𐙚˙⋆.˚ 09. Turunan Amarah


"Ada hubungan apa, kamu sama cowok urakan tadi?!" tanya Bu Citra. Mata Bu Citra memelotot, apalagi ketika menemukan jaket asing dipakai Jingga.

Jingga tak pandai menyembunyikan kebohongannya. Dia mengeluarkan napas panjang, sembari meremas jemari tangannya. Jingga ingin mengatakan hal yang sebenarnya, tetapi sebagai balasannya, sang ibu pasti akan memarahinya sampai puas.

"Dia... bukan temen Jingga, tapi... dia... dia... dia itu... cuman siswa yang satu sekolah sama Jingga. Tadi Jingga mau ngelerai dia berantem, tapi.... " Jingga kesulitan memilih kata-kata yang bisa meminimalisir kemarahan sang ibu. Apalagi ketika matanya menemukan guratan di kening, dan mata elang yang memindainya seperti ingin mencabiknya hidup-hidup.

"Bukan temen? Cuman satu sekolah?! Terus ini? Kenapa kamu pake jaket kayak gini?! Ini pasti punya cowok tadi kan?!" tebak Bu Citra.

Dari ekspresi marah sang ibu, Jingga tahu... jika hari ini adalah hari di mana sang ibu mengalami hari buruk. Biasanya, jika suasana hatinya buruk, wanita itu akan marah pada kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan Jingga. Seperti kali ini, Jingga menebak wanita itu akan melampiaskan amarahnya dengan alasan Jingga telat pulang.

Belum sempat Jingga melanjutkan ucapannya, sang ibu sudah lebih dulu mengeluarkan napas panjang. Wanita itu berkacak pinggang, sembari memberitahu, "Kamu itu gadis Mama satu-satunya Jingga! Mama berulang kali bilang, kalo kamu harus jauhin cowok-cowok nakal atau suka berulah!"

"Mama juga ngingetin kamu, supaya pulang tepat waktu, dan gak keluyuran dulu!"

"Sekarang kenapa baru pulang?! Habis ngapain aja kamu sama cowok itu, hah?!" tanya ibu Jingga.

Jingga menutup rapat bibirnya, dia tahu seberapa keras dia menjelaskan, ujung-ujungnya sang ibu akan melampiaskan amarah yang ditahannya di tempat kerja. Sudah enam tahun lamanya, wanita itu bekerja di pabrik setelah bercerai dengan ayahnya Jingga. Namun, usai bercerai beban ayah dan ibu, ditanggung Bu Citra sekaligus. Hal itu karena mantan suaminya adalah seorang pengangguran, yang saat ini ditahan di penjara karena kasus penipuan.

Jingga tak ingin menyusahkan sang ibu, apalagi menambah beban wanita itu. Namun terkadang, Jingga juga bosan menjadi satu-satunya objek yang terkena pelampiasan amarah. Sementara kakak sulungnya---yang selalu keluar rumah dengan alasan organisasi---jarang-jarang mendapatkan amukan.

"Cowok itu mau bantuin Jingga---" Belum sempat Jingga mengakhiri ucapannya, sang ibu kembali menatap tajam ke arahnya. Wanita itu berdecak, dan balik bertanya, "Bantuin? Cowok kayak gitu bisa bantuin kamu kayak gimana? Penampilannya aja gak bener!"

"Mama kenal betul tipe cowok-cowok nakal dan gak beretika kayak gini! Mereka cuman bisa ngeluarin kata-kata manis, tapi gak pernah nepatin janjinya. Sama seperti Papa kamu dulu! Pokoknya Mama gak mau, kamu deketan sama cowok tipe kayak gitu!" jelas Bu Citra.

Jingga mengepalkan tangannya. Dia tak terima, mendengar tuduhan sang ibu hanya dalam satu lirikan pada Harsa. Tanpa sadar, Jingga membela, "Mama baru aja ngeliat Harsa satu kali, dan udah nyimpulin hal-hal buruk tentang Harsa!"

"Asal Mama tahu, di saat anggota-anggota OSIS gak mau terlibat dalam masalah Jingga, cuman Harsa aja yang mau bantuin Jingga dan bahkan ngasih petunjuk!"

Bu Citra mengernyitkan kening, lalu bertanya, "Kenapa anggota-anggota OSIS gak mau bantuin kamu? Dulu, kalo ada masalah kakak kamu gak pernah tuh ngadepinnya sendiri. Sebagai ketua, dia selalu berhasil ngatasin masalahnya karena bantuan anggota OSIS."

"Kenapa kamu gak bisa akur sama mereka, dan malah akur sama cowok gak bener?" tanya Bu Citra.

Jingga mengernyitkan kening, dan Bu Citra menyentuh kedua bahu Jingga. "Jingga, ikutin jejak Angga, yang selalu nurut dan selalu ngebanggain Mama. Kakak kamu gak pernah gabung sama anak-anak gak bener, dan selalu prioritasin belajarnya. Contoh kakakmu!"

"Mama gak mau, kamu ikutan-ikutan terpengaruh hal buruk karena gabung sama dia! Apalagi kalo sampai pacaran!" jelas Bu Citra.

