𐙚˙⋆.˚ 12. Tanpa Amarah

Jingga ditantang untuk menyatukan anggota OSIS hanya dalam satu minggu. Hal ini menjadi beban baru di bahu Jingga. Sampai akhirnya terbesit niat di otak Jingga untuk melarikan diri dari tugasnya sebagai Ketua OSIS. Jingga ingin menyerahkan status yang tak dia sukai, meskipun tahu akhirnya akan seperti apa.

"Gue ikut organisasi supaya dapat pengalaman baru. Tapi... kalo kayak gini terus, mendingan ngundurin aja." Jingga mengepalkan tangannya, kemudian mengacungkan kepalan tangannya ke atas. Sejak kecil, dia senang melihat pertandingan bela diri yang ditonton sang ayah. Entah karena turunan, atau karena faktor asuhan, tetapi Jingga diam-diam suka mempelajari ilmu bela diri. Dia senang menggunakan tubuhnya untuk melawan, dibanding berdebat dengan menggunakan mulut.

Ketika Jingga ingin pulang dan melewati gerbang sekolah, dia menemukan Harsa bersandar di depan gerbang sekolah. Pemuda itu masih mengenakan seragam sekolah, tetapi seragamnya sengaja dia keluarkan dari celana, dengan tangan bersilang di depan dada.

"Ketos Bocil," panggil Harsa.

Kali ini, Jingga memutuskan untuk mengabaikan penampilan dan bahkan panggilan Harsa. Dia menulikan indera pendengarannya, dengan tatapan kosong pada jalanan. Hal ini jelas memancing Harsa untuk mengikuti Jingga, dan kembali memanggil, "Jingga!"

"Jingga! Lo pura-pura gak denger? Atau budeg beneran?" tanya Harsa.

Jingga masih tak mempedulikan panggilan Harsa. Lalu Harsa tak menyerah begitu saja. Dia menarik sedikit rambut Jingga ke belakang, sampai Jingga akhirnya berbalik dengan tatapan sinis.

Awalnya Harsa pikir Jingga akan memberinya hadiah berupa pukulan. Namun, kali ini Jingga berbalik dan bahkan berlari dari hadapan Harsa. Sementara Harsa hanya bisa mengernyitkan kening. "Tumben gak marah-marah? Apa dia lagi dateng bulan?" tanya Harsa.

Harsa berteriak, "Yakin, lo mau kabur gitu aja? Sementara gue sekarang udah nemu pelakunya!"

Sejujurnya ucapan Harsa memancing rasa ingin tahu Jingga. Namun, ucapan sang ibu terngiang-ngiang di kepalanya. Apalagi dengan masalah yang saat ini ada di kepalanya. Mau tak mau, Jingga memutuskan untuk mengabaikan Harsa, tanpa berniat mencari tahu lagi.

"Jingga!" panggil Harsa.

"Jingga! Kalo lo masih kabur, gue kutuk lo jadi jodoh gue!" ancam Harsa, tetapi Jingga benar-benar tak kembali pada hadapannya lagi.

•••

Sepanjang jalan menuju rumah, tatapan Jingga kosong. Begitu pula saat Jingga masuk ke rumah, dan duduk di sofa ruang tamu. Gadis itu tak banyak bicara, dan melempar tasnya asal ke sofa. Sementara itu, matanya menatap jarum jam pendek yang menunjuk pukul enam sore.

Jingga mengeluarkan napas panjang, sebelum akhirnya mengurut keningnya sendiri. Entah kenapa, Jingga merasa dirinya tak memiliki semangat untuk membuktikan diri. Apalagi ketika mengetahui anggota OSIS rata-rata tak memihak kepadanya.

Rasa kecewa melingkupi hati Jingga. Kenyataannya, apa yang dia harapkan sebelum pemilihan ketua OSIS, tak berjalan sesuai harapannya. Padahal dulu dia berpikir, sikap tegasnya mampu menjadikan OSIS sebagai organisasi yang benar-benar menjalankan kewajibannya dengan benar. Namun, kenyataannya? Harapan Jingga hanya sebatas rencana yang tak terwujud.

"Kenapa kening lo kerut-kerutan kayak gitu? Lo kayak ibu-ibu yang punya banyak beban, ngurus kerjaan rumah dan kerjaan kantor sekaligus," canda Angga yang memutuskan duduk di samping Jingga.

Tak butuh waktu lama, bagi Jingga bergeser menjauh dari Angga. Gadis itu berniat berdiri dari tempat duduknya, sembari mengambil tas miliknya. Namun, ketika Jingga akan mengambilnya, Angga sudah lebih dulu menahan tas Jingga supaya tetap berada di sofa.

"Lepasin tas gue," peringat Jingga.

Angga membalas, "Gak akan gue lepas, sebelum lo cerita masalah lo saat ini."

