01 · Bina, Anak Ayah

Sembilan tahun kemudian

"BINAAA!"

"IYA AYAAAHHH!"

"SUDAH BERSIH BELOM???"

"MASIH BANYAK SEMUTNYA YAAAH!!!"

"...."

"BIN!"

"OEY!"

"SEKARANG SUDAH??"

"OKEEEYYY!!!"

Brak-bruk-srek-duakk ... Pak Santo turun dari atap rumah. Dia baru saja membenahi antena televisi, menjangkaunya dengan cara memanjat pohon mangga agar bisa mencapai atap.

"Sudah mulai, Bin?" tanya sang ayah.

"Baru nih!" Bina menjawab dengan antusias. Bapak-beranak ini duduk berdua di ruang TV, siap menanti acara kesukaan mereka, Ancient Aliens.

Santo Eko Daneswara, ayah dari Bina, merupakan seorang Arkeolog eksentrik yang hobi mengoleksi benda-benda antik. Sofa yang sedang diduduki olehnya dan si putri tunggal itu terbuat dari bantalan kapuk yang dilapisi kulit lembu yang sudah diproses dan dikeringkan.

Beberapa lukisan dan cendera mata berbagai kultur menghiasi dinding-dinding rumahnya. Ada juga tanduk kerbau dan kijang yang dipajang di ruang tamu, sering Bina gunakan untuk menggantung jaket.

Passion Pak Santo terhadap benda-benda antik sejalur dengan pekerjaannya. Begitu pun Bina, yang hendak mengikuti jejak orang tuanya. Almarhumah Bunda adalah seorang Antropolog—yang membuat Bina juga menaruh minat pada ilmu humaniora, membuat gadis itu memilih jurusan akademis di Fakultas Ilmu Budaya.

Namun kini, Bina yang berusia 25 tahun telah bertransformasi menjadi gadis bangkotan yang hobi mbangkong dan sudah tidak peduli lagi dengan pendidikan perkuliahan, lebih sering menghabiskan waktu bersama ayahanda tercinta, menonton series film antik di channel NatGeo.

Pun demikian seperti tak ada yang kurang dalam hidup mereka.

Entah itu kewajiban akademik yang terbengkalai, profesi pekerjaan yang tak lazim, atau keluarga yang tak lengkap tanpa kehadiran ibu. Yang jelas Bina dan ayahnya tetap merasa cukup akan keadaan mereka, saling melengkapi eksistensi satu sama lain dengan cinta tanpa pamrih.

**

Pukul 06.03 pagi.

Pak Santo telah berpakaian rapi. Dia mengenakan seragam dinasnya yang berupa baju terusan cokelat, topi safari, lengkap dengan tas kerjanya yang berisi perkakas menggali situs ekskavasi, mulai dari kuas berbulu lembut untuk membersihkan artefak rapuh, hingga sekop mini dan garpu tanah kecil.

Ayahanda Bina itu sudah siap berangkat kerja, dan sambil sedikit diburu waktu, dia harus menyempatkan diri membangunkan putrinya yang masih asyik terlelap di alam mimpi.

Pasalnya, semalam Bina bablas menonton Ancient Astronauts hingga jam setengah dua pagi, lalu dilanjut 'bekerja' lembur menerjemahkan subtitles film hingga subuh. 

Selain menjadi siluman kelelawar dan anak kesayangan ayah, Bina juga menyandang profesi sebagai translator freelance Inggris-Indonesia maupun Indonesia-Inggris di berbagai bidang—subtitles filem, serial televisi, translasi jurnal, paper, artikel, tugas sekolah, tugas kuliah, sampai tugas proyek negara (kadang-kadang).

"Bin, bangun ... tadi Ayah di-WA sama Pak Pranoto, katanya kamu mangkir lagi dari jadwal bimbingan skripsi, iya?" Pak Santo menepuk pipi putrinya.

Bina berguling ke samping, masih tak sadarkan diri. Mulut gadis itu sedikit terbuka dan mengeluarkan gumaman. "Hnnnghh ...."

"Bina, kalau kamu mbangkong terus tiap hari, kapan jadi sarjananya, Nak?"

"Hngghhh, Yah ... lima menit lagi ... Bina sarjana ...."

Pak Santo menyerah. Pria itu telah mengenal Bina sedari lahir, sehingga dia bisa hafal betul perangai sang anak yang teramat sulit dibangunkan. Bina adalah tukang tidur berat, heavy sleeper, sehingga membangunkannya adalah sebuah hal yang nyaris mustahil.

