07 · Latar Belakang

Hari Senin tiba dengan terlalu cepat.

Belum puas seorang Bina rebahan sepanjang weekend, kesenangannya itu harus berakhir dengan pertanyaan dari ayahnya.

"Kamu hari ini ke kampus 'kan, Bin? Apa nanti sempat makan siang bareng Ayah?" Pak Santo sedang menemani Bina menyiapkan sarapan untuk mereka—nasi goreng bawang dengan telur mata sapi.

"Belum tau, Ayah. Nanti Bina kabarin lewat WA ya," jawab gadis semata wayang sambil menuangkan air putih ke dalam gelas.

"Kalau nggak bisa juga jangan dipaksakan, Bin, kita kan masih bisa makan malam bareng di rumah."

Bina berdecak. "Ayah lupa ya, apa pesan Bunda dulu? Bunda bilang selama kita masih hidup berdampingan, sebisa mungkin kita harus makan sama-sama."

Sang ayah tersenyum mendapati anak gadisnya yang semakin hari semakin mirip mendiang istrinya itu. Dadanya sontak merasa sesak dan haru, haru akan rindu yang tertumpuk dan tak terbalaskan sejak empat tahun yang lalu.

Bina sedang menempuh KKN ketika Tuhan memanggil sang Bunda. Penyakit paru obstruktif kronik menjadi pemicunya, sebab kakek Bina adalah perokok aktif, membuat sang Bunda—yang dari kecil telah menghidu asap tembakau—harus menutup usia di angka nyaris 50.

Bina dan ayahnya memang sangat menyayangi Bunda, tapi sepertinya Sang Maha Penyayang lebih menghendaki Bunda untuk berada di sisi-Nya.

"Ayah, kenapa nangis? Inget Bunda, ya?" tanya Bina tepat sasaran, membuat Pak Santo melepas kacamata yang entah sejak kapan berembun.

"Iya ... Ayah kangen," lirihnya sambil mengusap mata. Bina refleks menggenggam punggung tangan sang ayah.

"Ayah, mau ke makam Bunda, nggak? Nanti Bina temenin," tawar gadis itu dengan nada menenangkan.

Pak Santo mengangguk sambil bergumam 'iya', seiring mereka melanjutkan sarapan yang sempat tertunda.

Senin pagi yang tak dinantikan sama sekali oleh Bina itu pun berubah menjadi biru. Dan dengan itu, sebuah suara kecil berbisik dalam benak gadis itu.

Bunda ... maaf selama ini Bina udah lalai.
Bunda pasti kecewa ya, lihat Bina?
Mulai sekarang, Bina akan menyelesaikan skripsi ini buat Bunda. Bina janji.

**

Cobaan hidup manusia yang sedang menuntut ilmu itu beragam sekali.

Seperti hari ini, saat Bina menyadari bahwa ternyata semesta itu lumayan kreatif dalam menguji niat dan kesungguhannya pasca mengucap janji 'selesaikan skripsi demi Bunda'.

Pasalnya, tiga puluh menit setelah ayahnya berangkat kerja, Bina yang hendak meluncur ke kampus harus berhadapan dengan si Beat motor matic yang mendadak ngambek. Tidak mau menyala.

Dengan dungu Bina memeriksa tangki bensin, menyoroti lubang hitam di dalam jok motor itu dengan flash dari ponselnya.

Cairan hijau-kebiruan menyambut cahaya flash tersebut, menandakan bensin masih cukup. Lalu dicobanya menyalakan dengan starter kaki, berkali-kali, tapi nihil. Terbatuk pun si Beat ogah. Satu-satunya yang Bina dapatkan dari usaha itu adalah dengkul yang nyut-nyutan, hampir keseleo.

Sepertinya yang masih kukuh ingin tidur di rumah ini bukan cuma Bina saja, tapi motornya juga.

Dengan putus asa, akhirnya Sabina memutar otak. Satu ide muncul dari tempurung kepalanya yang minta ditabok itu, sebab ide tersebut sama sekali tidak yahud, cenderung harus mengorbankan gengsi dan harga diri.

Tapi bukan Sabina namanya jika ragu-ragu dan punya malu.

Berharap ide ini akan berhasil, Sabina menghubungi seseorang dari ponselnya, seseorang yang Bina tau akan mempunyai tujuan sama: pergi ke kampus Universitas Jayanegara di hari itu.

