Prolog
Kata orang dua manusia beda kasta nggak akan bisa bersanding, namun hari itu, Bina dan Banu yang mengenakan seragam putih-abu terbukti mematahkan stigma itu.
Waktu itu siang hari, panas, dan mereka sedang berada di aula Gedung Soekarno pada sebuah Universitas Negeri yang baik Bina dan Banu udah lupa namanya. Yang mereka ingat adalah momen penentuan menuju babak final pada kompetisi debat Bahasa Inggris yang sedang mereka ikuti.
"If we cannot change our very daily habit, then what is the point of forcing the law that will not benefit any parts of this party? Neither human, nor the nature, will take any positive effect on this!"
(Kalau kita tidak mau merubah kebiasaan sehari-hari, maka apa gunanya memaksakan hukum yang tidak akan menguntungkan pihak manapun? Nggak manusia, nggak juga alam, akan mendapatkan dampak positif dari hal ini!)
Sabina Eka Gayatri dengan rambut berkuncir kuda, berorasi dengan berapi-api. Dia mewakili tim kontra. Panasnya semangat gadis itu nampaknya setara dengan suhu terik di parkiran.
Tim lawan, yang merupakan tim pro, terdiri dari tiga orang. Dua siswa berkopiah hitam, dan satu siswi berkerudung putih, yang tampak mulai kalang kabut. Satu siswa yang paling tinggi, yang merupakan pemimpin regu, mendekatkan mulut ke mikrofon.
"But there's an ayat on Qur'an that says—"
(Tapi ada satu ayat Al-Qur'an yang menyebutkan—)
"OBJECTION!" potong Bina seketika. "The rule says not to quote any religious verse, for it has no fallacy and therefore cannot be disturbed!"
(KEBERATAN! ... Peraturan melarang kita untuk mengutip ayat dari kitab suci manapun, karena kebenarannya dianggap mutlak dan tidak dapat diganggu gugat!)
Desas-desus timbul seiring suara gadis itu menggema. Panitia yang menjadi moderator membuka lembaran print-out peraturan lomba, membacanya sekilas, lalu mengangguk paham.
"Ms. Sabina from SMA Khatulistiwa has a point. Mr. Reyhan from MA Darul Islam, if your team cannot proceed any more logical reasoning on the next 30 seconds, your team will be facing a disqualification, uderstood? Alright, the time starts—now!"
(Nona Sabina dari SMA Khatulistiwa benar. Tuan Reyhan dari MA Darul Islam, jika tim anda tidak bisa menyajikan alasan logis dalam kurun waktu 30 detik ke depan, tim anda akan menghadapi human diskualifikasi, mengerti? Baiklah, waktunya akan mulai—sekarang!)
Panitia tersebut menekan tombol kecil pada stopwatch, membuat keringat dingin menggulir di pelipis siswa-siswi MA Darul Islam, dan senyum merekah bangga mulai timbul di wajah-wajah perwakilan SMA Khatulistiwa.
"Umm ... we ... it's ...." Reyhan sang ketua tim MA Darul Islam mulai kelabakan. Senyum Bina, yang menyaksikan dari seberang podium berhadapan, terplester makin lebar.
"Five, four, three ... two ... one! And, time! Congratulations, SMA Khatulistiwa is entitled to proceed to the final round!"
(Lima, empat, tiga ... dua ... satu! Dan, waktu habis! Selamat, SMA Khatulistiwa berhak melanjutkan ke babak final!)
Gegap gempita tepuk tangan pendukung SMA Khatulistiwa berkumandang. Bina, Banu, dan ketua tim mereka, Candra, berpelukan sambil melompat girang.
Tim kiriman SMA Khatulistiwa memang bukan sembarangan.
Bina yang paling agresif, telah menampik semua serangan tim lawan dengan mulutnya yang cerewet.
Bahari Nugraha—Banu—merupakan senjata rahasia tim itu, seorang pemikir logis yang siap menyayat tim lawan dengan argumen tajamnya—walaupun porsi bicaranya sedikit, lebih sering diserobot Bina.
Terakhir, Candra-siapa-lupa-namanya, adalah anak kesayangan Guru Bahasa Inggris yang makan gaji buta selama menjabat jadi ketua tim, kerjaannya cuma cengar-cengir dan nyeplos yes-yes-oke-that's-right saja.
Ten-minute-break dilaksanakan demi mempersiapkan babak final. Bina, Banu, dan Candra duduk di bangku peserta yang berjejer paling depan sambil melahap konsumsi jajanan kotak dari panitia.
"Hey, kamu!"
Seseorang tiba-tiba menghampiri Bina, berdiri tepat di hadapannya. Dialah Reyhan, ketua tim dari MA Darul Islam yang tadi dikalahkan oleh gadis itu.
"Yha?" jawab Bina dengan mulut penuh pisang goreng. Banu dan Candra memperhatikan teman satu tim mereka yang duduk di tengah-tengah, masih sibuk mengunyah.
"Apa maksud kamu tadi menyela saat kami mau bawa ayat Al-Qur'an, hah? Kamu mau menghina agama Islam ya?!" cecar Reyhan tidak terima. Rupanya remaja itu dendam atas kekalahannya.
Bina menatap Reyhan sambil mengunyah santai. Gadis itu menelan pisang gorengnya sebelum berujar, "Agamaku Islam juga kok. Kamu aja yang harusnya hati-hati, jangan bawa ayat suci seringan itu. Awas nanti salah persepsi, apalagi hanya untuk digunakan sebagai bahan argumen debat."
