Chapter 01
Tiba-tiba langkah kaki yang dibalut dengan sebuah sepatu bermerk 'Nike' keluaran teranyar berhenti. Si pemilik tubuh yang tingginya mencapai seratus delapan puluh sentimeter itu mengencangkan pegangan tangannya pada selempang tas ransel yang bergantung manis di pundak kanan. Mata monolid miliknya sejenak terpejam, lalu perlahan dia mengembuskan napas kasar. Gadis yang berjalan di belakang cowok itu sontak menabrak tubuh bagian belakangnya.
"Aish," gerutunya kesal. "Lagi?" ujarnya sedikit membentak. Netra pemilik nama Angkasa itu menoleh ke arah lampu merah. Melihat sebuah pemandangan yang menurut orang awam adalah hal biasa. Mereka berjalan melalui zebra cross untuk penyeberang jalan saat lampu merah menyala. Gadis tadi mengikuti mata cowok itu.
"Kenapa?" tanyanya penasaran. Matanya bergantian melihat sumber yang dilihatnya dan wajah cowok itu.
"Cowok aneh! Ayo! Kita bisa terlambat!" Alih-alih mendengarkan gadis yang sudah melewatinya. Angkasa lantas menghitung dengan urutan mundur, tentu saja Areta yang dari tadi bingung tambah sangat bingung dengan kelakuan sahabatnya itu.
"Alien!" Kini suara Areta benar-benar keras memanggil Angkasa dengan sebutan itu.
Brakkk....
Suatu kejadian terjadi tepat di depan mata mereka. Areta terkejut, berbeda dengan Angkasa yang hanya memejamkan matanya menyesal. Sebuah mobil pick up menerobos lampu merah, sehingga menabrak orang yang tengah menyeberang jalan.
Angkasa segera menarik Areta dan menutupi matanya. Agar gadis itu tak terlalu lama memandang hal buruk yang dilihatnya.
"Ayo!" Langkah Angkasa pasti, membuat Areta sedikit terseret.
"Sekali lagi, gue gagal," batin Angkasa.
Suasana sekolah sudah sangat ramai. Tepat sampai di gerbang sekolah, bel masuk berbunyi, membuat Angkasa dan Areta lari terburu-buru.
"Gara-gara lo, nih!" tuduh Areta kesal. Angkasa tak mengindahkannya.
Di kelas, siswa lain sudah duduk di bangkunya. Hampir saja kedua siswa itu masuk berbarengan dengan guru mata pelajaran pertama. Untungnya, Areta dan Angkasa dengan sigap mengambil alih lebih dulu gagang pintu kelas, membuat laki-laki paruh baya berkacamata itu menggelengkan kepala melihat tingkah muridnya.
Pelajaran berlangsung dengan dipenuhi drama. Kantuk, tidur, bolak-balik toilet, bahkan ada juga yang mencuri kesempatan untuk makan di kelas. Namun, sang guru yang memang baiknya seperti Malaikat, membiarkan anak didiknya seperti itu. Akan tetapi, dia juga yang akan membuat muridnya mengeluh ketika mengadakan ulangan dadakan.
______
Areta berjalan terburu-buru, tangannya seolah berpegang pada tali tas yang di gendongnya. Angkasa yang hari itu harus melaksanakan piket, bingung melihat tingkah Areta.
"Ta!" panggil Angkasa kencang. Sepersekian detik, gadis itu menghentikan langkahnya setelah mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh ke arah sumber suara.
"Kenapa?" tanyanya ragu. Angkasa mendekat, membuat Areta kini sedikit panik.
"Gue balik duluan, ada urusan sama Nyokap," ujarnya beralasan.
"Tungguin gue bentar! Piketnya sebentar lagi selesai, kok!"
"Enggak, gue buru-buru!" Areta segera menjauh, padahal jaraknya dengan Angkasa hanya berkisar sepuluh meter. Angkasa bingung, dia tak bisa berbuat banyak, hanya melihat Areta yang semakin menjauh dari posisinya.
Areta segera menghentikan taksi yang melewati gerbang sekolah. Dia buru-buru naik dan memerintahkan sang supir untuk langsung jalan. Untungnya jalanan sore itu tak begitu padat seperti biasanya. Gadis itu berkali-kali melirik arloji di lengan kirinya.
"Pak, turun di sini saja, ya." Areta buri-buru mengambil uang dari dalam tas sekolahnya. Memberikan pembayaran tunai pada supir taksi yang sudah menghentikan mobilnya.
"Kenapa enggak di depan pintu utamanya saja, Non?"
Gadis itu hanya tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih. Dia tergesa, berlari kecil sembari memainkan ponsel dan menghubungi seseorang.
"Mam, aku udah di depan rumah sakit," ucapnya setelah panggilan telepon itu dijawab.
"Oke, oke," katanya lagi setelah mendengar interupsi dari orang di seberang telepon. Areta membenarkan tata letak tali tasnya. Dia berjalan cepat dan masuk rumah sakit.
Seorang dokter muda yang tampan melihat Areta berjalan begitu cepat. Ia bahkan mengurungkan niatnya untuk menyapa gadis itu. Mengerutkan kening karena penasaran dengan keberadaan Areta sekarang.
Areta sudah memasuki elevator, menuju lantai empat setelah tadi dia menekan tombol empat. Tak lama dia sampai. Begitu pintu terbuka, dia sudah mendapati sosok wanita paruh baya yang mengenakan jubah dokter. Wanita itu tersenyum manis.
"Macet?" tanyanya manis. Areta menggeleng cepat. Dia langsung memeluk orang yang setiap hari dipanggilnya mama.
"Ayo! Dokter Frans sudah menunggu," ucap Anin yang merupakan ibu dari Areta. Gadis itu mengangguk cepat.
"Mam, aku deg-degan. Walaupun kondisi aku sekarang membaik. Tapi, masih takut dengan diagnosa terbaru Dokter Frans."
Anin tersenyum, ia mengusap rambut anaknya lembut. "Yang semangat, dong," ujar Anin. "Dokter Frans nggak mungkin salah. Kalau keadaan kamu semakin membaik, itu artinya ada kemajuan." Anin lagi-lagi tersenyum. Areta mengangguk perlahan.
Keduanya telah sampai di ruangan bertuliskan nama Frans di sana. Areta mengatur napasnya terlebih dahulu sebelum masuk ruangan itu. Orang yang biasa disapa Dokter Frans ternyata tengah menunggunya, dilihat dari cara dia merespon kedatangan Areta dan ibunya.
"Apa kabar?" Tanpa basa-basi dia menanyakan kabar Areta. "Makin cantik aja," pujinya tulus.
Areta tersenyum.
"Jelas, dong. Siapa dulu Mamanya?" celetuk Anin tersenyum.
"Bisa aja kamu, Nin."
Areta dan Anin duduk bersamaan.
"Dok, gimana hasilnya?" Areta tak sabaran.
Frans tersenyum tipis. "Kamu sudah baik-baik saja, 'kan?"
Areta mengangguk.
"Tapi, ada satu penemuan baru lagi." Nada bicara Frans seakan sangat terpaksa mengatakannya.
"Apa?" Areta penasaran.
Bersambung....
Event Kelas Novel AWP, jangan lupa pantengin terus!!! Ikuti kisah Angkasa dan Areta.
Azizah Bee.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top