𐙚˙⋆.˚ 10. Memancing Amarah

Bu Citra bilang, Jingga harus menjauhi pemuda nakal yang berpotensi menjadi sosok seperti ayahnya Jingga. Bu Citra juga mengatakan jika pemuda nakal, hanya bisa menebarkan ucapan manis tanpa menepati janjinya. Lalu sekarang? Jingga membutuhkan bantuan cepat Harsa dalam menemukan petunjuk. Tanpa mempedulikan status Harsa.

Jingga membaca pesan dari Harsa, "Di Dalam kotak kardus ada bau bunga melati, sama cap klub Pecinta Alam. Kayaknya kotak itu berasal dari ruang klub PA. "

"Ruangannya biasa dikunci. Kemungkinan besar, yang bisa buka ruangan itu cuman salah satu anggota klub PA."

Satu persatu petunjuk berada dalam genggaman tangan Jingga. Jingga mengepalkan tangannya, sembari menajamkan matanya. "Berarti gue tinggal nyari tahu, siapa orang yang pegang kunci di hari pameran diadain."

•••

Keesokan harinya, Jingga memanfaatkan waktu istirahat untuk pergi ke ruangan klub PA. Tepat ketika bel berbunyi, gadis itu langsung merapikan buku-buku di atas mejanya, ke dalam laci kecil di mejanya. Tingkah Jingga yang terburu-buru disadari oleh teman sebangkunya. Elsa mengernyitkan kening, lalu bertanya, "Lo mau ke mana? Apa sekarang ada rapat OSIS?"

Jingga menutup lacinya, kemudian melirik ke arah Elsa. Dia mengungkap, "Gue mau pergi ke ruang klub PA."

"Mau ngapain? Apa di ruangan klub itu ada Kak Arjun? Kalo ada, gue mau ikut juga," balas Elsa sembari tersenyum malu-malu.

Jingga menjawab, "Mau nyari tahu pelaku kerusakan karya seni."

Elsa menarik dan mengeluarkan napas panjang. Dia berkata, "Padahal gue mau ngajakin lo makan bareng. Tapi ternyata, lo masih sibuk nyari tahu pelakunya. Lo pasti lagi sibuk-sibuknya, ya? Gue kira, masalah itu udah kelar dari dulu."

Sudut bibir Jingga melengkung ke bawah. "Gue udah minta maaf, tapi gue masih pengen tahu kejadian yang sebenarnya."

Elsa menepuk-nepuk bahu Jingga. "Kalo lo butuh bantuan gue, jangan ragu buat minta tolong. Gue liat, dari kemarin lo sibuk bulak-balik ke sana ke mari seorang diri."

Jingga tersenyum, dan membalas, "Makasih tawarannya. Mungkin, gue cuman mau nitip izin telat, kalo gue masih belum masuk kelas pas akhir istirahat."

Kepala Elsa mengangguk. Elsa lalu bertanya, "Oh, ya. Kemarin gue denger, polisi berhasil ngebubarin anak-anak yang lagi berantem. Terus lo? Apa lo langsung pulang?"

Pertanyaan Elsa mengingatkan Jingga pada hari di mana Harsa membawanya kabur, dan pulang dengan hadiah omelan sang ibu. Namun, meskipun Jingga masih merasa kesal dengan hari kemarin, tetapi di depan Elsa dia masih bisa tersenyum, dan membalas, "Ya. Gue langsung pulang."

Elsa mengeluarkan napas lega, kemudian menyentuh tangan Jingga. Dia memberi saran, "Ji, lain kali kalo mereka berantem, biarin aja. Jangan libatin diri lo, apalagi deketan sama mereka. Toh, kalo ada yang luka, itu konsekuensi dari tindakan mereka sendiri."

Jingga mengangguk mengerti. Di dalam hati, dia memang sudah memutuskan untuk menjauhi Harsa, meskipun Harsa berguna untuk pencariannya. Gadis itu mencoba untuk mengabaikan Harsa, seperti permintaan sang ibu. "Kalo gitu, gue... gue pergi dulu."

"Hati-hati. Semoga lo cepetan nemu pelakunya," ucap Elsa.

Kaki Jingga melangkah melewati pintu kelas 11 IPA-1. Langkahnya dipercepat, bersamaan dengan detik pada jam tangannya yang terus bertambah. Dia terus berjalan tanpa jeda, sampai sepatunya menginjak rumput berwarna hijau khas taman sekolah.

Hidung Jingga mencium aroma bunga beraneka warna, yang menyambut kedatangannya. Angin bergerak menyentuh helaian rambutnya. Hingga akhirnya, mata Jingga tertuju pada ruangan kecil yang di depannya dihiasi pot bunga.

Jingga berharap, dia bisa mendapatkan secuil informasi dari ruangan itu. Namun, langkah Jingga terhenti, ketika dia menemukan pemuda berkacamata sedang menyiram bunga dalam potnya. Langsung saja, Jingga menyapa dengan senyuman lebar, "Chandra! Kebagian piket hari ini, ya?"

Chandra tersentak kaget, sampai air dalam tempat menyiramnya sedikit meloncat. Pemuda itu berbalik ke belakang dengan kepala menunduk. Dia menyembunyikan wajahnya dari Jingga, sembari menjawab, "I... iya, Kak."

Jawaban Chandra membuat Jingga tersenyum lebar. Setelah itu Jingga tak ragu untuk bertanya, "Kalo boleh tahu... orang yang biasanya pegang kunci ruang ini, siapa?"

