19 · Sempro dan Roti

Seminggu belakangan ini, Sabina sibuk mempersiapkan Sempro-nya. Mulai dari surat-surat, dokumen-dokumen, mengirim undangan pada dua Dosen Penguji, sampai me-laundry khusus jas almamaternya yang tidak selamat meski sudah disetrika ayahnya; terlalu lecek terlipat di laci pakaian dalam dan berbau kapur barus.

Persiapan Bina tak hanya sebatas hal-hal teknis seperti di atas, namun juga printilan non-teknis seperti persiapan mental (Bina sampai minta maaf ke ayahnya, teman-teman seangkatannya, dan memposting permintaan maaf di wall sosial medianya seakan dia makhluk paling berdosa, supaya dipermudah segala urusannya).

Bina juga mempelajari ulang proposal skripsinya sendiri, membaca dari depan ke belakang, belakang ke depan, bolak lalu balik, sampai hafal beberapa inti kalimat di bagian latar belakangnya.

Kalau mau dirasa, rasa-rasanya persiapan Bina ini sudah lebih dari cukup.

Namun tetap ada satu hal yang lumayan mengganjal di benaknya.

Banu. Dosen pembimbing dua itu semakin hari tampaknya semakin ... jauh, dari jangkauan Bina. Gadis itu sadar dia telah (sedikit) berkelakuan kurang ajar ketika membentak Banu di telepon tempo hari. Dia tidak sopan. Dia sedikit baper, karena Banu terkesan sama sekali meremehkan pencapaiannya.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, omongan Banu tidak sepenuhnya salah. Bina terlalu gampang merasa girang, terlalu larut dalam rasa senang, padahal semua ini baru permulaan.

Itulah sebabnya Bina menyempatkan diri mengirimkan satu pesan permintaan maaf pada sang dosbing eks-teman sekelasnya itu, tepat setelah Bina kembali dari Past Tense Coffee dan menghabiskan dua porsi potato wedges dan satu piring potato gratin hasil malakin Dipa.

Namun pesan itu tak berbalas. Hanya dua centang biru yang menyala, dan status Banu yang sesekali online tanpa pernah berubah menjadi typing.

Bina merasa sedikit tersinggung. Jelas sekali Banu mengabaikannya.

Tapi toh, gadis itu merasa tak berhak untuk menutut respons balasan, sebab yang dia kirim hanya sepotong kalimat 'maaf ya, Banu, tadi kata-kata aku ngga enak. Kamu ada benernya juga si, hehe. Maaf juga aku lama balas pesan kamu'.

Namun rupanya, itu baru permulaan saja.

Selain dari Banu yang mulai alpa dalam membalas pesan Bina—palingan sesekali saja jika dirasa perlu sekali, dibalas 'iya' atau 'oke'—dosbing itu juga mulai mengacuhkan Bina ketika mereka berpapasan di kampus.

Hal itu lantas membuat Bina bingung. Bagaimana posisinya dia menempatkan diri?

Di kampus, jelas dia berperan sebagai mahasiswa bimbingan Banu. Dan hal itu tidak melegalkan gadis itu untuk seenaknya menyapa sang dosen dengan nama panggilan ringan layaknya mereka berteman dekat.

Pun kalau Bina menempatkan diri dalam posisi teman lama—yang sudah dimentahkan sendiri olehnya jauh-jauh hari, mulai dari mereka pertama kali bertemu kembali—rasanya kok ... Bina seperti menjilat ludah sendiri?

Huek. Jijik. Gengsi juga.

Maka pada akhirnya, interaksi antara Bina dan Banu menjadi hambar, seperti sayur bening yang tak diberi garam.

Kalau boleh jujur, Bina merasa ada sesuatu yang janggal—sesuatu yang mengganjal yang menjadi penyebab berubahnya sikap Banu terhadapnya.

Namun apa pun itu, bagaimana cara membenahinya, Bina merasa perlu menunggu dulu. Sebab fokusnya kini hanya satu: Sempro.

Masalah Banu, Bina yakin masih bisa ditunda.

Toh lelaki itu juga yang mengajarkan Bina bahwa di hidup ini ada yang namanya skala prioritas, dan untuk saat ini, perasaan Banu bukanlah prioritas utama.

Iya, 'kan?

**

Bina buru-buru berlari melintasi lapangan parkir Fakultas Ilmu Budaya.

Arloji perak di pergelangan tangannya menunjukkan waktu belum genap pukul 8 pagi. Namun gawat! Dia harus sudah tiba di ruang jurusan sebelum pukul 8.10.

"Bina! Di situ kamu rupanya ... astagaa, yang mau Sempro kok malah hampir telat."

Rani tersenyum dengan wajah berbalut jilbab pashmina, cerah seperti biasa. Calon ibu muda tersebut baru saja menuntaskan Sempro-nya kemarin lusa.

"Udah sarapan belum? Nih." Dipa menyodorkan sebuah roti minimarket isi selai kacang. Tanpa sungkan, Bina menyahut pemberian Dipa. Gadis itu memang belum mengisi perut.