Jingga mengelak, "Jingga gak gabung, apalagi pacaran sama dia! Kenapa Mama gak pernah berpikir positif sama Jingga?!"

Jingga menundukkan kepala, sembari meremas rok sekolahnya. Lagi-lagi, sang ibu membandingkannya dengan Angga. Perasaan kesal dan kecewa, melingkupi hati Jingga saat ini. "Jingga sejak dulu udah berusaha, Ma. Jingga udah berusaha ngikutin jejak Kak Angga sejak dulu!"

"Kak Angga masuk jurusan IPA, Jingga ikutin!"

"Kak Angga selalu belajar sepulang sekolah, Jingga tiru!"

"Bahkan, Kak Angga jadi ketua OSIS pun, sekarang udah Jingga jalanin! Walaupun Jingga sebenarnya gak mau ngurus-ngurus hal kayak gini!"

"Jingga gak minat jadi ketua OSIS! Jingga lebih minat masuk klub bela diri! Tapi karena tugas OSIS banyak, Jingga ketinggalan daftar, dan akhirnya gak pernah masuk!"

"Jingga sama Kak Angga beda, Ma! Kami gak sama!" peringat Jingga dengan mata berkaca-kaca.

Ungkapan Jingga membuat sang ibu terdiam seribu bahasa. Wanita itu merasakan dadanya terenyut. Dia tak ingin anak gadisnya terlibat dengan pemuda nakal, seperti dirinya di masa lalu. Bu Citra juga tak mau, Jingga tumbuh menjadi gadis liar meniru tingkah ayahnya. Meskipun Bu Citra sadar, jika darah pria itu lebih kental dalam diri Jingga.

Tanpa mendengar balasan sang ibu, Jingga akhirnya berbalik ke kamarnya. Gadis itu menutup rapat kamarnya, kemudian menguncinya dari dalam. Dia melempar tasnya ke kursi, dan tengkurap di atas tempat tidur.

Satu persatu tetes air mata, membasahi bantal. Jingga menyembunyikan wajahnya pada boneka kucing yang dia miliki. Matanya tak henti-henti mengeluarkan air, dengan sudut bibir melengkung ke bawah. Beberapa kali Jingga memukuli boneka kucing di depannya. Dia sudah lelah dengan setiap prasangka sang ibu, hanya karena dirinya mirip dengan sang ayah.

Lima belas menit, Jingga gunakan untuk meredakan tangisannya. Meskipun suara ketukan di pintu kamarnya terdengar, Jingga mengabaikan ketukannya tanpa berbalik sedikit pun. Apalagi ketika suara Angga menyapa telinga Jingga. Pemuda itu memanggil, "Ji..."

Jingga tak membalas, dan Angga berkata, " Jingga buka pintunya, dan ayo makan bareng."

"Gak mau. Makan aja berdua, toh anak Mama yang paling berbakti cuman lo doang," tolak Jingga sembari meremas selimut.

Angga mengeluarkan napas panjang, dia lalu berkata, "Jingga, cepet keluar dan makan bareng. Lo bisa jelasin semuanya, setelah Mama tenang."

"Lo juga tahu 'kan, sejak Mama pisah sama Papa, kerjaannya numpuk banget. Dia pusing ngurusin kerjaan, ada baiknya lo jangan nambah beban Mama," pinta Angga.

"Gue udah bilang gue gak mau keluar! Kalo mau makan, makan aja berdua! Gak usah nganggep gue ada!" teriak Jingga.

Angga akhirnya berbalik dan pergi ke ruang makan. Pemuda itu mengambil banyak nasi kesukaan Jingga, sembari memberinya ikan goreng dan secuil kertas berisi permintaannya, untuk segera akur lagi dengan sang ibu. Setelah itu, Angga kembali ke depan pintu kamar sang adik. Dia mengetuknya, dan berpesan, "Makanan favorit lo, gue taruh di depan pintu."

Jingga bisa mendengarkan suara langkah kaki Angga menjauhi kamarnya. Dia meremas selimut, dengan tatapan kosong ke arah foto keluarga kecilnya. Jingga mengusap cairan bening di pipi, kemudian menatap ke pintu kamarnya. "Nambah beban Mama? Gue juga gak mau terlahir jadi beban Mama. Tapi semua usaha gue buat nyenengin Mama pun gak pernah dianggep. Prestasi Kak Angga selalu dijadiin tolak ukur."

Perlu beberapa waktu bagi Jingga untuk menenangkan dirinya sendiri. Gadis itu baru beranjak dari tempat tidur, ketika menyadari jaket Harsa yang dia kenakan ikut basah karena air matanya. Spontan, Jingga langsung melepas jaket itu dan berniat berganti baju.

Sebelum Jingga melepaskan jaketnya, Jingga baru sadar jika baterai ponselnya belum diisi ulang. Segera saja, Jingga mengisi ulang baterainya. Sampai ponselnya menyala, dan Jingga mendapati notifikasi pesan dari Harsa.

"Dia ngirim apaan?" tanya Jingga heran.

••• 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top