**

Matahari sudah merangkak tinggi saat sebuah motor bebek menepi di depan halaman rumah Bina. Pengemudinya mengenakan helm teropong dan jaket, melayangkan pandangan mencari di mana kira-kira sosok Bina berada.

"Lama amat sih, Dipa!" ujar Sabina dari teras rumahnya. Gadis itu telah siap dengan helm terpasang di kepala.

"Udah ngerepotin, bawel pula. Dah buru naik!"

Pranadipa menaikkan kaca helm teropongnya, memperhatikan Bina yang memposisikan diri di jok penumpang dari kaca spion. Tampaknya dari senyum yang terplester di wajah Bina, gadis itu sama sekali tidak tersinggung akan sindiran Dipa.

"Yok jalan! Sesuai aplikasi ya, Bang!" ujar Bina dengan nada jenaka.

Maka dengan itu meluncurlah motor bebek Dipa, membelah jalanan kota menuju Universitas Jayanegara. Berboncengan di atasnya, dua manusia yang nasibnya sama-sama dikungkung skripsi; Bina si nyali api, dan Dipa sang mantan napi.

**

Setibanya di gedung FIB Universitas Jayanegara, Bina dan Dipa disambut oleh Rani yang telah siaga duduk di bangku tunggu depan ruang administrasi.

"Gimana, Rani? Kita disuruh ngapain aja?" tanya Bina yang langsung berjongkok di depan calon mamah muda. Dipa menyusul tak jauh di belakangnya.

"Kalian 'tuh dari mana aja sih? Aku dari tadi udah selesai ngurusin ini itu. Intinya mah kita disuruh ngelunasin UKT sampai semester ini. Gih buru diurus, habis gitu bimbingan," papar Rani sambil memandang Bina dan Dipa bergantian.

"Weleh, UUD yak? Ujung-ujungnya duit," komentar Dipa.

"Ah, aku mana inget terakhir bayar UKT kapan ... kayaknya bakal nunggak bermilyar-milyar juta-juta ratus-ratus sekian deh." Bina mendengkus pasrah serya bangkit dari posisi jongkoknya.

"Nggak mungkin lah, Bin. Barusan aku dikasih tau, maksimal nunggak tuh tiga semester, kalua udah lewat nama kamu dicoret dari sistem. Kalau kamu bisa ada di sini, berarti masih belum nunggak banyak dong," pungkas Rani dengan yakin.

"Ah, masa iya?" gumam Bina sambil berjalan menuju ruang administrasi. Feeling-nya mengatakan akan ada kejutan di balik pintu itu.

Dan benar saja. Sekeluarnya Bina dari ruang administrasi, informasi yang baru saja diterimanya membuat rasa bersalah sekaligus beban moral gadis itu bertambah berat berkuadrat-kuadrat.

Ternyata, katanya, uang UKT atas nama Sabina Eka Gayatri telah lunas terbayar hingga semester ini. Hanya satu kemungkinan logis dari fakta itu, bahwa sebenarnya ayah Bina telah diam-diam melunasi tuntutan biaya perkuliahan tanpa sepengetahuan anaknya.

Hati Bina terasa cenat-cenut memikirkan itu. Ayah! Tega banget bikin hati aku mleyot begini!

Setelah masalah administrasi selesai, Bina dan Rani sedang duduk di salah satu gazebo depan ruang jurusan, menunggu giliran bimbingan. Rani telah selesai bimbingan sedari tadi, sementara Bina mempersilakan Dipa bertatap muka dengan asisten dosbing duluan sebelum dirinya.

Bina sengaja mengulur waktu, mematangkan nyali.

"Bin," panggil Dipa. Dia baru saja keluar dari ruang jurusan.

"Lo disuruh ngadep noh, sama Pak Bahari," ceplos Dipa tanpa memperhatikan Bina yang meringis mendengar nama itu.

Pak Bahari? Anjir banget lah! umpat Bina sambil beranjak dengan ogah-ogahan meninggalkan gazebo. Inilah momen yang paling tidak dinantikannya.

Cklek.

Pintu terbuka dan Bina melongokkan kepala.

"Permisi, assalamualaikum ...." Bina meendapati ruang jurusan yang cukup sepi. Pak Pranoto tak ada di mejanya, namun di sudut ruangan tampak satu orang yang sedang membolak-balik halaman demi halaman proposal yang kini penuh coretan tangan. Banu.

"Masuk." Suara familiar itu membuat Bina menelan ludah.

"Nggak jawab salam dosa loh." Bina duduk di hadapan dosbing slash mantan teman itu dengan celetukan jayus, berharap dengan melucu seperti itu, gugupnya bisa luruh.