"Apa?!" Muka Reyhan bersemu merah. Jelas, remaja itu marah.
"Kamu itu muslimah gadungan apa gimana?? Kamu saja nggak berkerudung! Bisa-bisanya sok ceramahi kami masalah ayat suci!"
"Sudah, sudah." Banu bangkit dari duduknya, nada bicaranya tenang, namun tatapannya tegas.
"Maafkan perilaku teman kami kalau tadi sempat menyinggung emosi Mas Reyhan dan tim, harap maklum saja, ya? Untuk masalah kutipan ayat suci, itu kan sudah ada di rulebook-nya, jadi sebaiknya Mas Reyhan tanyakan langsung pada panitia jika dirasa nggak adil. Teman saya ini hanya menyampaikan apa yang dia pahami di peraturan perlombaan ini. Sekali lagi, maaf ya kalau cara dia menyampaikannya membuat emosi ...."
Reyhan menatap Banu sedetik, lalu memalingkan muka. Dia berjalan dengan dengusan napas, sempat terdengar gerutuan seiring sosoknya pergi, "Dasar bucin, disentak dikit aja, pacarnya langsung pasang badan!"
Banu kembali duduk, mengambil air mineral gelasan untuk diminum, sementara Bina lanjut memakan pisang gorengnya.
"Padahal kita kan nggak pacaran, ya, Ban?" celetuk Bina yang diam-diam mendengarkan.
Ohok-ohok!
Banu langsung tersedak air minumnya.
**
Babak final dimulai tiga puluh menit yang lalu. Tim SMA Khatulistiwa yang berisi Bina, Banu, dan Candra harus rela melepaskan juara untuk tim lawannya, yang tak lain adalah siswa-siswi unggulan dari sekolah berlevel internasional, SMA Dharma Sunya. Ada yang lega, ada pula yang kecewa. Apapun emosinya, keluarga peserta datang untuk bersyukur sekaligus menghibur.
"Yah! Ayaaah! Yah, liat nih—LIAT! BINA DAPAT MEDALI PERAK!!"
Jejeritan Sabina membahana di ruang aula. Ayah Bina, Pak Santo, tersenyum bangga dengan kerutan mata yang terpampang dalam.
"Hebat sekali anak Ayah! Sini, sini, sun dulu ...."
Bina lantas membiarkan ayahnya mencium pipi kiri dan kanannya. Mereka berpelukan sambil berlompatan, kegirangan karena prestasi posisi kedua yang berhasil diraih oleh Bina dan timnya.
Di sudut lain, Banu menunduk.
"Perak? Kenapa bisa kalah sih, Ban? Harusnya kamu tuh juara satu loh, satu! Haduh ... percuma deh Mami sama Papi daftarin kamu bimbel mahal-mahal, kamunya nggak bisa menang begini." Nyonya Nugraha berdecak kecewa.
"Tapi Mi, kan juara dua juga udah lumayan ...," lirih Banu membela diri.
"Juara? Banu, di dunia ini yang namanya juara ya peringkat satu. Number one is a champion, istilah runner up itu cuma buat ngehibur mereka-mereka yang kalah. Kamu ingat itu baik-baik."
Banu merelakan maminya melenggang pergi, meninggalkan remaja lelaki itu terpaku di sudut aula. Banu merasa dadanya berdenyut, nyeri. Usaha yang tak diapresiasi itu ternyata rasanya sakit sekali.
Sekelebat diliriknya kehangatan Bina dan sang ayah, yang mensyukuri segala hasil usaha tanpa harus ngoyo dan ngotot menjadi juara sungguhan versi maminya.
Banu merasa iri. Coba saja dia bisa merasakan kehangatan yang dipertontonkan Bina dan ayahnya saat ini.
"Bina ... aku balik dulu." Banu berpamitan dengan suara lirih. Hatinya masih agak perih.
"Eh? Oh, iya. Good job well done yaaa, Banu! Aku seneng deh bisa setim sama kamu. Kita jadi menang gini. Yah, Ayah! Tau nggak, tadi itu teori yang di babak perempat final tuh aku dibisikin Banu loh Yah! Banu pinter banget, ya? Hebat ya, Yah? Banu keren ya?"
Bina merepet dengan semangat, membuat pipi Banu bersemu hangat. .
"Wah, iya? Terima kasih ya Banu, sudah jadi bisik-bisik berhadiah di telinganya Bina tadi. By the way, ini kamu pulangnya sama siapa?"
Pak Santo bertanya, berteptan dengan suara Nyonya Nugraha yang memanggil dari pintu keluar aula. 'Bahari! Ayo pulang!'
"Ehh ... pulang sama mami saya, Om. Ya udah, saya duluan ya Om, Bina." Banu undur diri dengan setengah hati.
Kalau boleh memilih, dia lebih ingin pulang bersama Bina dan ayahnya. Banu tau, Om Santo pasti akan mengajak mereka makan-makan di tempat enak, seperti yang biasa lelaki itu lakukan selama tiga minggu terakhir, saat Bina dan Banu kerap latihan debat sepulang sekolah.
Tapi kini, Banu harus rela mengucap selamat tinggal. Perjuangan mereka tuntas sudah. Bedanya, dengan Bina dan Om Santo, Banu merasa diapresiasi. Kini dia harus pulang ke rumah, di mana eksistensinya saja tak begitu diakui.
**
[1255 Words]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top