33 · Penebusan Dosa
A/N :
bab ini adalah salah satu part tambahan yang aku tulis dalam tahap revisi, sehingga nggak ada di naskah Angkatan Tua yang lama.
jadi buat kamu yang lagi ada di sini sekarang, selamat! kamu beruntung! terima kasih sudah bersabar sama aku yang kureng konsisten ini, dan selamat membaca 🫰🏻
**
Banu berkutat di meja kerja dalam kamar pribadinya sambil memain-mainkan selembar kertas. Sudah terlihat cukup lusuh karena dibuka-lipat berkali-kali. Di secarik kertas kecil itu tertulis; List dosa-dosa Bahari Nugraha.
Lelaki itu kembali membaca ulang tulisan tangan Bina di sana, yang entah sudah berapa juta kali dia ulangi bagaikan merapal mantra pada kertas keramat. Sialan. Mau berapa kali pun, jantungnya masih berisik dengan debat yang abstrak.
Banu pun mengerucutkan bibir tanda berpikir, lalu memutuskan mengambil sebuah bolpoin dan mulai menulis balasan di bagian belakang kertas keramat itu, membebaskan argumen dan beban pikirannya.
Sekelebat ingatan tentang hari-hari awal pertemuan mereka pun menemani isi kepala Banu selama menulis.
List dosa-dosa Bahari Nugraha:
1. Dia telat!! Bikin orang lain nunggu. Buang-buang waktu!
Ya maaf, Bin. Waktu itu aku lagi sibuk di rektorat, terus pas otewe kejebak macet. Lagian kamu nunggu di kafe, kan? Harusnya nggak terlalu gabut, bisa makan-makan sambil minum kopi kesukaan kamu.
2. Dia nabrak kepala aku kemarin kapan hari itu. Sakit tauk!
Nggak sengaja, Bina. Maaf ya.
3. Kayak stalker, ngide nge-chat padahal aku nggak pernah ngasih nomer ke dia. Dapet dari mana ya? Grup Angkatan? Apa minta Pak Pran? Duh. pengen kublokir tapi masih butuh buat bimbingan :<
Did you think so? Maaf kalo gitu, Bin. Aku desperate kayaknya, nggak mau ngelewatin kesempatan. Sayang banget kalau kamu harus ilang lagi. Oh iya, aku memang dapat nomormu dari Pak Pran. Jangan diblokir dong ….
4. Nyebelin + sok pinter.
Kamu lagi PMS, Bin? Atau kamu amnesia? Aku kan memang pintar dari lahir. Hehe canda.
5. Sok kegantengan, nolak + ngenghosting orang waktu SMA. Kecil-kecil dah jd fakboy!
Waduh, ini sih tuduhan yang cukup berat. Tapi makasih kalau kamu pikir aku ganteng.
6. Kang tikung dan pengkhianat! Dia ngambil jurusan kuliah yang aku incar, studi ke luar negeri hanya karena mau dan mampu—nyebelin banget gak sih?!
Kalau yang ini sih kayaknya perlu klarifikasi langsung nih, Bin. If only you knew kalau alasan aku waktu itu ….
7. Ngilang bertahun-tahun cuma untuk muncul lagi. Nanggung. Kenapa gak ilang sampe kiamat aja?!
Kamu kalau lagi kesal nyeremin banget ya, Sabina.
8. Nyebelin
Maaf.
9. Ngeselin
Maaf (2)
10. Bikin geregetan, pengen nyakar mukanya!
Takut banget.
Banu tersenyum, lalu menggigit bibir. Aneh sekali dia, berlagak seperti orang yang tidak lurus jiwanya.
Senangkah dia, diperhatikan Bina setiap gerak-geriknya secara detail, di hari pertama mereka bertemu?
Salting-kah dia, dinilai dengan negatif tapi tetap lucu, tanda minat dan perasaan Bina tak sepenuhnya surut sejak dulu?
Sedihkah dia, karena ternyata selama ini sudah menyakiti Bina dengan (atau tanpa) sengaja? Hal-hal yang remeh sampai berat, rasanya ingin dia tebus semua.
