18 · Potato Night
Petaka sepertinya sangat suka mengusili gadis bernama Sabina.
Sore itu, sembari tenggelam dalam kasur berlapiskan tumpukan baju yang belum sempat dibenahinya, ponsel Bina berbunyi ditengah riweuh-nya keadaan.
Serampangan, gadis itu berusaha mencari gawai tersebut di antara belasan baju, celana, dan hanger yang berserakan.
Akhirnya Bina menemukan ponsel itu di balik bantal tidurnya.
"Halo," jawab gadis itu tanpa sempat melihat terlebih dahulu nama yang terpampang di layar. "Dip, bentar ya, aku lagi siap-siap nih. Janjinya kan jam tujuh, masih lam—"
"Bina?" Suara Banu terdengar bingung. "Kamu mau keluar?"
"E-eh ...." Gadis itu sempat terbata sedetik. "I-iya, Ban ... aku mau keluar sama Dipa."
"Kenapa?"
"Hah? Apanya kenapa?" Perhatian Bina terbelah karena gadis itu sedang mencari sesuatu di tumpukan baju. Mana sih kulot Uniqlo-ku yang lucu itu?
"Kenapa kamu keluar sama Dipa? Apa karena proposal kamu habis di-ACC sama Pak Pranoto? Mau selebrasi, gitu?" tebak Banu dari ujung sana.
Bina menghela napas.
"Iya, betul. Kenapa, Ban? Ada apa kamu nelepon—"
"It's too early for a celebration, Bin. Sempro itu baru permulaan, bukan akhir yang pantas diselenggarakan."
"Apa?" sentak Bina tak terima. Gadis itu membanting celana yang baru saja ditariknya dari tumpukan baju.
"Anda memang punya otoritas sama skripsi saya, tapi Anda nggak ada urusan sama kehidupan pribadi saya ya, Bapak Dosbing yang terhormat." Napas Bina terburu.
Entah kenapa ucapan Banu tadi sukses membuat hatinya dongkol setengah mati. Bukannya ngedukung, malah ngejatohin. Dasar Banu bodo!
"Bin—"
"Sekecil apapun progres yang udah aku lalui, itu menurut aku berhak dihargai ya—terutama sama orang yang ngerti perjuanganku itu. Orang yang menghargai usahaku," potong Bina di tengah kalimat lawan bicaranya.
"Aku kecewa karena ternyata orang itu bukan kamu," imbuh Bina kemudian, dengan kalimat lirih setengah berbisik, sambil menjauhkan ponsel dari sisi wajahnya.
Terdengar suara Banu yang memanggil-manggil namanya dari panggilan telepon, namun Bina keburu menekan tombol merah, mengakhiri sambungan itu.
Beberapa detik kemudian, ponselnya berkedip dengan satu notifikasi pesan yang terpampang di layarnya yang terkunci. Dari Banu.
[Maaf, Bina. Tadi niat aku nelepon kamu itu untuk ngucapin selamat, karena aku dengar kabar dari Pak Pranoto kalau proposalmu sudah di-ACC. Itu aja. Maaf kalau tidak tersampaikan dengan baik. Congratulations, Sabina.]
Tanpa membalas pesan itu, Bina memadamkan layar dengan satu tekan tombol kunci.
Bina kesal sekali. Banu adalah manusia paling payah dalam sejarah mengucapkan kata 'selamat' sepanjang masa.
**
Suasana Past Tense Coffee masih syahdu seperti pertama kali Bina menginjakkan kaki di tempat ini, harga-harga menunya pun masih tetap nauzubillah mahalnya. Yang sangat mengejutkan (dan membuat Bina tertawa kecil) adalah tema promo malam itu: Potato Night! All potato menus will be served with a 50% discount!
Malam ini, Bina memasuki Past Tense Coffee dibimbing oleh Dipa, 'kang traktir sekaligus ojek dadakan yang menjemputnya dari rumah tadi.
Sejujurnya, mood Bina sedang serampangan di berbagai tempat sekarang.
Kesal, iya, karena sisa-sisa emosi atas perlakuan Banu di telepon tadi, yang terkesan sama sekali mendiskreditkan usahanya.
Senang, iya juga, karena bisa makan kentang gratis malam ini.
Rikuh, iya, sedikit. Sebab entah kenapa, mungkin efek mau mentraktir Bina sekaligus sudah mau repot-repot menjemputnya, Dipa terlihat begitu lumayan malam ini, dengan sweater biru tuanya dan celana jeans serta wajah yang seraya tersenyum.
Bina jadi bertanya-tanya, apakah pembicaraan mereka di perpus jurusan memberikan efek semengganggu ini pada Dipa, seperti halnya pada Bina.
