23 · Ayam Gurinjay
[Kamu sibuk?]
Dua kata pendek itu berkedip di layar ponsel Banu, namun lelaki itu bukannya membuka dan membalas dengan segera, melainkan malah menelungkupkan gawai tersebut sambil memijit pelipisnya.
Butuh ego yang tinggi juga self control setingkat dewa untuk tidak membuka notifikasi pesan dari nama orang yang beberapa hari ini tinggal bebas dalam kepalanya, dan itu membuat Banu menjadi pening.
Tak pernah disangka seumur hidupnya, bahwa masalah hati bisa memberikan damage ke otak. Ajaib.
Saat tengah menikmati kepusingan yang hakiki itu, Banu dikejutkan dengan getaran ponselnya yang berbunyi tiba-tiba, tanda ada sebuah panggilan masuk.
Bina? pikir Banu.
Ternyata bukan. Sebuah nomor asing tak dikenal menyambut pandangannya. Dengan satu alis terangkat, Banu mengangkat panggilan itu.
"Halo?" ucapnya.
"Halo ... ini benar nomornya Bahari, ya?"
Suara penelepon terdengar dari seberang sana. Seorang perempuan.
"Ya, benar. Ini siapa?"
"Oh, okay. Hai, ini Olivia. Maaf sebelumnya, tadi Tante Nugraha yang ngasih nomor kamu dan nyuruh saya ngehubungin langsung, jadi ...."
Banu menggerang tanpa suara. Maminya telah berbuat sesuatu yang baru, lebih berani, dan 100% sukses membuat Banu naik pitam.
Bisa-bisanya Mami ngasih nomorku ke perempuan random kandidat jodoh-jodohannya, batin Banu nelangsa. Tapi ya sudahlah, ini resiko yang harus ditelannya bulat-bulat karena mengiyakan sang mami.
"Hmh, gitu. Okay. Ada yang bisa saya bantu?" gumam Banu akhirnya.
Dia menyerah, mengalah, dan memutuskan untuk mengikuti alur permainan Maminya. Toh ini juga sudah jadi keputusannya.
Keputusan untuk melepaskan Bina.
**
Sepanjang Banu hidup di bumi, tak pernah terpikirkan olehnya untuk menjadi mengantar jemput perempuan selain Kak Misha, maminya, dan ... Bina.
Ah, tapi kali ini beda. Ini semua demi usaha Banu untuk mengupayakan hidup lebih baik bagi Bina. Supaya gadis itu terputus dari rantai penderitaan yang disebabkan olehnya.
Aduh, kok Bina terus yang dibahas, ya? Padahal ada seseorang yang duduk tepat di kursi samping Banu.
Namanya Olivia. Banu baru saja menjemput perempuan itu dari rumahnya. Petang ini, mereka 'dipaksa' untuk keluar berdua oleh kedua mami mereka.
Kalau boleh jujur, Banu sebagai cowok normal bisa menilai Olivia ini bertampang jauh dari kata jelek. Rapi, wangi, dan berpoles make up yang sempurna.
Perempuan itu berkulit putih dengan undertone kemerahan, wajar saja karena ditilik dari garis wajahnya yang terkesan Indo, jelas sekali Olivia ini pasti mempunyai darah ras asing pada dirinya. Dari negara mana, Banu belum tau. Dia tidak bertanya.
Rambut Olivia ikal kecoklatan, hasil curling-an selevel salon, dengan anak-anak rambut yang meliuk membingkai wajahnya yang tertunduk, bermain ponsel.
Banu sendiri tetap memandang lurus ke jalanan raya. Setelah delapan menit berdiam tanpa tegur sapa, juga tanpa tujuan pergi, akhirnya sang supir slash tumbal perjodohan maminya itu buka suara.
"Jadi ...." Banu berdeham pelan. "Ini kita ke mana?"
Olivia mengangkat wajah dari ponselnya. Mata lentiknya yang ditanami lash extension berkedip sedetik melirik ke arah Banu, lalu kabur ke sisi jendela.
"Beats me. Mana aja deh, asal jangan balik cepet-cepet. Males banget kalo sampe rumah dibawelin nyokap lagi. Kuping gue udah panas. Aren't you too?"
Banu tertegun sesaat mendengar intonasi Olivia. Lelaki itu tergagap sebelum membuka mulutnya.
"Kenapa?" pungkas Olivia sedetik sebelum Banu mengeluarkan suara. "Kaget, liat gue aslinya?"
Banu memiringkan kepalanya. "Yah ... sedikit."
"Sedikit, gimana?" tuntut Olvia. Banu sontak menggeleng singkat.
"Di telepon itu, kamu ... sopan sekali. Pake 'saya' ngomongnya, nada suaranya juga lembut. Sekarang jadi ... beda," simpul Banu sambil memelankan laju mobilnya. Lampu merah nyalang menyela di depan mereka.
"Gitu, ya?" Olivia menyandarkan punggung. "Pas di telepon itu, gue ngomongnya di depan nyokap. Bakal disemprot lah kalo nggak bersopan-santun sama 'calon suami'."
Banu hampir menabrakkan bumper mobilnya akibat kata-kata Olivia. Sedetik kemudian, terdengar suara tawa renyah yang membahana.