Kalau begini terus bisa telat, pikir Pak Santo sambil mulai mencari ide. Dilayangkannya pandangan ke atas meja belajar Bina, lalu pria itu beranjak dan mulai menuliskan sesuatu pada sticky note.

"Ayah berangkat dulu ya, Anak Cantik," gumam Pak Santo sambil membelai pipi Bina yang masih terlelap.

Hampir dua jam berlalu.

Bina mulai mengerjapkan matanya yang terasa berat.

Gelombang kesadaran mulai mengaliri neutron otaknya. Gadis itu merasa ada sesuatu yang aneh—sesuatu mengganjal di wajahnya.

Hng? Apaan nih? pikir Bina saat terduduk di kasurnya.

Tepat di samping ranjang, terdapat cermin lebar yang menyatu dengan pintu lemari. Bina bisa melihat pantulan wajahnya sendiri di sana; gadis dengan mata mengantuk, rambut acak-acakan, bibir setengah terbuka, dan ... eh? Apa ini yang nempel di dahi?

Pasti kerjaan Ayah! Dikiranya aku vampir apa ya? Bina berdecak sambil melepas sticky note tersebut dari keningnya. Benar saja, tulisan ayahnya berbaris rapi di lembaran itu.

"Ke kampus jam 9, kamu ditunggu Pak Pranoto di ruang jurusan. Jangan lupa nanti siang Ayah tunggu di situs ekskavasi ya. Semangat, Cantik-nya Ayah!"

Bina membaca tanpa suara. Sedetik kemudian tangannya sigap meraih ponsel untuk melihat jam di sana.

Hanya satu desisan kata yang lolos dari bibirnya.

"Mampus!"

**

Universitas Jayanegara menampilkan monumen gagah tiga orang founding fathers yang memperjuangkan pendidikan pada tahun 1920-an, tepat di tempat UNJ (Universitas Negeri Jayanegara) kini berdiri.

Bina mengendarai Honda Beat-nya dengan sedikit ngebut. Lurus melalui double way, belok di sudut lapangan, melewati Perpustakaan Pusat, dan berhenti di sudut jalan di mana terdapat papan nama terukir garang: Fakultas Ilmu Budaya.

Di atas gerbang ganda menuju halaman Fakultas, terdapat banner besar yang bertuliskan 'Selamat & Sukses Kepada Dr. Pranoto Mulyojoyo, S.Hum., M.Hum. (Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jayanegara) atas Diraihnya Gelar Doktor (S3) Dengan Judul Disertasi ....'

Sambil membaca nama Dosen Pembimbing Akademiknya terpampang pada banner tersebut, Bina membatin. Oke, Pak Pran udah tamat kuliah tiga kali, dan aku ini satu aja nggak tamat-tamat. Mantap. 

Dengan helaan napas tak rela, Bina memarkirkan motornya di sudut parkiran, paling dekat dengan pintu keluar. Ya, Bina ingin cepat-cepat hengkang dari tempat ini, terlepas fakta bahwa gadis itu baru saja tiba.

Kalau ada orang berkata, hidup bagaikan roda yang berputar, maka Bina bisa memvisualisasikan analogi tersebut pada kehidupan kampus.

Kampus selalu berputar. Tiap tahun, pasti ada wajah-wajah baru. Tahun ini, roda Bina di Universitas Jayanegara telah berputar untuk kali ketujuh. Enam tahun jadi kakak angkatan, dan lima tahun mengulang mata kuliah wajib yang terbengkalai—dengan nilai D atau bahkan E—membuat IPK* Bina setia dan selalu sama, dua koma nggak-sampai-lima.

Sejujurnya, Bina merasa dirinya berfungsi layaknya batu kerikil, atau ranting kayu, atau apa pun yang mengganjal perputaran roda itu, khusus di hidupnya sendiri.

Bina stuck, berhenti berputar dan tidak keluar-keluar dari fakultas ini. Kini, sepertinya waktu Bina mulai habis. Dia harus keluar, baik secara hormat sebagai sarjana, atau secara tidak hormat yang Bina sendiri enggan memikirkannya.

Dengan degup jantung yang berusaha diredakan, Bina membuka pintu ruang jurusan.

"Assalamualaikum," gumam Bina selirih mungkin. Namun tak ayal sebuah suara menyahuti dengan lantang.

"Masuk!"

Dih, gak jawab salam dosa loh Pak, gerutu Bina sebelum menengok ke arah sumber suara. Ah, itu dia. Pak Pranoto dengan kumis garangnya.

"Masih hidup kamu, Sabina?" tanyanya dengan nada sarkas.