"Thanks," ucap Bina dengan mulut penuh gigitan roti. Gadis itu berusaha meredakan debaran jantung yang menderu kencang—bukan, bukan karena doki-doki sama Dipa, sumpah!

Bina cuma nervous parah karena barusan melihat Pak Pranoto, Banu, dan dua dosen penguji baru saja memasuki ruang jurusan. Bina sadar ajalnya tinggal sebentar lagi.

"Udah, Bin, makan dulu aja. Daripada kamu pingsan di dalem nanti." Rani memperingatkan ketika Bina melongo terlalu lama memandangi pintu jurusan.

"Oh, iyaya," jawab Bina kembali, masih dengan mulut penuh.

Gadis itu lantas menarik napas dan lanjut mengunyah. Baru beberapa detik menikmati roti isi selai kacang itu, tiba-tiba pintu ruang jurusan terbuka.

"Sabina! Harap segera masuk." Bahari Nugraha memanggil dengan tubuh setengah keluar dari pintu.

UHUK!!

Bina tersedak seketika.

**

"Selamat pagi, saudara-saudara sekalian ... pada pagi yang berbahagia ini, marilah kita buka agenda Seminar Proposal oleh Saudara Sabina ini dengan bacaan basmalah bersama-sama ...."

Suara tenang dan kalem yang dikumandangkan oleh Pak Pranoto, dosen pembimbing akademis Bina, sedikit banyak mampu membuat gadis itu merasakan kadar kegugupannya mereda sedikit. Sedikit, loh ya.

Bina didudukkan di sebuah kursi tunggal di ujung meja panjang, yang terletak di tengah-tengah ruang jurusan. Pada masing-masing sisi kanan-kiri meja, terdapat masing-masing dua dosen penguji (Bu Astari dan Pak Sariani) serta dua dosen pembimbing (Pak Pranoto dan Banu).

Ah, Banu.

Saat memasuki ruangan ini tadi, Bina sempat melayangkan pandang dan senyum ke arah Banu. Namun rupanya dosen muda itu tidak menanggapi gestur ramah Bina sama sekali.

Boro-boro tersenyum balik, memandang Bina saja tidak. Pak Bahari yang terhormat malah langsung saja melengoskan muka, tak sudi bersirobok.

Dih, kesel anjir.

Namun Bisa berusaha bersikap profesional, sesuai dengan profesinya sebagai mahasiswa pesakitan yang harus menyeminarkan proposal skripsinya sebaik mungkin.

Setelah beberapa sambutan lainnya, sebuah kalimat ajaib akhirnya keluar juga dari mulut Pak Pranoto.

"Baiklah, Saudara Sabina, kami beri waktu sepuluh sampai lima belas menit untuk menjelaskan secara runtut, apa kira-kira isi dari proposal Saudara. Silakan ...."

Bina menarik napas. Dengan tangan agak gemetaran, gadis itu mulai menjabarkan penelitiannya mulai dari judul; mengapa Bina mengangkat judul itu, apa urgensinya, apa manfaatnya bagi khasanah keilmuan dan kehidupan kemanusiaan.

Pak Pranoto, pembimbing satu yang menjelma menjadi moderator Sempro itu diam mendengarkan, begitu juga dua dosen penguji; Bu Astari dan Pak Sariani. Dua dosen sepuh yang masing-masing mempunyai keahlian dalam bidang Sejarah Budaya (semi Antropologi) dan Sejarah Pedesaan.

Sementara Banu, sebagai pembimbing dua, menjelma menjadi notulen Sempro, mencatat garis besar penjelasan Bina—memastikan apakah sejalan dengan proposal yang dia tulis atau melenceng dengan bebasnya.

Pada penghujung penjelasan, kalimat-kalimat Bina mulai luruh dan lancar—semuanya menjadi padu, semua usaha belajarnya, begadangnya, pontang-pantingnya mengurus surat di akademik, terwujud dalam bentuk penjabaran yang runtut.

Akhirnya, gadis itu menutup dengan satu kalimat utuh.

"Demikian, Bapak Ibu sekalian, saya rasa penelitian saya ini layak untuk dipertimbangkan—untuk dilanjutkan, sebab seperti yang telah saya jabarkan tadi, kita bisa mengenal identitas bangsa sendiri itu dimulai dari sekarang, di sini, melalui topik yang saya angkat ini."

Pak Pranoto mengangguk mafhum, Banu mencatat dengan diam, sementara dua dosen penguji tampak sudah siap melontarkan pertanyaan.

"Baiklah, Sabina, terima kasih atas penjabarannya. Selanjutnya, saya akan persilakan Bapak-Ibu dosen penguji untuk mengajukan pertanyaan atas rancangan penelitian Saudara. Apakah Saudara siap?"

Glek. Bina menelan ludah dengan susah payah. Tiba-tiba perutnya terasa melilit. Setengah meregang nyawa, gadis itu mengangguk.

"Iya, Pak ...."

**

[1193 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top