Epilog
Leiden, Belanda. Dua tahun kemudian ....
Tidak hanya Jakarta yang merupakan kota underwater, dengan keadaan dataran tanah yang berada di bawah garis permukaan laut. Ternyata, ada satu kota lain yang juga sedikit ndlusup (menjorok) lebih rendah dari lautan. Leiden.
Bedanya, jika warga Jakarta kerap panik dan repot akan fakta underwater city yang erat hubungannya dengan banjir langganan, maka warga Leiden terbilang mampu beradaptasi—dan cenderung meromantisasi—fenomena tersebut.
Sebab, kota Leiden malah memanfaatkan landainya tanah mereka untuk aliran kanal sungai yang berperan sebagai jalur transportasi perahu dan menjalar pada pembangkit listrik tenaga air yang telah beroperasi selama ratusan tahun.
Leiden, sebuah kota yang sampai beberapa tahun lalu masih menjadi mimpi bagi Bina dan Banu, namun rasanya semakin nyata seiring mereka disibukkan dengan urusan birokrasi paspor, visa, dan beasiswa. Terkadang, menggapai mimpi juga cukup membutuhkan effort.
Kini, rasanya mimpi itu berbunga menjadi nyata. Mereka berdua sedang menapaki di tanah negara yang dulu menjajah Indonesia, berperan sebagai cendekia yang belajar di salah satu universitas tertua di Belanda, kampus yang telah berdiri sejak pertengahan abad ke-16.
Berjarak setengah jam dari ibukota Belanda, Amsterdam, pagi itu Bina duduk di depan kafe yang terapung dengan kursi-kursi di atas perahu.
Gadis itu menyesap kopinya, memandangi pantulan langit dari permukaan air sungai yang bisa ditemui di mana-mana sepanjang kota. Pada tempatnya duduk sekarang, Bina sedang melamun menatap salah satu anak cabang sungai Rhine. Beberapa perahu melaju lambat mengaliri kanal.
Bina meletakkan cangkir kopinya ketika Banu menyusul duduk di hadapannya, dengan roti banketstaaf menguar hangat di satu tangan. Bina sendiri memainkan roti isi di piringnya, dengan jajaran keju yang terbuka, bersebelahan dengan croissant di sampingnya.
"Banyak banget orang naik sepeda di sini, ya?" ucap Banu sambil menggigit banket-nya.
"Iya. Di mana-mana sepeda," komentar Bina. Gadis itu tampaknya masih setengah sadar dari lamunannya.
"Hey, lagi mikir apa?" Banu yang peka pada gelagat gadis itu refleks bertanya, lengkap dengan pandangan menyelidik yang sarat perhatian.
"Oh, aku cuma ... masih nggak percaya aja. Ini semua rasanya kayak nggak nyata." Bina mengembuskan napas sembari kembali menyesap kopinya.
"Bagus dong? Mimpi kamu, mimpi kita yang dulu itu akhirnya sekarang bisa kejadian beneran," ucap Banu menanggapi.
"Iya, makanya itu. Ini semua kayak too good to be true, tau nggak? Aku jadi nggak mau pulang."
"Mau netap di sini?" tanya Banu seketika.
Bina buru-buru menggeleng. Kalau gadis itu mengiyakan, besar kemungkinan Banu akan mengusahakan kalimat itu menjadi nyata.
"Aku masih mau pulang lah! Masih mau ketemu Ayah, Kak Misha, Leda juga ...."
Banu terkekeh menanggapi ucapan Bina. Digenggamnya tangan gadis itu.
"Bin, mau bikin janji lagi, nggak? Kita bangun mimpi lain buat ke depan."
Bina memiringkan kepala tanda tak mengerti. "Janji apa?"
Perlahan, Banu mengulurkan tangan dari dalam sakunya. Tergenggam sebuah kotak beludru, ketika dibuka, isinya sebuah cincin berlian putih dengan lingkaran yang mengukir bentuk segitiga. Promise ring.
"Apapun yang terjadi, entah kamu masih mau ngejar mimpi-mimpimu yang lain dulu, atau berpetualang sendiri dulu, tapi aku mau ... sepuluh tahun dari sekarang, kita ke sini lagi—ketemu lagi, ngumpul sama-sama. Berdua. Mau, ya?"
Disodorkannya kotak cincin yang terbuka itu, membuat Bina melongo seketika. Gadis itu meraih kotak pemberian Banu, memperhatikan cincin bermata berlian itu, bergantian dengan wajah Banu yang balas memandangnya lekat-lekat.
"Aku nggak mau," ucap Bina dengan tegas. Mendengar kalimat itu, Banu kesulitan menutup mulutnya yang menganga. Dia sungguh tidak menyangka kalau—
"Nggak mau kalau kita harus ilang-ilangan bertahun-tahun lagi. Dan aku nggak mau kalau kita cuma sekadar ketemu aja sepuluh tahun lagi. Aku mau yang pasti, Banu. Mulai sekarang, sampai nanti ... kita tua."
Banu tak sanggup berkata-kata. Sebenarnya, apa yang dikatakan Bina barusan itu sama persis dengan apa yang diinginkan hatinya; untuk bersama tanpa harus berpisah lagi.
Namun dasarnya Bahari Nugraha si pemikir akut; berpikir bahwa komitmen sebegitu masif akan menghasilkan resiko—bahkan kekecewaan—yang terlalu fatal bagi kebahagiaan mereka saat ini.
"A-aku ... memang mau minta begitu, tadinya," jelas Banu. "Tapi aku nggak mau terlalu mengikat, atau terkesan mengekang, jadi ya—mmph!"
Kata-kata Banu tak tuntas sebab Bina telah melonjak melintasi meja, meraup kedua rahang Banu dan membekap mulut lelaki itu dalam satu ciuman hangat.
Setelah ciuman itu putus, Bina pun melengos. "Dasar Banu bodo! Apa perlu aku yang ngelamar kamu duluan?!"
"Eeeeh—jangan! Ya udah, aku aja." Banu buru-buru bangkit dari kursi dan berlutut dengan satu kaki. "Sabina Eka Gayatri ...." Dia baru memulai, namu gadis di depannya langsung melonjak dan menggebrak meja.
"AAAAHHHH malas! Udah kena spoiler!" Bina cemberut.
Banu terdiam, lalu detik berikutnya meledak dalam tawa. Bina pun ikut terbahak.
Tanpa bertukar kata-kata lagi, Bahari Nugraha bangkit dan perlahan mengeluarkan cincin dari kotaknya, dan meraih jemari Bina. Gadis itu menggigit bibir, menahan tangis di sela gelak saat benda cantik itu melingkar dengan sempurna di jari manisnya.
Masih bersisa tawa, kali ini Banu yang meraih kedua pipi Bina dengan lembut dan mendaratkan sebuah kecupan hangat di bibir.
Riak sungai Rhine menari sunyi, menjalankan perannya sebagai saksi bisu melihat dua manusia pribumi menautkan hati, mewujudkan mimpi yang mereka jalin sendiri berbumbu sebuah janji. Lagi.
—TAMAT—
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top