Jingga bertanya, dan Chandra tidak menjawab pertanyaannya. Pemuda itu membutuhkan waktu untuk berpikir mengenai pertanyaan yang diajukan Jingga. Hingga akhirnya kening Jingga mengernyit, apalagi ketika melihat Chandra semakin menyembunyikan wajahnya dari Jingga.

"Chan? Lo gak tau? Kalo gak tau, gue bisa tanya ke yang lain, sih," balas Jingga.

Chandra langsung membalas, "Kalo gak salah, kuncinya dibawa sama orang yang kebagian bawa kunci. Setiap minggu, biasanya yang pegang kunci selalu diganti."

Jingga menganggukkan kepala tanda mengerti. Dia kembali bertanya, "Lo tau gak, siapa yang kebagian jaga kunci pas pameran karya seni diadain?"

Chandra langsung menggelengkan kepala. Dia mengelak, "Gu... gue gak tahu, Kak. Itu udah lama, dan jadwalnya gak tetep."

Sudut bibir Jingga langsung turun ke bawah. Gadis itu merasa harapan yang ada di depan matanya langsung lenyap, setelah mendengar ucapan Chandra. Dia kembali bertanya, "Tapi... apa ada jadwal orang yang bawa kuncinya?"

Chandra mengangguk, dan Jingga meminta, "Gue mau lihat sekilas aja. Please?"

Permintaan Jingga sulit ditolak Chandra. Terlebih lagi, selama ini Jingga selalu membantu Chandra ketika berada dalam kesulitan. Bahkan, saat Harsa dulu pernah membulinya pun, Jingga lah yang menjadi penolong sampai Harsa diskors dari sekolah. Mau tak mau, akhirnya Chandra menghentikan kegiatannya, kemudian masuk dan mencari jadwal pemegang kunci.

Setelah mendapatkan jadwal itu, Jingga meneliti dengan mata menyipit. Dia memeriksa minggu di mana pameran dilaksanakan, sampai akhirnya sudut bibirnya terangkat ke atas. Dia menebak, "Jadi, orang yang pegang kunci di minggu itu... Arjun?"

"Chan, apa Arjun kebagian piket bersihin klub hari ini?" tanya Jingga.

Chandra menjawab, "Enggak. Lagian akhir-akhir ini dia sibuk ikutan lomba, jadi... kalo pun masuk sekolah, jarang ikut kumpulan."

Jingga akhirnya mengangguk mengerti. Setidaknya, dia tinggal menghubungi Arjun untuk mencari tahu kebenaran. Namun, ketika Jingga meraih tangan Chandra untuk memberikan kertas jadwal, mata Jingga tiba-tiba memelotot memperhatikan luka lebam yang ada pada tangan Chandra.

"Loh? Ini kenapa lagi?" tanya Jingga.

Chandra mengambil kertas dan menarik tangannya dari tangan Jingga. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya, tetapi pantulan wajahnya dari jendela membuat Jingga semakin penasaran. Chandra menjawab, "Tadi gue gak sengaja megang pecahan vas bunga. Ini cuman luka kecil, nanti juga sembuh."

Jingga berdecak, dan menunjuk ke arah jendela. "Terus itu apa? Kenapa wajah lo babak belur kayak gini?! Apa lo dibuli Harsa lagi?!" tanya Jingga.

Chandra terdiam, sembari menundukkan kepala. Hal itu membuat Jingga mengurut keningnya sendiri. Gadis itu masih belum mengerti, alasan Harsa terus mengganggu Chandra. Dia berniat membawa Chandra ke UKS, tetapi Stefan yang berjalan melewati keduanya lebih dulu menyarankan, "Biar gue aja yang bawa Chan ke UKS, kebetulan hari ini kelas gue belajar di dekat UKS."

Stefan lagi-lagi datang seperti seorang penolong bagi Jingga. Jingga menganggukkan kepala, kemudian membiarkan Stefan pergi membantu mengobati Chandra. Setelahnya, Jingga memutuskan untuk menemui Harsa.

Sepanjang jalan, Jingga merasakan jantungnya terenyut sakit. Dia pikir, Harsa yang sekarang membantunya, sudah berubah sedikit demi sedikit. Namun, setelah melihat luka yang ada pada wajah Chandra, dia merasa tebakannya benar-benar meleset jauh. Jingga jadi berpikir, jika apa yang dikatakan sang ibu memang benar adanya.

"Padahal dia udah kena skors, tapi masih belum kapok juga," gumam Jingga. Jingga mengambil ponsel di sakunya, dan berniat meminta Harsa untuk menghentikan buliannya pada Chandra. Namun, ketika Jingga berhenti di tengah jalan, tiba-tiba dia merasakan bahunya didorong oleh bahu seorang gadis dari belakang.

Tubuh Jingga tersentak kaget, tapi dia berhasil menahan tubuhnya untuk tidak terdorong jatuh. Sayangnya, tangan Jingga tak cekatan untuk menahan ponselnya yang telanjur jatuh hingga retak. Spontan, Jingga berjongkok dan mengambil ponselnya. Padahal ibunya susah payah membelikan ponsel baru untuk Jingga, tetapi sekarang Jingga memiliki kesalahan baru untuk disalahkan.

Jingga mengernyitkan kening, melihat sepatu berwarna putih yang berada di hadapannya. Gadis itu meneliti sepatunya dari bawah, ke atas. Hingga dia melihat pelaku yang sengaja mendorong bahunya dengan keras. "Layar ponselnya retak, ya? Mau gue ganti?" tawar gadis itu.

Orang di depan Jingga, memberikan tatapan tak suka kepada Jingga. Namun, Jingga sendiri malah menarik sudut bibirnya ke atas. Matanya berbinar, dan bibirnya memanggil, "Kak Hani?"

••• 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top