𐙚˙⋆.˚ 15. Memiliki Amarah
Setelah mengatakan ketidaksukaan sang ibu pada Harsa, bukannya merasa tenang Jingga malah merasa gelisah. Entah kenapa, sebagian dari dirinya tidak setuju dengan ucapan sang ibu. Jingga tahu, Harsa adalah pembuat onar nomor satu yang senang mengganggunya. Namun, di balik itu semua Harsa juga beberapa kali membantu Jingga untuk memperbaiki kesalahannya.
"Kok gue jadi merasa bersalah, ya?" tanya Jingga heran.
Jingga kembali bersekolah sembari membawa jaket Harsa yang sudah dia cuci. Pada pagi hari, Jingga menjalankan razia OSIS yang sudah lama tak terlaksana. Meskipun banyak siswa yang kaget dengan razia mendadak, tetapi para anggota sudah mendapatkan izin dari guru untuk menyita alat-alat yang seharusnya tidak dibawa ke sekolah.
Hanya ada sepuluh anggota OSIS yang bekerja, tetapi kegiatan mereka berjalan lancar. Jingga sadar, jika anggota tersisa benar-benar bekerja dengan baik. Mereka bisa bekerja sama dan memenuhi aturan untuk menciptakan sekolah yang lebih baik. Meskipun mereka sempat berseteru dengan mantan anggota OSIS yang diam-diam membawa rok*k ke sekolah.
"Untung para pembuat onar udah keluar, jadinya dia gak tahu kapan mau razia, dan gak bawa-bawa nama OSIS di setiap kelakuan jeleknya," ucap salah satu anggota OSIS.
Jingga mengangguk setuju. Rupanya ada baiknya jika anggota yang tak bersungguh-sungguh dikeluarkan saja dari organisasi mereka. Gadis itu diam-diam tersenyum tipis, sembari membungkus jaket milik Harsa ke dalam tas kecil.
"Loh? Apa jaket geng harimau juga kena razia?" tanya salah satu anggota.
Jingga menggelengkan kepala. "Selagi, jaketnya gak dipakai buat gaya-gayaan di saat jam pelajaran, jaket ini masih aman dari razia."
"Gue sebenernya mau ngembaliin jaket ini. Jadi, gue nitip barang-barang razia ini dulu," pamit Jingga, kemudian keluar dari ruang OSIS.
Jingga berjalan menelusuri koridor sekolah dengan tangan membawa tas kecil berisi jaket Harsa. Setelah melakukan razia, Jingga tak kunjung menemukan keberadaan Harsa. Padahal, teman sekelas Harsa mengatakan jika Harsa masuk sekolah hari ini. Jingga menebak, jika Harsa kembali berkumpul di markasnya bersama teman-temannya.
Namun, bukannya nenemukan Harsa, Jingga malah melihat Chandra membawa kotak kardus besar, dengan wajah yang dipenuhi bekas luka. Entah siapa yang menyuruh Chandra membawa kotak, di saat tubuhnya sendiri dipenuhi bekas luka. Akan tetapi, Jingga telanjur penasaran.
Jingga memanggil nama Chandra. Lalu Chandra tersentak kaget, dengan tangan bergetar hebat. Pemuda itu sengaja menyembunyikan wajahnya di balik kotak kardus, sebelum Jingga bertanya, "Lo udah punya bekas luka baru lagi? Apa ada orang yang maksa lo ngangkut kotak kardus ini?"
Belum sempat Chandra menjawab, seorang gadis di belakang Chandra membalas pertanyaan Jingga, "Gak ada yang maksa Chandra buat bantuin gue, ngangkut kotak kardus ini. Chandra ngajuin diri buat bantuin gue. Ya 'kan Chandra?"
Chandra mengangguk, dan Jingga melirik ke belakang. Dia menemukan Joshena di belakang Chandra, dengan tangan yang juga membawa kotak kardus.. Gadis itu menyapa Jingga dengan senyuman manis, yang membuat Jingga ikut tersenyum. Meskipun sebenarnya, Jingga sendiri tahu jika Joshena adalah mata-mata nomor satu Hani.
"Kak Joshena?" panggil Jingga.
Joshena berjalan ke arah Jingga. Dia lalu melirik ke arah Chandra, dan mengungkap, "Chandra bilang... tadi pagi dia gak sengaja jatuh kesandung batu, di jalanan yang kerikilnya tajem. Tapi, udah gue bantu obatin, kok."
"Makanya, Chandra mau balas budi dengan bantuin gue," lanjut Joshena.
Jingga mencoba mengerti. Gadis itu berniat bertanya pada Chandra, tetapi Chandra sudah lebih dulu meminta izin untuk pergi, "Ngobrolnya nanti aja, Kak. Sekarang, gue mau ngangkut kotak ini ke ruang seni."
Setelah itu, Chandra pergi, dan Jingga jelas tahu jika Chandra sebenarnya mencoba untuk menyembunyikan sesuatu. Gadis itu mengeluarkan napas panjang, dan Joshena tiba-tiba berkata, "Oh, ya. Maaf, kalo ucapan Hani beberapa hari lalu, nyinggung perasaan lo."
Jingga menggelengkan kepala, dan membalas, "Gak juga, Kak. Lagian ini konsekuensi dari perbuatan gue."
Joshena menyentuh bahu Jingga, dan memberitahu, "Gue tahu usaha yang lo lakuin gak main-main. Lalu Hani marahin lo, karena karya seni yang dia buat ikut ancur aja."
