𐙚˙⋆.˚ 08. Laju Amarah
Harsa kembali mengambil ponselnya, lalu tersenyum dan menunjukkan sebuah gambar kepada Jingga. Dia memberitahu, "Lo yakin, masih belum percaya? Setelah gue nemu petunjuk, orang yang ngancurin karya seni sekolah?"
Jingga masih meragukan ucapan Harsa. Namun, setelah matanya menatap ke layar ponsel Harsa. Jingga baru menyadari, perbedaan pada kotak kardus yang dipakai untuk menutup karya seni sebelum ditampilkan.
Awalnya kotak yang dipakai memiliki sedikit noda putih, karena terkena cat panggung. Sementara itu, saat karya seni akan ditunjukan, kotaknya tampak seperti baru tanpa kecatatan sedikit pun. Jingga dulu tak menyadari hal ini, karena dia fokus membawa kotak-kotak seorang diri, di tengah waktu tampil yang hanya beberapa detik.
Harsa menunjuk ke arah layar ponselnya, sembari menandai foto kotak yang sempat dipakai untuk menutup karya seni. Setelah itu, dia mengesampingkan fotonya, dan menunjukkan sebuah kumpulan kotak kardus rusak yang berada di belakang sekolah. Mata Jingga memelotot, melihat tanda cipratan cat warna putih pada kotak yang sudah rusak menjadi beberapa bagian.
Jingga meneguk ludahnya sendiri. Lalu melihat ke arah Harsa. Dia menebak, "Kayaknya ada orang yang gak sengaja nabrak karya seni, sampai kotak kardus dan isinya rusak."
"Lalu setelah itu, bukannya ngasih tahu kebenaran... dia malah nutupin kerusakannya, dengan cara ganti kotak kardusnya buat nutupin karya seni yang rusak," tebak Jingga.
Tebakan Jingga malah membuat Harsa menarik sebelah sudut bibirnya ke atas. Setelah itu, Harsa menepuk lembut kening Jingga, kemudian menunjuk ke arah foto kotak kardus rusak di layar ponselnya. "Pikiran lo terlalu polos."
"Coba liat retakan yang ada di setiap kardusnya. Dari retakan dan bentuk kerusakannya, ini gak mungkin gak sengaja. Apalagi di bagian bekas kepalan tangan ini. Dari sini, gue bisa tahu kalo ada orang yang emang sengaja nonjok-nonjok buat ngerusakin karya seni sekolah," jelas Harsa.
Jingga bertanya, "Kalo dia sengaja mukul-mukul, pasti suara pukulannya kedengeran 'kan? Tapi ini... gue bahkan gak sadar, sejak kapan kotak kardusnya diganti."
Harsa membalas sembari merotasikan matanya. "Ji, gue pikir lo pinter, karena sering masuk juara kelas. tapi ternyata, di kenyataan lo bisa oon juga."
"Apa lo bilang?!" gerutu Jingga.
Harsa menarik sudut bibirnya ke atas, lalu membalas, "Tapi meskipun lo telmi, gue tetep suka, kok."
"Gak usah ngubah topik! Cepet jelasin tebakan lo!" perintah Jingga.
Harsa membalas, "Kayaknya, suara pukulan itu kalah sama suara pentas drama, sekaligus suara keributan yang gue buat, pas lo pergi."
Jingga terdiam beberapa menit, dan memahami ucapan Harsa sedikit demi sedikit. Gadis itu mulai mendapatkan pencerahan dari hasil temuan Harsa. Baru kemudian setelah itu, Jingga bertanya, "Emangnya, saat gue pergi buat ngelerai aksi berantem lo... si tersangka punya banyak waktu buat nukerin kotak kardusnya?"
Harsa menjawab, "Kayaknya, si pelaku punya rekan yang bantuin dia nyari kotak kardus baru, sekaligus ngebuang kotak lama."
"Dulu, setelah lo selesai ngelerai gue, apa lo papasan sama orang yang keluar dari ruang seni?" tanya Harsa.
Jingga mengernyitkan kening, lalu menjawab, "Gue gak inget. Terlalu banyak orang yang papasan sama gue. Seandainya CCTV di depan ruang seni bener-bener berfungsi, mungkin gue bisa tahu siapa aja yang bisa dijadiin sebagai tersangka."
Sudut bibir Jingga sedikit demi sedikit mulai turun. Jingga merasa dirinya benar-benar tak berguna, karena tak bisa memecahkan teka-teki ini oleh dirinya sendiri. Gadis itu menarik dan mengeluarkan napas panjang, lalu bertanya pada Harsa, "Dari mana lo bisa dapetin foto kedua kardus yang berbeda ini?"
Harsa menutup kelopak matanya, lalu menjulurkan ponselnya di depan Jingga lagi. Dia memperlihatkan Jingga beberapa nomor kontak bawahannya, kemudian memberitahu, "Di setiap kelas, gue punya rekan anggota geng yang bisa dimintai bantuan setiap saat. Mereka bantuin gue nyari tahu, sekaligus merhatiin keadaan sekolah saat ini."
Jingga menarik sudut bibirnya ke atas, tetapi wajahnya menunduk ke bawah. Dia meremas tangannya sendiri, sembari berkata, "Meskipun gue gak suka geng lo. Tapi kalian gak segan-segan bantuin satu sama lain. Gue jadi iri. Seandainya aja, anggota OSIS bisa saling bantu kayak anggota geng lo."