"Duduk situ, yuk. Lo pesen minum aja dulu, sama makan juga ... ah, apa aja yang lo mau, deh. Gue mau manggung bentar, oke?" ucap Dipa sambil mempersilakan Bina duduk.
Gadis itu menurut, meraih buku menu yang terlentang di atas meja tanpa sungkan sama sekali. Bina pun mulai memilih pesanan.
Sebenarnya, perlakuan Dipa yang terkesan santai dan tak terbebani sedikit banyak membuat Bina berpikir, jangan-jangan memang ini perasaannya saja, merasa kege-eran dan besar kepala, dibaikin teman seangkatan sedikit saja, eh udah ngira yang enggak-enggak.
Entah mengapa pikiran itu membuat Bina mengembus napas lega.
Minuman pesanan Bina tiba bersamaan dengan Dipa yang mengadakan mic test di atas panggung. Cowok itu tersenyum dengan (sedikit) manis, sedetik ke arah Bina. Gadis itu refleks segera menyeruput iced latte pesanannya.
Suara Dipa yang jinak dan sopan masuk ke telinga bersamaan dengan instrumen gitar yang mengiringi. Lagu yang dibawakannya kali ini terdengar lebih ... optimistik, meskipun dibawakan dengan tempo yang kalem dan slow, namun jelas terbesit sedikit harapan dalam lirik yang disuarakannya.
"I gave the whole of me to someone I can't see again.
I gave my all, my all it died in vain.
And I was lost, was feelin' nothin'.
I'm tryin' to get up again.
I wanna be myself, again."
"I'm on my way, my way.
I don't know where I'm goin', but I'm happier today ...."
Bina tersenyum tanpa diminta, tanpa diproses otaknya. Setengah sadar dia menghabiskan iced latte dari gelas, setengah autopilot dia mencomot potato wedges dari piring.
Konsentrasi Bina penuh terarah pada panggung—pada Dipa—sehingga tak menyadari adanya getaran ponsel miliknya yang telungkup di atas meja.
Kombinasi suara musik yang memenuhi telinga dan hiruk pikuk suasana kafe membuat vibrasi sang gawai terindahkan sepenuhnya.
Tanpa gadis itu sadar, seseorang sedang memperhatikannya dari sudut ruangan. Seseorang yang menggenggam ponsel di sisi wajahnya.
**
Banu merasa dirinya hampir jadi gila. Sepanjang seperempat abad hidup di dunia, tak pernah dirinya dibuat seuring-uringan ini.
Panggilan telepon yang impulsif itu, yang tadinya merupakan upaya untuk mengucapkan selamat atas di-ACC-nya proposal skripsi Bina itu, malah berujung dibumbui emosi impulsif yang sungguh-sungguh tak perlu—tak disaring sama sekali keluar dari mulutnya—sehingga membuat sederet pesan panjang yang dikirimkannya pada Bina berujung pada dua centang biru tanpa balasan apa-apa.
Berbekal intuisi dan otak yang setengah gila, Banu menyetir mobilnya menuju Past Tense Coffee. Dan dia sama sekali tidak mempersiapkan diri (atau malah sebenarnya berharap ini terjadi?) ketika mendapati, lagi-lagi, pemandangan yang hampir sama. Bina yang duduk termangu memandangi Dipa yang menyanyikan lagu.
Dengan tangan mengepal, Banu buru-buru menarik napas. Entah ini efek apa, emosi yang mengalahkan logika atau memang logikanya yang sudah hengkang dari kepala, Banu akhirnya mengeluarkan ponsel dari sakunya.
Satu tekan pada tombol dial membawa panggilan Banu menuju ponsel Bina. Cowok itu bisa dengan jelas melihat Bina yang duduk di sana, tak menggubris adanya getaran ponselnya sama sekali. Mata gadis itu tetap tertuju pada satu orang.
Sial! maki Banu dalam hati. Ditekannya tombol merah pada ponsel itu.
Detik itu juga, dia merasa menjelma sebagai pecundang paling payah di seluruh dunia.
Untuk apa dia ke sini? Untuk apa dia menelepon? Dan sejak kapan perilakunya jadi seperti stalker kesetanan begini?
Banu membuang muka, seiring tamparan kesadaran menyambarnya saat itu juga.
Shit! Kenapa aku jadi begini?
Sabina ... what have you done to me?
Dengan air muka surut dan pikiran yang kalut, lelaki itu memutuskan bahwa apa yang dilakukannya malam ini—kebodohan yang mengikuti impulsivitas hati ini—tak boleh terjadi lagi.
Tidak boleh, sama sekali!
**
[1067 Words]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top