"HAHAHAHAH! Santai aja lah, anjir. Gue juga nggak terlalu pengen kok dijodoh-jodohin gini. Jalanin aja biar nggak diomelin terus sama nyokap."
Banu kembali tertegun. Cara bicara Olivia yang ternyata lepas itu sedikit mengingatkannya pada seseorang. Seorang gadis yang sedang mati-matian berusaha dia lupakan.
"Jadi, Olivia—"
"Panggil gue Oliv aja, biar nggak kepanjangan," potong perempuan itu.
"Oke ... Oliv. Kita belum mutusin nih, ini tujuan kita mau ke mana?" Banu kembali melajukan mobil, menuruti hukum lalu lintas dengan lampu yang berkedip hijau.
Olivia memiringkan bibirnya sejenak. Ponsel dalam genggaman gadis itu Kembali bergetar. Sebuah pesan menyala di notifikasinya. Cewek itu mengabaikannya.
"Emmm ... sebenernya gue nggak enak sih mau ngomong gini sama lo, Ban. Tapi, bisa nggak lo anter gue ke daerah Cempaka?"
Ponsel Oliv Kembali bergetar.
"Cempaka?" Banu menoleh. "Boleh aja, tapi ngapain kita ke sana?"
Olivia meringis tanda tak enak. "Sebenernya ... gue mau ke tempat cowok gue."
"Ah." Banu mengangguk. Ternyata nona manis di sebelahnya sengaja berdandan sedemikian cantik dan glamor untuk bertemu pujaan hatinya.
"Sure, kita ke Cempaka." Banu berkata tanpa beban sama sekali.
"Nanti turunin gue di depan gedung apartemen yang deket minimarket sana aja," lanjut Olivia. Kali ini cewek itu sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya.
"Oke," jawab Banu.
"Oh, dan satu lagi. Banu, would you please don't tell our mom about this?"
"Of course."
**
Banu tidak keberatan untuk berbuat baik sekali-kali, membantu orang yang membutuhkan, meringankan urusan mereka.
Tapi demi Tuhan, daerah Cempaka tempat Olivia minta di-drop itu jauhnya nauzubillah sekali! Belum lagi macet yang menghambat mobil Banu saat berangkat dan pulang dari tempat itu. Kalau ditotal, sudah lebih dari dua jam lelaki itu terjebak di balik setir.
Di tengah perjalanan pulang, Banu merasa lapar. Dia pun menepi ke sebuah restoran yang parkirannya terlihat paling lapang. Ada beberapa belas motor, dan hanya segelintir mobil.
Ketika memasuki memasuki restoran itu; sebuah rumah makan dengan aksen kayu kekuningan dan besi-kusen hitam pekat yang kontras, Banu berniat langsung mencari buku menu.
Namun alih-alih, pandangannya bersirobok dengan pemandangan yang membuatnya mengutuk keputusannya hari ini—mengutuki pula keputusannya kemarin lusa yang menerima agenda jodoh-jodohan ala maminya dengan mentah.
Terkadang kita butuh kehilangan untuk bisa sadar betapa berharganya apa yang tadinya bisa kita genggam dengan mudah—meskipun kita sekuat tenaga telah berusaha untuk melepaskannya.
Terkadang kita butuh pembanding untuk bisa menimbang rasa, apa yang tadinya kita anggap tak ada, tiba-tiba saja bisa terpampang nyata.
Seperti yang Banu lihat dengan mata kepalanya sendiri saat ini. Bina, Pak Santo, dan Dipa yang duduk di satu meja. Nyata, berkumpul bersama, dan hal itu membuat dada Banu bergemuruh luar biasa.
Banu tidak terima.
Detik itu juga Banu merasa salah. Ini salah. Posisi ini salah.
Nggak seharusnya Bina duduk di sana, di sebelah ayahnya dan berhadapan dengan bocah itu—Pranadipa—sambil tersenyum hangat membicarakan entah apa.
Nggak seharusnya Banu memilih tempat ini, menjadi saksi dungu akan kemajuan hubungan gadis yang paling diinginkannya itu dengan orang lain. Pikiran Banu jadi berkelana sampai sejauh mana hubungan mereka di balik permukaan.
Apakah Pranadipa bisa membuah Bina gelisah, sesak napas, dan ingin mati seperti yang dirasakannya saat ini?
Sialan. Banu jadi sadar, bahwa nggak seharusnya pula dia menyetujui ide maminya untuk berkenalan dengan Olivia, perempuan yang jelas-jelas dia tau tak akan bisa membuatnya merasakan apa yang sekarang dia rasakan.
Banu sadar saat itu juga, ditengah gemuruh riuh siklon internal yang tak terjamah telinga manusia selain dirinya, bahwa Banu jatuh cinta.
Banu hanya mau satu—yaitu Bina, bukan Olivia. Banu ingin berada di posisi Pranadipa, duduk dengan senyum lepas tanpa harus menekan beban hati, membohongi apa maunya nurani.
Lelaki itu pun segera keluar dari restoran Ayam Gurinjay tanpa mengindahkan pramusaji yang sudah menyapanya.
Sambil melangkah menuju mobilnya, Banu merasa ucapan Bina sembilan tahun lalu itu benar adanya.
Dia, Bahari Nugraha, adalah cowok paling bodoh se-Indonesia Raya.
**
[1217 Words]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top