Harsa menyilangkan tangan di depan dada. Dia lalu memberitahu Jingga, "Kebanyakan anggota OSIS sekarang, masuk OSIS karena gaya-gayaan doang. Sementara lo? Lo terlalu ambis, pengen ngejalanin OSIS sebaik-baiknya tanpa merhatiin anggota lo. Kalian gak punya tujuan yang sama, jadi gimana mau kerja bareng?"
"Lalu geng gue? Kami semua punya tujuan yang sama. Yaitu, bebas bolos, nongkrong sepuas hati, berantem sama orang yang nyari gara-gara, dan ngasih pelajaran sama orang yang berani gangguin salah satu anggota," jelas Harsa bangga dengan prestasi yang Jingga sebut dengan aib remaja.
Untuk kali ini, Jingga tidak menghardik jawaban Harsa. Gadis itu sendiri sadar dengan kekurangan anggota OSIS saat ini. "Tujuan yang sama. Gimana caranya supaya kami bisa nyamain tujuan?"
Jingga terdiam, dengan otak yang fokus memikirkan cara supaya anggotanya bersatu. Sementara itu, Harsa tersenyum dan mengacak-acak rambut Jingga. Jingga mengumpat, dan Harsa mengajak, "Jangan ngelamun, dan ayo pulang. Lo dari tadi pengen pulang 'kan?"
Tawaran Harsa membuat Jingga teringat pada sang ibu. Dia melihat ke arah jarum jam pendek yang berada di jam tangannya. Jarum itu menunjuk ke angka lima. Tanpa berpikir dua kali, Jingga langsung naik ke sepeda motor Harsa. Dia menepuk bahu Harsa, dan memperingati, "Cepet anterin gue pulang! Nyokap gue pasti khawatir! Apalagi gue gak bisa ngehubungin dia sekarang!"
Harsa berkata, "Coba telepon pake ponsel gue aja. Sekalian kenalin gue, sama Camer gue. "
Jika tidak butuh tumpangan, Jingga sudah ingin melompat dari sepeda motor Harsa. Gadis itu menggerutu, "Di sini sinyalnya jelek banget! Jadi, ayo cepetan maju!"
Setelah puas membuat nada suara Jingga meninggi, akhirnya Harsa mengangguk dan melajukan sepeda motornya. Namun, Jingga merasakan sebuah perbedaan saat Harsa membawanya kabur dari polisi dan membawanya pulang ke rumah. Kali ini, Harsa melajukan sepeda motornya pelan, berbanding terbalik dengan saat dirinya membawa Jingga kabur.
Kelambatan Harsa membuat Jingga mendengkus, dan menepuk bahunya. "Cepetan dong! Nanti gue kena amuk nyokap gue!"
"Lo mau cepetan? Oke! Tapi pegangan dulu ke pinggang gue, baru gue gas," tawar Harsa.
Tanpa melihat wajah Harsa, Jingga sudah tahu jika Harsa sedang memasang senyuman penuh kepercayaan diri. Mau tak mau, lagi-lagi Jingga harus menahan amarahnya, dan memaksakan diri untuk melingkarkan tangannya pada pinggang Harsa. Meskipun dia tak berani menyentuh langsung Harsa, dan hanya memegangi seragam Harsa saja.
Sentuhan malu-malu Jingga pada seragam, membuat senyuman Harsa semakin terangkat ke atas. Pemuda itu mempercepat sepeda motornya. Dia membiarkan Jingga mempererat pegangan tangannya, sampai keduanya melaju kembali di jalan raya yang lebih besar.
Angin dingin memeluk tubuh Harsa, yang tak memakai jaket miliknya. Sementara itu, tubuh mungil Jingga terbungkus jaket milik Harsa. Jingga tak tahu, sebenarnya apa yang ada di dalam pikiran Harsa saat ini. Namun, Jingga hanya bisa berharap, dirinya cepat sampai dan segera menemui ibunya.
Di perjalanan, Jingga sempat meminta izin pada sang ibu untuk mengizinkannya pulang. Gadis itu beralasan jika dirinya harus mengerjakan tugas kelompok dulu. Namun, kebohongan Jingga tercium dalam hitungan menit.
Tepat ketika Harsa mengantarkan Jingga ke depan rumahnya, Jingga langsung mengusir Harsa untuk segera pergi. Gadis itu memastikan Harsa benar-benar pergi dari rumahnya, tanpa seorang pun yang tahu jika Harsa baru mengantakannya pulang. Setelah memastikan Harsa pergi dari pandangannya, Jingga berbalik untuk masuk ke rumah tanpa jejak.
Niat Jingga adalah segera masuk ke kamar, mandi lalu segera belajar dan mengerjakan tugas. Namun, saat kaki Jingga mengendap-endap ke dalam rumahnya sendiri, Jingga tersentak kaget mendapati sang ibu di depan gerbang rumah, dengan tatapan tajam.
"Habis kerja kelompok? Kok pulangnya sama cowok berseragam kusut, rambut acak-acakan, kurang sopan santun, wajahnya penuh bekas luka lagi?! Ada hubungan apa, kamu sama cowok urakan tadi?!" tanya ibunya Jingga.
•••
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top