25 · Jam Rawan
Coba jadi diriku sehari
Nanti juga kau pun mengerti
Rasanya lelah dipaksa hati
Harus ingat dirimu lagi
♪ Marion Jola, Nino — Jam Rawan
**
Minggu demi minggu berganti. Tanpa terasa, bulan terus bergulir. Waktu bisa mengubah banyak hal, termasuk Bina.
Walaupun rutinitasnya terlihat sama, sibuk mengetik di layar laptop hingga nyaris dini hari dan tidur pasca subuh dan akan bablas terus sampai sore, namun substansi dari apa yang dikerjakan Bina jauh berbeda dengan beberapa minggu (atau bulan) lalu.
Jika dulu-dulu Bina sibuk mengerjakan order-an translate lepas, kali ini Bina sibuk menekuri sebuah kegiatan mulia yang menjadi kewajibannya sebagai tahanan kampus, yakni mengetik skripsi. Wow, amazing. Sebuah kegiatan yang jika dibaca ketikannya mudah, tapi pada eksekusinya nauzubillah setengah mampus.
Jika Bina tidak disuntik semangat oleh geng Di Ujung Tanduk yang kerap menemaninya begadang di gurp WhatsApp (Dipa sih, biasanya, sambil VC juga kadang-kadang. Kalau Rani sih udah K.O sebelum tengah malam), rasanya Bina tidak akan se-on fire ini.
Ditambah lagi Pak Santo yang teramat sangat pengertian, instead of menunggu Bina menyiapkan sarapan di pagi hari, sang ayah malah menyiapkan sarapan untuk Bina (yang biasanya akan disantap oleh anak itu saat bangun di siang menuju sore hari, saat Pak Santo sudah berangkat ke situs).
Begitulah rutinitas Bina sehari-hari, selama hampir tiga minggu berturut-turut. Mendekam di kamarnya, tenggelam dalam buku sebagai referensi, jurnal sebagai acuan penelitian, laptop sebagai sarana merajut benang merah, dan matahari sebagai musuh utama.
Bina sedikit demi sedikit berubah menjadi zombi.
Hasilnya? Ohoho. Dengan bangga Bina bisa menyebutkan bahwa dirinya kini berada di penghujung bab tiga, hampir memasuki bab empat, yang mana melejit mendahului kedua temannya—Rani dan Dipa—yang masih harus bolak-balik revisi dan stuck di bab dua.
Tentu saja karena baik Rani maupun Dipa mengerjakan skripsi mereka dengan alur yang baik dan benar, bukan seperti Bina yang asal terobos terus, ngebut tanpa takut, gaspol rem blong. Dan tentu saja pula ada alasan di balik itu semua.
Kenyataan ini berbanding lurus dengan pernyataan yang Bina sebut kapan lalu pada Dipa, bahwa rencananya untuk menggarap skripsi ini sama sekali tidak akan melibatkan dosen pembimbing dua mereka, bapak Bahari Nugraha yang terhormat dan teramat menyebalkan.
Ah, mengingatnya saja Bina sudah menekuk dahi.
Seperti sekarang ini, ketika jemarinya yang tadinya berdansa salsa di atas keyboard, mendadak jadi berhenti karena teringat nama haram berinisial B itu. Buru-buru Bina menggeleng.
Diraihnya buku binder berisi catatan mind map tentang isi skripsinya dari bab dua ke belakang, sampai pada kesimpulan.
Dibolak-baliknya beberapa halaman yang dirasa krusial untuk membantunya kembali fokus, dan tiba-tiba saja sebuah kertas tipis terjatuh dari balik cover binder yang sudah cukup koyak itu.
Bina meraih kertas tersebut, sedikit mengerutkan kening ketika mendapati kertas itu adalah sebuah nota dari kafe bernama Semasa Bersama. Semuanya menjadi 'klik' seketika saat Bina membalik nota tersebut, dan mendapati sepuluh baris tulisan tangannya dengan judul yang menantang untuk dibaca: List dosa-dosa Bahari Nugraha.
Pikiran gadis itu pun berkelana menuju malam itu, di kafe Semasa Bersama, duduk berdua dengan Banu setelah berpisah sekian lama.
Rasanya saat itu semuanya baik-baik saja, saat mereka berdua bersepakat untuk 'berdamai' demi menuntaskan tugas masing-masing—Bina sebagai mahasiswa angkatan tua, dan Banu sebagai dosen pembimbingnya.
Tapi kenapa sekarang jadi begini? Kenapa malah melenceng sejauh ini? Bina tak habis pikir. Tanpa bisa menahan diri, pikirannya sudah menjalar jauh dari skripsi. Tengah malam menuju dini hari memanglah jam yang rawan untuk otak menjalankan fungsi sesuka hati.
Lagi ngapain ya, dia sekarang?
**
Banu menggeliat di atas ranjangnya. Baru beberapa detik lalu pikirannya mulai hanyut ke alam mimpi, eh tiba-tiba saja kesadarannya nyala kembali. Kini matanya malah tak mau terpejam sama sekali.
Dia meraih ponsel dan membuka jendela percakapan bersama Sabina. Terakhir kali gadis itu mengirim pesan, dia menanyakan posisi Banu ada di mana. Banu membalasnya, namun Bina hanya menghadiahi dengan centang dua.