"Hm," gumam Banu tak acuh.

Bahasa tubuhnya mengatakan bahwa pemuda yang duduk di hadapan Bina ini bukan Banu yang dikenalnya dulu, melainkan Bahari Nugraha sang dosen pembimbing yang profesional.

Sial. Bukannya cair, malah makin beku.

"Sabina." Sang dosbing bersuara. "Sebelum saya mulai mengoreksi, bisa tolong kasih tau saya, bagaimana proses kamu menyusun proposal ini?"

Banu melambaikan proposal nirguna itu di hadapan Bina. Gadis itu menghela napas. Here we go.

"Yah ... saya menulis apa yang menurut saya menarik, Pak. Saya menyusunnya—" dekat-dekat deadline "—sesuai format karya ilmiah yang menjadi acuan saya, ditambah data-data yang saya kira cukup mendukung."

Banu mengerucutkan bibir. Tampak tak puas.

"Ada yang salah, Pak?" tanya Bina akhirnya.

Sang dosbing menghela napas.

"Begini, Bina ... jujur saja ya, tulisan kamu ini nggak ada unsur historisnya sama sekali. Sekarang saya tanya, apa kamu sudah menempuh mata kuliah Teori dan Metodologi Sejarah?"

Bina mengangguk.

"Sudah menempuh mata kuliah Teknik Penulisan Sejarah?"

Bina mengangguk lagi.

"Lalu, apa kamu tau di mana letak salahnya proposalmu ini?" Banu menatap mata Bina lurus-lurus.

Gadis itu menghela napas. "Saya ... nggak menentukan lingkup temporal dan spasial." Bina mengaku. Dia lantas melanjutkan.

"Saya juga nggak membatasi ranah pembahasan, nggak ada kerangka teori serta bahasan ilmu bantu—padahal itu perlu dalam menulis karya ilmiah khususnya ilmu sejarah. Dan ...."

Banu mengantisipasi kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut mahasiswanya.

"... saya nggak punya tokoh atau narasumber utama sebagai pelaku sejarah dalam tulisan saya, padahal itu adalah unsur penting dalam sebuah tulisan historis."

Sang dosen mengangguk puas. "Nggak berubah ... cerdas seperti dulu, Sabina."

Dada Bina mencelus akibat pujian itu.

"Itu artinya kamu sadar, kalau proposalmu ini bukan termasuk dalam tulisan ilmu sejarah ... melainkan ilmu sosial," simpul Banu dengan akurat, yang berbalas anggukan kaku kepala Bina.

"Ada ap aini sebenarnya, Sabina?" tanya Banu.

Gadis itu bungkam. Beberapa detik berlalu sebelum Banu mencondongkan tubuhnya ke arah mahasiswa yang sedang memilin-milin jemarinya. Wajah Bina terlihat kalut.

"Kenapa, Bina?" ulang Banu. "Kenapa kamu sengaja menyalahi aturan dan metode penulisan yang telah kamu pelajari selama bertahun-tahun di jurusan ini? I know you did this on purpose."

Di luar dugaan, mata Sabina mulai memerah, tampak menahan tangis.

"Bin ...," panggil Banu dengan suara yang melembut. Dia tidak menyangka seorang Bina yang biasanya ceria dan keras kepala, bisa terlihat begitu ... rapuh.

"Bina, maaf kalau barusan aku terlalu—"

"Oke." Bina memotong kalimat Banu yang mulai ber-aku-kamu, mengindikasikan timbulnya sosok teman lama yang peduli itu.

"Bapak mau tau, kenapa saya nulis proposal yang terkesan asal-asalan itu??" Suara Bina bergetar. Banu terdiam.

"Sejujurnya Pak, saya sama sekali nggak ngasal saat menulis proposal itu. Saya nulisnya dengan sepenuh hati dan jiwa saya. Dan Bapak pasti tau kenapa tulisan saya bisa melenceng sejauh ini ...."

Banu masih bungkam, membiarkan Bina menyelesaikan kalimatnya, terlepas fakta bahwa sebenarnya pemuda itu bisa menebak apa yang akan diucapkan gadis itu.

"... saya mengacukanproposal saya pada karya ilmiah, jurnal-jurnal, dan tulisan-tulisan peninggalanBunda."

**

[1536 Words]

*UKT (Uang Kuliah Tunggal) adalah biaya yang dibebankan pada mahasiswa dalam satu semester penuh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top