28 · Pengakuan Dosa

Pagi di Desa Pandalungan memang sedikit ajaib.

Tak seperti di kota besar yang biasanya bersuhu panas, desa ini tetap memberikan kesejukan walaupun matahari sudah meninggi. Rasanya embun masih belum sepenuhnya menguap, tetesan air hujan juga masih mengendap di dahan-dahan pinus yang berjejer di pinggir jalan. Asri, hijau, dan sejuk.

"Harusnya kita kesini buat liburan ya, Bin? Sayang banget diburu-buru begini, nanti sore udah harus balik," ucap Banu sambil menikmati pemandangan yang terhampar di depan warung nasi. Lekukan bukit yang dipenuhi ladang, pohon pinus yang menaungi di sisi jalan, hingga awan yang masih dilapisi kabut.

Bina mengembuskan napas mendengar celetukan ringan banu tadi. Mereka baru saja berbicara banyak. Lucunya, selain merasa lega, entah kenapa Bina juga kesal.

"Liburan aja sana sama calon tunangan kamu," jawab gadis itu dengan nada sedikit ketus. Banu terkekeh seketika.

"Kamu cemburu?"

"Dih!"

Banu semakin tertawa melihat Bina yang menyipitkan mata, menggigit bibirnya sendiri dan menekuk alis. Wajah manis yang penuh dengan denial. Sepertinya Banu sadar dirinya dan Bina tidak jauh-jauh amat. Sama-sama suka meredam kenyataan pahit.

"Oliv itu udah punya pacar, Bina. Kita berdua juga sama-sama ogah dijodohin kok. Ini cuma sementara aja, supaya orangtua kita nggak ngomel terus," tutur Banu menjelaskan.

Mendengar sang dosen menyebut nama 'Oliv', Bina merasa kupingnya panas. Diindahkannya penjelasan itu, seraya memutar bola mata. Jengah.

"Kamu sendiri juga belakangan ini dekat dengan temanmu itu—siapa itu, si Pranadipa?" lanjut Banu sambil memandangi Bina lekat-lekat.

"Kan aku tadi udah bilang juga, dia bilang nggak suka aku!" pungkas Bina dengan nada tak sabaran.

"Ya bisa aja ucapan di mulut nggak selaras dengan hati. Kadang cowok itu suka gitu, loh. Egonya tinggi, berat jaga gengsi."

"Kayak kamu, ya?" sindir Bina.

Banu terbahak mendengar itu. Entah kenapa kalimat Bina yang mulai bisa ceplas-ceplos membuat dirinya sedikit lega.

Bina lantas melanjutkan. "Jadi kamu udah tau dari awal, kalau ayahnya Leda itu berteman sama bundaku? Terus penelitian Bunda itu—yang sekarang aku jadikan acuan dalam skripsiku ini—bertempat di sini?" Bina mengkurasi potongan fakta dalam sebuah kesimpulan satu kalimat.

Banu mengangguk menanggapi ucapan gadis itu.

"Sebenarnya, awal yang ngasih tau aku tentang desa ini tuh ... Ayah kamu, Bin."

"HAH?!" Bina membelalakkan matanya tatkala Banu baru saja menumpahkan fakta lainnya. Kenapa banyak sekali kejutan hari ini?

"Coba nanti kamu tanya sendiri aja kalau nggak percaya," saran Banu kemudian.

Tiba-tiba, Bina meneguk air putih dari gelasnya, meringkus dompet di hadapannya, dan berdiri memanggil penjaga warung.

"Loh, ngapain Bin?" tanya Banu kebingungan.

"Kamu benar. Aku harus ketemu Ayah. Ayo kita pulang."

**

Setelah berpamitan dengan Pak Adi sang kepala desa, Bina buru-buru melangkah memasuki kediaman Leda tempatnya menginap, hanya untuk menemui gadis asing yang mulai familier itu sedang mengutak-atik laptop antiknya. Jemari Leda yang kurus dan lentik bergantian menari di atas tetikus dan keyboard, membuat Bina sang empunya gawai menatap heran. Niatnya untuk berpamitan sedikit terdistraksi.

"Lagi ngapain kamu, Leda?" tanya Bina sambil duduk di sisi teman barunya. Matanya langsung menyasar layar tipis itu, memperhatikan apa yang sedang dikerjakan.

"Ini, aku nambahin beberapa info penting yang mungkin bisa dikembangkan di skripsi kamu. Aku tulis di file baru kok, satu folder sama hasil wawancara kita kemarin—eh, sori aku buka-buka laptop kamu begini. Gapapa kan?"

Leda menjelaskan sambil menunjukkan sedikit hasil karyanya. Bina terbelalak seketika.

"Ya ampun! Kamu ini terniat banget sih? Nggak papa lah, malah ngebantu banget. Cuman harusnya kamu nggak perlu repot-repot ...."

"Ah, udah, nggak papa. Aku gabut juga kok ini dari tadi. Sayang aja kan, kalau aku punya info tapi nggak dicurahin. Eh—kok kamu udah rapih, Bin? Mau kemana?" Leda baru saja menyadari kelengkapan Bina yang menyandang ransel di punggungnya.

"Aku harus balik, ini baru aja mau pamitan sama kamu."

"Yah ...." Tampak sirat kekecewaan terukir di wajah Leda. Mata gadis itu mendadak memandang sayu, bibirnya mengerucut. "Aku kesepian lagi deh," lanjutnya.

Bina tersenyum pasrah lalu membuka lengan, mempersilakan Leda merangkulnya dalam sebuah pelukan. Dua gadis itu pun mengikis jarak. Baru hitungan hari mengenal satu sama lain, tapi tampaknya mereka seperti sudah akrab bertahun-tahun.