Setelah itu, beberapa kali Banu mengirimi chat pada Bina, menanyakan progres skripsi gadis itu. Namun kali ini, centang dua itu tak pernah lagi berubah menjadi biru. Pun setiap kali Banu ke kampus, dia tak pernah melihat batang hidung gadis itu. Bina seperti hilang ditelan bumi.
Lelaki itu menghela napas. Inikah rasanya rindu?
Sekelebat bayangan wajah dengan senyum yang sudah berminggu-minggu tak dia lihat nyata itu mampir sebentar, membuat alis Banu terpaut gusar.
Bina, pikirnya. Dia lagi ngapain ya, kira-kira?
**
Pagi itu Banu turun dari kamarnya dengan perawakan setengah hidup setengah mati. Matanya sayu, wajahnya kuyu. Sang bungsu duduk di meja makan dan menyesap kopi yang disediakan oleh ART keluarganya, dengan loyo meraih sepiring nasi dan mulai menyendok nasi goreng di atas meja.
"Kamu sakit, Ban?" tanya Kak Misha sekilas sambil meramu susu formula di dalam dot bayi.
Banu menoleh sekilas sambil menggeleng. "Ngga, Kak. Cuma kurang tidur aja."
"Kamu nggak tidur lagi?" balas Kak Misha sambil mulai mengocok botol susu.
Sang adik tak menanggapi, lebih memilih fokus pada sarapannya sendiri. Pagi ini Banu sudah bersiap dengan kemeja rapi dan sepatu pantofel yang siap berjaga di rak dekat pintu.
"Memangnya kamu mau hidup begini terus, Banu? Ngebohongin hati sendiri?" celetuk Kak Misha sambil lewat di belakang Banu, menyebrangi meja makan.
Banu masih tak merespons. Lelaki itu berusaha menebalkan telinga, namun tak ayal perkataan sang kakak kemudian membuat Banu terenyuh seketika.
"Mau sampai kapan, Ban? Mau nunggu dia lulus? Atau sembilan tahun lagi? Gimana kalo semisal nggak ada kesempatan lagi buat kamu ketemu Bina setelah semua ini selesai?"
Kak Misha berjalan lalu meninggalkan dapur dan ruang makan. Banu sudah kehilangan selera sama sekali. Diputuskannya untuk meneguk kopi pahit hitam, yang entah kenapa tidak terasa sepahit kenyataan yang sedang berusaha ditelannya detik itu.
Tak lama berselang, Nyonya Nugraha tiba dengan sepiring buah-buahan potong.
"Banu, kamu hari ini ke kampus?" tanya sang mami ke arah anak lelakinya, yang kini sedang berusaha menuntaskan porsi sarapannya dengan buru-buru. Belakangan ini Banu malas sekali berinteraksi dengan maminya, sebab ujung-ujungnya selalu ....
"Nanti kamu berangkat bareng Olivia lagi, 'kan?"
Ah. Sudah kuduga, pikir Banu. Selalu saja, setiap Banu hendak keluar rumah, nama Olivia selalu dilontarkan bersamaan dengan kata pengantar sang mami.
"Iya, Mi," jawab Banu setengah tak berselera.
Semenjak 'kencan' yang dianggap sukses oleh kedua mami Banu dan Oliv (hasil kongkalikong tempo hari, Banu mengantar Oliv ke rumah pacarnya, dan menjemput gadis itu setelahnya), tampaknya duo ibu-ibu itu semakin gencar mendekatkan anak mereka.
Contoh simpelnya adalah pagi ini, seperti pagi-pagi yang lain, di mana Banu diwajibkan mengantar jemput Olivia atas titah sang mami.
Bukannya Banu keberatan. Yah, walaupun kalau boleh jujur, menjemput Olivia biasanya akan berakhir dengan drama pinggir jalan, sebab Olivia kerap minta diturunkan setelah Banu setor muka ke maminya dan akan berakhir dijemput cowoknya yang ternyata sangat posesif (terlepas dari Oliv yang berusaha mengenalkan Banu dan menjelaskan bahwa 'dia itu modelan bapak-bapak dosen di kampus yang bukan tipe aku banget', namun tetap saja cowok bermobil Pajero itu selalu melirik Banu dengan pandangan tak suka).
Yah, intinya, itu cukup memakan waktu sehingga Banu harus rela berangkat lebih pagi.
"Pamit berangkat dulu, Mi." Banu mencium singkat pipi Nyonya Nugraha sebelum melesat ke balik kemudi. Rasanya pagi ini tak banyak yang beda dari kegiatannya belakangan ini, dalam kehidupannya yang perlahan mulai terasa mati.
Saat lampu merah berkedip, dan lamunan Banu mulai mengambag, rangkaian kalimat Kak Misha sedikit menggaung di kepalanya tanpa bisa dicegah.
"Memangnya kamu mau hidup begini terus, Banu? Ngebohongin hati sendiri?"
"Mau sampai kapan, Ban? Mau nunggu dia lulus? Atau sembilan tahun lagi? Gimana kalo semisal nggak ada kesempatan lagi buat kamu ketemu Bina setelah semua ini selesai?"
Ah, sial. Kakak dengan profesi ahli nujum akal manusia itu memang terkadang bisa terlalu peka.
**
[1216 Words]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top