"Dia jadiin lo pelampiasan rasa keselnya. Tapi... nanti juga dia bakal ngelupain hal ini. Jadi, gak perlu diambil hati," kata Joshena.
"Oke," balas Jingga.
Joshena kemudian berpamitan, "Kalo gitu, gue duluan, ya. Ada banyak kerajinan yang harus gue taruh di ruang seni. Niatnya sih, bulan depan mau dijual, pas ada acara di sekolah lagi. Jadi, kalo ada kabar terbaru acara di sekolah, jangan lupa info-info ke gue."
Jingga mengangguk, dan matanya melirik ke arah kerajinan tangan yang sudah dibuat Joshena, salah satu nggota klub Kewirausahaan. Diam-diam Jingga mengernyitkan kening, melihat luka-luka yang berada di punggung tangan Joshena. Sebelum akhirnya, Joshena pergi meninggalkannya dengan senyuman lebar.
"Kak Joshena gak pernah absen bikin kerajinan, meskipun tangannya sampai luka."
"Padahal dia sibuk jualan kerajinannya, tapi masih bisa tahu semua keadaan sekolah, buat diinfoin ke Kak Hani. Ada ya, orang kayak gitu?" tanya Jingga heran.
•••
Harsa duduk di sebuah kursi yang berada pada markas gengnya. Raga pemuda itu berada di tempat dia duduk, tetapi pikirannya jauh memikirkan penolakan Jingga. Dia mengunyah kue milik Jingga, tanpa mempedulikan para anggota lain. Mereka dari tadi meminta kue di kotak yang dipegang Harsa, tetapi Harsa masih fokus mengunyah kuenya sendiri.
"Biasanya lo gak pelit soal makanan. Kasih kami dikit, kek. Toh, kue lo masih banyak," saran Dika.
Harsa tak menjawab, tetapi dia fokus mengunyah kue miliknya. Bahkan, saat salah satu jari tangan anggota terarah ke kotak kue dipegangan Harsa, Harsa sudah lebih dulu mengangkat kotaknya tinggi-tinggi. Tanda enggan berbagi.
"Aneh banget lo akhir-akhir ini," ucap Dika.
"Sering bolos pertemuan, ngelamun, nyari-nyari info gak penting dan bahkan pelit berbagi," sindir Dika.
Dika menyipitkan matanya ke arah Harsa. Pemuda itu tiba-tiba menebak, "Jangan bilang, kalo lo sebenernya lagi PDKT-an sama si Angry birds oren!"
"Angry birds oren? Siapa?" tanya salah satu anggota.
"Siapa lagi kalo bukan si Ketos Bocil!" ungkap Dika.
"Ah, pantesan aja si Boss nyari-nyari informasi tentang pelaku perusakan karya seni. Rupanya lagi belain gebetannya," balas anggota di samping Dika.
Dika berdecak, kemudian menyilangkan tangan di depan dada. Pemuda itu menatap tajam ke arah Harsa sembari memberitahu, "Apa lo kena pelet? Gak mungkin juga, lo suka sama cewek tukang ngatur kek dia 'kan? Dia jauh dari tipe cewek ideal anggota kita!"
Ucapan Dika tak digubris Harsa yang telanjur patah hati. Harsa akhirnya berdiri dari kursi, sembari membawa kunci sepeda kotornya. Pemuda itu membuat Dika mengurut keningnya sendiri. Dika berucap pada anggota tersisa, "Cewek itu cuman bisa bikin masalah."
"Di mata mereka kita selalu salah."
"Udah cerewet, hobinya marah-marah."
"Pokoknya ribet banget urusan sama makhluk kayak mereka. Mendingan jomlo aja. Lagian gak ada untungnya ngebahagiain cewek yang belum tentu jadi ibu dari anak-anak gue."
Para anggota setuju dengan perkataan Dika. Mereka akhirnya kembali fokus memainkan game online di ponselnya. Sementara itu, Dika berdiri dari duduknya dan memutuskan untuk membuntuti Harsa. Niatnya adalah menasehati Harsa supaya tidak jatuh cinta. Akan tetapi ketika dirinya keluar dari markas, Dika malah tak sengaja bertabrakan dengan gadis yang membawa sekotak kerajinan tangan.
Kotak itu terjatuh, mengeluarkan isi kerajinan tangan, yang salah satunya menimpa kaki Dika. Dika yang sedang kesal, semakin kesal. Pemuda itu langsung menggerutu, melihat sebuah kotak pensil ada di atas sepatunya. "B*ngsat! Kalo mau bawa sekotak gede rongsokan kayak gini, perhatiin sekitar juga Beg*! Jalan pake mata, bukan pake deng---"
Tepat di depan mata Dika, Dika menemukan sesosok gadis berambut sebahu yang berjongkok dan mengambil kotak pensil yang menimpa kaki Dika. Gadis itu langsung memasukkan kerajinannya ke dalam kotak kardus, kemudian mengusap-usap sepatu Dika sembari meniupinya.
Saat dia mendongakkan wajahnya dengan kening mengernyit, Dika bisa melihat penampakan seorang gadis bermata cantik, yang tak gengsi mengucapkan permintaan maaf lebih dulu. "Sorry. Apa kaki lo sakit banget? Bel masuk kelas udah bunyi, jadi gue buru-buru bawa kotak kardusnya," ucap Joshena.
•••
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top