Ah, campur aduk! Banu menggaruk kepala dengan gemas. Dia melipat kembali kertas keramat itu dengan hati-hati, membuat catatan mental untuk mengembalikannya pada Bina suatu hari nanti.
Tapi, suatu hari itu … kapan?
Banu menunduk. Mendapati jari jemarinya saling memilin, gestur khas saat hati dan pikirannya sedang kompak merasa resah.
Dia sadar waktunya tak banyak. Bina sudah dalam tahap revisi akhir, hanya hitungan minggu sebelum gadis itu tak membutuhkan bimbingannya lagi. Dalam beberapa bulan, wisuda.
Lalu … apa? Menghilang lagi, sembilan tahun? Wah. Tidak. Tidak bisa begitu. Tidak boleh. Tidak lagi.
Banu pun bangkit, beranjak menjauhi meja kerjanya dan berniat turun ke bawah, menyusul keluarganya yang sedang makan malam bersama.
Ini adalah saat yang tepat untuk melakukan penebusan dosa.
Namun, satu langkah menuju pintu, dia berhenti, lalu malah berbalik kembali dan mengambil ponsel di atas meja.
Dia harus menghubungi seseorang terlebih dahulu.
Satu menit kemudian, nama kontak ‘Olivia’ menjawab dalam sambungan telepon.
**
Banu turun dari kamarnya saat sudah lewat waktu makan malam. Keluarga Nugraha kedapatan sedang bersantai di ruang TV menemani Cecil yang sedang menonton film animasi Moana ditemani papa-mamanya, Kak Misha dan suaminya William, bersama juga opa dan oma yang tak lain adalah Mami-Papi Banu.
“Kamu kenapa nggak ikut makan malam, Bahari? Jangan kasih alasan sibuk koreksi ujian atau apalah masalah kerjaan lagi ya, Mami nggak mau dengar! Kemarin kan sudah kita bicarakan, kalau di rumah, biasakan selalu makan bareng-bareng!”
Baru selangkah Banu bergerak, rentetan omel dari maminya sudah menyambut. Lelaki itu menghela napas. Terkhusus malam ini, dia harus pintar-pintar menata emosi.
“Ya maaf, Mi. Tadi aku habis ngobrol sama Oliv. Ada hal yang harus aku sanp—-”
“Oliv? Si Olivia? Oh gimana dia? Mau keluar lagi, kalian? Sekalian bilangin sama dia buat mampir ke butiknya kenalan Mami, ya! Ada banyak kebaya bagus-bagus, siapa tau cocok buat resepsi—-”
“Mi,” potong Banu. “Tahan dulu. Ini lebih penting.”
Nyonya Nugraha mengatup mulut. Sudah biasa dia melihat bungsunya tipis sumbu, tapi malam ini, seperti ada yang berbeda. Bahari Nugraha duduk menghadapnya dengan tekad yang tersirat di mata.
Pemandangan ini, persis sekali dengan apa yang dilihatnya satu dekade lalu. Saat Banu memohon untuk memilih jurusan abstrak antah-berantah bernama Antropologi itu.
“Pi ….” Nyonya Nugraha menoleh ke arah suaminya, yang tampaknya sudah mafhum membaca suasana.
Tuan Nugraha menyentuh dagunya, memperhatikan Banu yang duduk tegap seakan sedang menerka-nerka. Dua detik kemudian, dia bertanya dengan suara berat.
“Ada apa, Banu?”
Glek. Ada alasan kenapa Papi menjadi orang yang disegani oleh keluarga besar. Banu selalu merasakan itu saat perbincangan serius seperti ini.
“Jadi sebenarnya, begini ….”
Semua perhatian tertuju pada Banu, minus Cecil yang sepenuhnya tersihir nyanyian kepiting raksasa di TV. Lelaki itu pun menarik napas.
“Banu … ingin membatalkan hubungan dengan Olivia.”
Udara memadat. Tuan Nugraha menghela napas, sementara istrinya menutup mulut dengan mata melotot.