Jingga berdecak, dan menarik sebelah sudut bibirnya ke atas. Gadis itu memilih untuk berbalik tanpa membawa tasnya. Dia memperingati, "Percuma cerita, kalo ujung-ujungnya lo bakal banding-bandingin OSIS zaman lo, sama OSIS zaman gue sekarang."

Angga tertawa kecil mendengar ucapan Jingga. Dia masih setia menahan tas Jingga di sampingnya, sembari menyangga salah satu pipi dengan tangannya. Angga membalas, "Gue gak bermaksud ngebandingin zaman kita. Gue cuman mau berbagi cerita tentang pengalaman buruk gue pas lagi jadi OSIS. Termasuk runtuhnya panggung sekolah, sebelum acara pentas drama dimulai."

Kali ini, kaki Jingga berhenti melangkah. Perkataan Angga memancing Jingga untuk berbalik, dengan kening mengernyit. "Kenapa bisa runtuh segala?"

Angga menepuk-nepuk sofa di sampingnya. Hingga Jingga akhirnya memutuskan duduk, meskipun menjaga jarak dari Angga. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain, tetapi telinganya mendengar ucapan Angga.

"Dulu, anggota OSIS sekolah rata-rata siswa mageran. Kalo pun rajin, itu berarti mereka lagi ada maunya," ucap Angga.

Angga melirik ke arah Jingga, sementara Jingga masih fokus menatap jendela. Setelahnya sudut bibir Angga terangkat ke atas, sembari melanjut, "Beberapa dari mereka, rajin cuman buat pamer, caper sama doinya, dapet dispen di mata pelajaran guru killer, dan karena ini mereka bener-bener ngerjain tugas yang gue bagiin betul-betul."

Jingga menurunkan sudut bibirnya, dan Angga melanjut, "Tapi, walaupun kami udah berusaha keras buat pamer,, ternyata panggung buat pentas drama, malah ambruk."

"Ini karena panggungnya pakai kayu yang udah lama, dan kami bikinnya asal-asalan tanpa perhitungan. Lalu parahnya lagi, panggung itu ambruk, pas ada gebetan gue," jelas Angga.

"Bukannya bikin terkesan, yang ada gue malah bikin malu. Ini mungkin balasan, karena kami ngejalanin tugas karena ada maksud terselubung doang," lanjut Angga, kemudian tertawa kecil membayangkan ekpresinya dulu.

Jingga mengernyitkan kening, dia bertanya, "Ada korban?"

Angga menggelengkan kepala. "Korban sih gak ada, tapi malunya itu yang bikin gue merinding sampai saat ini."

Jingga menyilangkan tangan di depan dada. " Mau panggung buatan lo ambruk, atau lo nyusruk ke selokan, tetep aja... lo masih jadi kebanggaan mama. Karena lo mirip mama pas waktu muda."

Angga berucap, "Lo juga jadi kebanggaan Mama, jadi jangan terus merendah dan banding-bandingin diri lo sama gue."

Ucapan Angga malah membuat Jingga tersenyum kecut. Jingga membalas, " Kebanggaan apanya? Mama tetep aja, selalu ngebanggain lo. Mau sebagus apa pun usaha yang udah gue lakuin. Tiap hari gue dicap sebagai adiknya Angga yang belum bisa ngelampauin lo."

Angga tersenyum, lalu menunjukkan sebuah foto di mana Jingga mendapatkan piala juara kebersihan kelas saat kelas sepuluh. Angga berkata, "Gue masih kalah kalo soal kebersihan, taat aturan, dan nonjok orang."

"Saat lo dapet ini, Mama ikut seneng. Dia sampai beli sapu dan ember baru, buat lo," kata Angga.

Jingga menyipitkan matanya, dan menduga, " Lo sebenernya lagi ngejek gue 'kan?"

Angga menggelengkan kepala, dia membalas, "Enggak, Jingga. Intinya setiap orang punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Lo gak perlu selalu hidup dalam bayangan gue, cukup jadi diri lo sendiri dan jangan ngelanggar larangan Mama."

Ucapan Angga membuat Jingga menyandarkan tubuhnya di sofa. Gadis itu menutup kelopak matanya, dan berkata, "Percuma jadi diri sendiri, kalo diri gue gak bisa ngerangkul anggota OSIS baik-baik kayak lo. Gue gak pinter ngebujuk pake kata-kata manis, yang gue bisa cuman nonjok dan marah-marah."

"Terus lo mau nyerah kayak gini?" tanya Angga.

Jingga mengepalkan tangannya. "Ya terus? Gue mau gimana lagi? Anggota OSIS gak nurut sama gue, dan gue males buat dipermaluin lebih jauh."

"Terkadang gak semua rencana yang kita buat bisa berhasil, tapi Jingga gak ada salahnya kan kalo lo buat rencana lain?" tanya Angga.

"Rencana kayak gimana?" tanya Jingga tak peduli.

"Pake kata kunci ajaib," kata Angga.

"Apa kata kunci ajaibnya?" tanya Jingga heran.

••• 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top