"Hidup kok, Pak." Bina hanya bisa tersenyum pasrah. Gadis itu mendudukkan diri di antara dua pesakitan lain. 

Ada dua mahasiswa lain yang sedang duduk di hadapan Pak Pranoto. Setidaknya, hari ini Bina tidak menjadi pesakitan sendirian. 

Setengah penasaran, Bina menoleh pada dua teman seangkatannya. Bina kenal wajah-wajah ini.

"Hai Rani, hai ... Dipa." Bina hanya mampu menggumamkan dua nama mereka di bawah napasnya, takut tertangkap Pak Pranoto yang sedang sibuk menelisik selembar dokumen di mejanya.

Maharani, perempuan berjilbab dengan baju gamis panjang yang anggun, membalas senyuman Bina dengan kalem. Perutnya yang sedang membuncit berisikan janin di dalam kandung.

Di sebelah mereka, duduklah Pranadipa, laki-laki paling sering bolos kuliah untuk merokok di kantin atau bermain gitar di sekret UKM Kesenian—teman seangkatan yang Bina lihat terakhir kali dua semester lalu.

"Sudah reuninya? Bisa kita mulai?" potong Pak Pranoto sebelum Rani ataupun Dipa sempat merespons sapaan Bina. Ketiga mahasiswa itu langsung menegakkan posisi duduknya.

"Kalian tahu kenapa kalian dipanggil ke sini?" Pak Pranoto memulai orasinya.

Baik Bina, Rani, maupun Dipa menggeleng kompak.

"Kalian bertiga itu adalah mahasiswa semester 13, angkatan terakhir yang belum lulus dari fakultas ini."

Bina menelan ludah—rasanya pahit. Rani mengelus perutnya, dan Dipa tetap duduk dengan tenang.

"Sekarang Bapak tanya sama kamu ... Maharani, ke mana saja kamu?" Mata tajam Pak Pranoto terarah menuju calon ibu muda tersebut.

"S-saya menikah, Pak," jawab Rani polos. Pak Pranoto mengangguk. 

Ah, iya, Bina ingat menerima undangan pernikahan Rani tahun lalu, namun dia tidak datang karena lupa tanggal. Untungnya, dilihat dari senyuman ramah Rani, sepertinya si calon ibu bukanlah tipe pendendam.

"Pranadipa. Kamu?" Lirikan mata Pak Pranoto terarah ke sisi kiri Bina. Dipa menghela napas jengah.

"Masa saya harus bilang sih, Pak?" seloroh Dipa. Ah, nada suaranya ... Bina ingat sekali. Dipa yang cuek bebek setiap ditanyai dosen. Dipa yang tak peduli akan sekitarnya. Dan Dipa juga yang ....

"Masuk penjara." Pranadipa menjawab dengan cueknya. "Masa Bapak nggak tau saya baru bebas dua minggu lalu?"

Pak Pranoto berdeham rendah. "Ya. Harusnya kamu bersyukur, Dipa, karena tidak di-DO* langsung oleh pihak akademik kampus."

Dipa terdiam, seiring kereta pikiran Bina melayang ke mana-mana. 

Oh, iya, ya. Si Dipa kan habis masuk penjara, ya? Sembilan bulan, katanya? Emang dia salah apa dah ... oh, iya! NAPZA! Bina seakan ingat desas-desus gosip di grup WhatsApp angkatan mereka.

"Dan kamu!" Glek, Bina menelan ludah. Lamunannya buyar sudah. Pak Pranoto baru saja menghujami Bina dengan sorotan tajam matanya.

"Kenapa masih hidup, kalau hanya kerjanya malas-malasan saja? Kamu tidak menikah, tidak juga jadi tahanan negara. Ngapain saja kamu, Sabina?" 

**

Gazebo fakultas menjadi sarang nongkrong tiga mahasiswa yang seharusnya sudah punah dari Universitas ini. 

Bina, Rani, dan Dipa sedang duduk bersama sambil minum teh jus. Pikiran mereka bertiga melayang setelah disembur parah oleh tajamnya belati kalimat Pak Pranoto, sepuluh menit yang lalu.

"Kalian tahu kan, batas akhir masa studi kalian sebagai mahasiswa di fakultas ini adalah 14 semester. Tujuh tahun, loh! Dan kalian bertiga adalah sisa-sisa dari teman angkatan kalian yang sudah lulus semua."

"Mahasiswa macam kalian ini yang menghambat akreditasi jurusan, paham? Apa tidak malu kalian, jadi beban almamater?"