"Kamu sendiri banget ya, di sini? Ngga punya temen emang?" tanya Bina setelah lepas pelukan mereka.

"Hmmm ... kadang aku jadi guide anak kuliahan yang KKN di sini, mereka biasanya seru-seru, pinter dan bikin ramai. Tapi itu kan cuma beberapa minggu dalam setahun aja. Kalau on daily basis nggak ada teman yang sefrekuensi sih, di desa ini jarang ada cewek seumuran yang sepinter kamu."

Bina tersenyum. "Kamu juga pinter banget, agak terlalu overkill untuk ukuran gadis desa. Kamu beneran pernah kuliah di Amrik, ya? Kenapa stay di sini sih, Leda? Kok nggak ikut ayah kamu ke Jakarta aja?"

Leda menggeleng. Dia balas tersenyum.

"Aku nggak suka kehidupan kota. Dan juga, sekarang aku lagi... ehm, kedengarannya bakal agak konyol—tapi aku lagi nerapin semacam 'metamorfosis', menepi dari kehidupan yang padet dan bikin pusing."

Mata Bina membulat. "Oya?" Nada pertanyaan itu tampak jelas menyidatkan keingintahuan.

Leda mengangguk dan mulai menceritakan apa maksud kalimatnya tadi.

"Kamu pernah denger nggak, Bin, kalau dalam kurun waktu tujuh tahun, sel-sel di tubuh manusia beregenerasi dan berganti jadi sel yang sepenuhnya baru. Itu artinya, kita udah bertransformasi jadi orang yang baru. Kamu yang sekarang dan kamu dari tujuh tahun lalu itu secara biologis adalah dua manusia yang beda—baik fisik maupun mental. Tubuh dan pikiran kamu pasti berkembang."

Bina mencerna kalimat itu sejenak. "Emangnya gitu, ya?"

Leda mengangguk mengiyakan. "Yah, setidaknya itu sih yang aku percaya. Intinya, aku pengen ngerasain hidup selama tujuh tahun di desa, lepas dari polusi kehidupan awut-awutan di kota, dan beregenerasi jadi manusia yang baru."

Kembali Bina merenungkan jawaban itu. Filosofi hidup yang dianut oleh Leda baru pertama kali didengar olehnya.

Tujuh tahun bisa mengubah kita? Lalu bagaimana kalau sembilan tahun? Banu dan aku adalah manusia yang sama sekali berbeda, tapi kenapa rasa familiar itu masih sama?

Pada akhirnya, Bina menyimpulkan satu pertanyaan sebelum benar-benar berpisah dengan Leda. Dua gadis itu sudah bertukar kontak dan janji untuk saling menghubungi.

"Leda, dulu pas kamu kuliah ... kamu punya cita-cita, nggak? Semacam goal yang dituju, yang berhubungan sama studi kamu?"

Bina sebenarnya bisa menerka jawaban dari pertanyaan itu. Tampak jelas dari fakta bahwa Leda membuat keputusan untuk membanting setir dalam hidupnya—menepi di pelosok desa, dan bukannya menjadi orang sukses di luar negeri sana,

"Dulunya iya. I'm aiming to be an Astrophysicist. Aku ambil jurusan Astrofisika di Princeton. Cuma nggak aku selesaikan. Sengaja, toh cita-cita kita bisa berubah, kan?"

Bina terenyuh mendengar jawaban itu. Satu kata yang terngiang hingga mereka berpisah, juga selama perjalanan menumpangi Jeep Banu untuk kembali ke kota mereka.

"... cita-cita kita bisa berubah, kan?"

**

"Ngelamun aja, Bin? Kita udah sampe nih."

Suara Banu membuat Bina sedikit tersentak. Pandangan gadis itu melayang ke luar jendela dan bertatapan dengan halaman rumahnya sendiri. Banu benar, mereka sudah sampai—Bina, sudah sampai.

"Oh, eh. Ya." Buru-buru Bina melepaskan sabuk pengamannya. Ketika hendak mengucapkan kata terima kasih pada dosbingnya, tiba-tiba saja tersirat sebuah ide di kepala.

"Anu, Ban ... sebelum aku hibernasi buat negbenerin skripsi, aku mau ngasih kamu sesuatu. Tapi nanti dibukanya pas aku nggak ada, oke?"

Bina mulai mengaduk isi tasnya, mencari sesuatu. Gadis itu lantas mengeluarkan selembar kertas yang telah dilipat-lipat dari dalam binder-nya.

"Apa ini?" tanya Banu sambil menerima sodoran kertas itu.

"Dibuka pas aku nggak ada." Bina mengulangi instruksinya sambil membuka pintu mobil, bersiap turun.

"Oh iya, Ban ...." Bina melongokkan kembali kepalanya ke dalam mobil. "Makasih ya, udah ngajak aku penelitian lapangan. Makasih juga udah mau ... ngobrol sama aku lagi."

Banu tercengang beberapa detik tanpa sempat membalas 'sama-sama'. Mahasiswanya itu keburu menutup pintu mobil, meninggalkan Banu dengan debaran jantung yang memacu.

Beberapa detik berlalu, sebelum Banu akhirnya sadar akan eksistensi kenang-kenangan dari Bina tadi yang masih bertengger dalam genggamannya.

Dibukanya lembar kertas itu, yang ternyata adalah bekas nota menu kafe, dengan coretan-coretan berbaris di belakangnya, bertuliskan judul 'List Dosa-dosa Bahari Nugraha'.

**

[1293 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top