“Apa?! Kenapa? Mami kira sejauh ini kamu sudah suka sama dia. Kamu tahu nggak betapa susahnya mencarikan perempuan yang bisa jadi dekat sejauh ini, Ban?? Mau bilang apa Mami sama mamanya Olivia? Pasti nanti Mami dibuang sama teman-teman Mami, nggak jadi trip ke Korea tahun depan, dan —-”
“Mami.” Kali ini Tuan Nugraha yang menenangkan sang istri, menaruh satu tangan di bahunya. “Tahan dulu sebentar. Coba kita dengar alasan Bahari.”
Tuan Nugraha beralih pada anak bungsunya. “Coba jelaskan kenapa kamu nggak bisa go through sama Olivia, Banu.”
Sekilas, Banu melirik pada kakaknya, Misha. Ada sebuah anggukan halus di sana, tanda Banu sedang melakukan hal yang tepat.
“Banu … punya orang lain, Pi, Mi. Dia memang nggak sekaya keluarga Olivia, tapi dia cerdas luar biasa. Kita satu sekolah, dulu, dan sekarang jadi mahasiswa Banu.”
Papi dan Mami saling pandang mendengar penuturan si bungsu, namun seakan terpantik saklar yang menerangkan, Nyonya Nugraha beralih pada Misha.
“Ini … apa perempuan sama yang waktu itu kamu ceritain, Mis? Kamu udah tau?” tanya sang Mami.
Kak Misha tak menyangka kalau dia akan ikut ditembak begini rupa. Sambil menegakkan punggung, ibunda Cecil itu mengangguk dan menjawab, “Betul, Mi. Namanya Sabina. Waktu itu sempat ke rumah juga pas Mami sama Papi lagi seminar di Bali.”
Tatapan tajam Nyonya Nugraha kembali menghunus Banu.
“Apa maksudnya ini, Bahari?! Sejak kapan kamu pintar main kucing-kucingan sama Mami? Cepat ceritakan semuanya sejelas-jelasnya, SEKARANG JUGA!”
**
Malam semakin larut. Ruang keluarga Nugraha terasa tegang dengan penghuninya yang saling duduk berhadapan, antara dua anak; Misha dan Banu, di hadapan dua orang tuanya. Si kecil Cecil sudah diboyong ayahnya ke kamar untuk tidur.
Rasanya pemandangan ini tak jauh berbeda ketika mereka SD dulu, saat mereka gagal mendapat nilai sempurna dalam ujian.
“Jadi, keputusanmu sudah bulat, Bahari? Kamu tidak akan menyesal dengan pilihanmu?”
Banu merinding akan pertanyaan papinya. Pasalnya, dua menit lalu sang ayah memintanya untuk membayangkan skenario hidup di masa depan jika dia berakhir dengan satu dari perempuan itu; mana yang lebih baik untuknya dalam jangka panjang, anak tunggal dari seorang duda yang terseok-seok menempuh pendidikan strata satu, atau putri dari sebuah keluarga terpandang yang terjamin pendidikan, ekonomi, dan status sosialnya.
Tanpa ragu, si bungsu menyebut nama Bina. “Banu sudah yakin, Pi,” imbuhnya dengan tatapan pasti.
“Tapi, Ban ….” Sang Mami mulai lagi. Sudah selusin kali wanita itu mengujarkan argumen oposisi; tentang status, masa depan, dan potensi. Tak satu pun mampu membuat bungsunya goyah.
“Keputusan Banu sudah bulat, Mi,” pungkas si bungsu. Kalimat final itu membuat napas berat terhela dari arah papinya.
“Oke, kalau begitu.” Tuan Nugraha berujar, yang langsung diseloroh oleh istrinya.
“Pi—-”
“Tapi.” Tuan Nugraha melanjutkan. “Ada satu syarat.”
Baik Banu, sang Mami, dan Kak Misha yang sedari tadi menjadi penonton pasif kompak menahan napas menunggu vonis kepala keluarga mereka.
Banu, terutama, benar-benar membeku ketika teringat momen identik dengan apa yang terjadi saat dia masih SMA dulu. Saat dia hendak membuat keputusan yang mengubah hidupnya; tentang jurusan Antropologi.
Banu pun menelan ludah. Negosiasi dengan papinya tak pernah berjalan mudah. Selalu ada harga yang harus Banu tanggung.
**
[1377 Words]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top