"Kalian tidak memikirkan perasaan orang tua kalian, yang sudah mengeluarkan banyak uang untuk menyekolahkan anaknya, hanya untuk disia-siakan seperti ini?"

Pak Pranoto menggeleng kecewa.

"Sekarang begini, langsung saja saya sampaikan opsi apa yang kalian punya. Pertama, kalian bisa lanjutkan Skripsi kalian, selesaikan studi kalian dengan batas waktu yang sangat sempit ini; satu semester! Atau opsi kedua, kalian bisa mengundurkan diri dari kampus—cara halus daripada saya harus memberhentikan kalian secara tidak terhormat."

Dosen senior itu lantas menyerahkan tiga lembar surat bermaterai, menunjuk galak agar ketiga mahasiswa abadi itu menandatangani pernyataan bahwa akan 'mengundurkan diri dengan sukarela' jika gagal menyelesaikan tugas akhir mereka pada waktu yang ditentukan. 

Setelahnya, Pak Pranoto kembali menyuguhkan kertas lagi, kali ini berupa amplop dengan logo Universitas Jayanegara di atasnya.

"Itu nama Dosen Pembimbing Skripsi kalian. Hubungi mereka, datang ke kampus Senin besok untuk mengurus administrasi, dan segera lanjutkan apa yang sudah menjadi kewajiban kalian. Setelah berkonsultasi dengan pembimbing tersebut, kalian harus menghadap saya lagi untuk mengajukan tema dan judul skripsi, agar saya bisa menentukan Dosen Penguji yang tepat bagi kalian. Paham?"

Bina mendesah, dadanya begah. Rani memijit pelipisnya, sementara Dipa memilin-milin rokok di jarinya, menahan untuk tidak menyalakan benda itu di depan Rani yang sedang hamil tua.

"Terus sekarang kita ngapain nih, gengs?" tanya Bina sambil memandang Rani dan Dipa bergantian.

Gadis itu tak terlalu akrab dengan Dipa—dia hanya tau laki-laki itu adalah 'pengaruh buruk' bagi pergaulan kampus. Sementara Rani, sebagai sesama mahasiswi kupu-kupu (kuliah-pulang) yang semakin tahun semakin jarang saja berada di kampus, membatasi interaksi mereka yang memang sudah minimal. Bina hanya tahu sekedar tahu akan eksistensi kedua teman senasibnya tersebut.

"Sini, minta nomor WA kalian." Rani berinisiatif menyodorkan ponselnya.

"Buat apa?" tanya Dipa skeptis. Sepertinya dia tidak suka membagi kontak pada orang sembarangan.

"Aku bikinin grup WA biar kita bisa gampang komunikasi. Nggak mau?" balas Rani, yang langsung dijawab dengan diambilnya ponsel tersebut dari tangannya oleh Dipa. Laki-laki itu kemudian sibuk menyimpan kontaknya, sebelum menyodorkan gawai itu pada Bina.

Bina lantas memasukkan kontaknya, sebelum mengembalikan gawai milik Rani.

"Nanti aku invite kalian, ya? Jangan lupa save back nomorku," ucap Rani sambil menerima ponselnya kembali.

"Oke, Ran. Aku harus ciao bella dulu nih, nyusul ayahku ke tempat kerja," pamit Bina seraya menyandang tas punggungnya. Diliriknya Dipa sekilas. "See you soon, Dip."

"Iya, hati-hati Bin," balas Rani.

"Bye." Dipa cuek seperti biasa.

Bina baru saja sampai di parkiran fakultas ketika ponsel dalam sakunya bergetar. Ternyata benar, Rani mengundangnya bergabung ke dalam sebuat grup dengan nama 'Di Ujung Tanduk'. Bina tertawa tipis sambil terus berjalan, seraya mulai memainkan ponselnya.

Duaggh.

"Aduh!" Bina mengelus jidatnya yang terantuk sesuatu.

"Aw." Lawan tabraknya mengelus rahang yang baru saja terkena headbutt oleh Bina. Mata mereka beradu. Satu detik, dua detik.

"Loh ... Bina?"

"Eh?! BANU????"

**

[1867 Words]

*IPK singkatan dari Indeks Prestasi Kumulatif merupakan ukuran kemampuian mahasiswa sampai pada periode tertentu yang dihitung berdasarkan jumklah SKS (Satuan Kredit Semester) tiap mata kuliah yang telah ditempuh.

*Drop Out (DO) adalah kebijakan universitas untuk melepas status kemahasiswaan berdasarkan pertimbangan pencapaian akademis (batas studi).

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top