf, dan menawari ganti rugi. Sebagian besar dari mereka sudah tidak peduli, dan melupakan kejadian yang terjadi. Namun, beberapa lagi memanfaatkan hal ini untuk meminta uang dari Chandra.

Sesuai ucapan Chandra, Chandra tak segan-segan mengganti uang tanpa banyak berdebat. Lalu, setelah semua usaha Chandra mengganti kerusakan yang ada, dia akhirnya berpamitan pindah sekolah kepada Jingga.

Jingga awalnya merasa bingung dengan kedatangan Chandra ke ruang OSIS pada saat jam istirahat. Namun, pemuda yang akan pindah itu, datang dengan senyuman tipis, walaupun dia masih belum bisa menatap langsung ke arah Jingga.

"Kenapa lo pindah sekolah? Apa ada orang yang gangguin lo?" tanya Jingga.

Chandra segera menggelengkan kepala. Dia menjulurkan sebuah sapu tangan pada Jingga sembari berucap, "Papa bilang, kerjaannya dipindah tugasin. Dan itu berarti, gue harus pindah sekolah juga."

Jingga tak bersuara beberapa detik. Dia tahu, pria yang disebutkan Chandra adalah ayah kandung Harsa. "Apa Harsa udah tahu hal ini?"

Chandra kembali menggelengkan kepala. "Mau gue beri tahu hari ini."

"Gue harap, kalian bisa akur," pinta Jingga.

Chandra memberanikan diri mengangkat wajah, dan berkata, "Gue juga berharap gitu."

"Terus..."

"Makasih karena selalu bantuin gue tanpa diminta. Kalo gak ada Kakak, gue pasti habis dipukulin geng Harimau. Selama ini, bantuan-bantuan dari Kakak selalu dianggap berkah sama gue."

"Kakak pantes kok, jadi Ketos. Jadi, jangan... jangan... rendah diri."

"Walaupun beberapa orang gak suka Kakak jadi Ketos, tapi... ada gue yang selalu bersyukur punya penolong kayak lo," ucap Chandra.

Setelah itu, Chandra berpamitan pergi, meninggalkan Jingga yang tersenyum tipis. Jingga tak pernah tahu, jika bantuannya untuk Chandra, bisa begitu berarti bagi pemuda itu. Namun, di balik rasa terima kasih Chandra, dan pertanggung jawabannya, Jingga masih merasa ada yang mengganjal dari semua ini.

"Kayaknya Chandra seneng bisa pindah dari sekolah ini. Apa dia gak suka, satu sekolah sama Harsa, atau... ada perundung lain, yang belum gue ketahui siapa orangnya?" gumam Jingga heran.

•••

Pengakuan Chandra membuka pintu baru bagi Jingga dan anggota OSIS lainnya belajar dari kesalahan mereka. Mereka akhirnya dipercayai lagi untuk mengurus acara sekolah setelah ujian berlangsung. Hal ini, dimanfaatkan Jingga untuk membuktikan keseriusan anggota OSIS dalam memenuhi tugasnya.

Kali ini, Jingga tak merencanakan semuanya sendiri. Dia mendapatkan bantuan dari para anggota OSIS yang berniat untuk memperbaiki diri satu sama lain. Semua dukungan dan rencana bersama membuat tugas Jingga meringan, bersamaan dengan hati Jingga yang menenang.

Semua perubahan ini, diawali dari Stefan yang terus mendukungnya menjadi ketua, meskipun banyak orang yang mencaci maki Jingga. Namun, ketika Jingga sedang mencari Stefan untuk mengatakan rencana baru bersama anggota OSIS lainnya, Jingga malah menemukan Stefan duduk di taman bersama Hani.

Jingga tak tahu, sejak kapan kedua orang itu dekat, dan mengobrol santai satu sama lain, layaknya sepasang kekasih. Namun, ketika Jingga menatap wajah Stefan yang dihiasi lesung pipi, membuat Jingga sadar ada yang berbeda dari tatapan Stefan pada Hani.

Hani sibuk mengusap-usap matanya sendiri. Dia menggerutu berulang kali, lalu Stefan tak bosan-bosan menatap wajahnya, dengan sudut bibir melengkung ke atas. Hani mengomel, "Mata gue kemasukan debu, gara-gara lo ajak ngobrol di sini."

Tanpa izin, Stefan menyentuh tangan Hani. Dia berkata, "Jangan diusap kayak gitu, biar gue tiupin."

Hani langsung menghempaskan tangan Stefan, dia memperingati, "Gue gak butuh bantuan dari cowok caper, yang seneng cari perhatian ke semua cewek."

Stefan mengernyitkan kening, lalu mengelak, "Gue gak caper."

Hani menjawab, "Gak caper apanya? Minggu lalu lo sok jadi pahlawan si Jingga! Di depan semua orang, lo belain dia tanpa ngebela gue sedikit pun!"

"Selain itu, lo juga sering banget pura-pura bantuin cewek-cewek biar disukain dan jadi terkenal di kalangan mereka 'kan?" tebak Hani.

Stefan tertawa mendengar tebakan Hani. Dia membalas, "Gue belain dia karena kasihan."

Hani membuka kelopak matanya, lalu bertanya, "Kenapa kasihan? Kalo salah ya salah aja!"

"Dia terlalu berharap tinggi, tanpa sadar sama kemampuannya sendiri. Gue harap dia bisa belajar dengan kesempatan kedua ini, supaya gak ngeberatin tugas lo ngawas dia," balas Stefan.

Hani masih merasa kesal. Lalu Stefan melanjut, "Tapi, meskipun gue belain dia saat rapat, tapi... prioritas di hati gue tetep lo yang utama."

"Bacot," balas Hani sembari mendorong tubuh Stefan menjauh darinya.

"Gue serius, Han," balas Stefan.

Hani berdiri dari kursinya, kemudian mengikat rambut panjangnya ke belakang. Dia berkata, "Jangan modusin gue, kata-kata murahan kayak gitu gak mempan buat gue."

"Setelah tahu pelaku perusak karya seni, gue masih ngerasa kesel. Jadi, jangan buat gue makin kesel, ngedenger ucapan lo," peringat Hani kemudian berjalan meninggalkan Stefan begitu saja.

Percakapan Stefan dan Hani menyentil hati Jingga. Padahal, Jingga pikir Stefan percaya pada kemampuannya. Oleh karena itu, pemuda itu membela dan mendorongnya untuk berkembang. Namun, ternyata? Stefan hanya merasa kasihan, pada Jingga yang dikucilkan.

Jingga mengepalkan kedua tangannya. Meskipun hatinya terbakar rasa kesal, tetapi amarah ini membuat Jingga ingin semakin membuktikan dirinya tak pantas dikasihani. Jingga yakin, dia bisa terus berkembang lebih baik lagi.

•••

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top