BAB XV
Aku tak ingin kamu menjadi angin. Hanya melintas sejenak, tak pernah menetap.
🍃🍃🍃
Enam tahun kemudian.
Setumpuk kertas penuh coretan dan sketsa berbagai bentuk menghiasi meja kerja Diandra. Dia masih berkutat dengan gambar terakhir yang ia buat. Masih menempelkan tubuh pada kursi kayu mungil yang seharian menopangnya.
"Di, kamu nggak pulang? Udah jam berapa, nih?" tegur Winna, atasan Diandra sekaligus pemilik Dreamation, studio animasi yang tengah menjadi rumah kedua Diandra sekarang. Tempatnya mengadu nasib di ibukota selama setahun ini.
"Tanggung, Win. Lagi banyak ide. Lagian pulang juga masih jam segini. Tukang nasi goreng langgananku belum lewat," jawab Diandra tanpa mengalihkan pandangan dari gambar di depannya.
"Masih makan nasgor buat ganjal perut? Nggak bosen?" tanya Winna lagi.
"Mau bagaimana lagi. Keuanganku benar-benar sedang buruk. Dan tidak enak terus menumpang pada Kak Miko. Yah, beginilah hidup seorang bujang lapuk macam diriku," keluh Diandra sembari tertawa. Menertawakan dirinya sendiri.
"Kalau begitu besok siap-siap makan enak. Kenyang-kenyangin, deh, tuh perut. Kalau perlu bawa kotak makanan buat dibawa pulang."
Diandra kali ini hanya tersenyum. Besok memang hari yang cukup penting untuknya. Tidak. Hari itu penting untuk semua orang di Dreamation. Besok mereka akan meresmikan kerjasama untuk proyek film animasi pendek perdana mereka. Dan, acaranya diadakan di salah satu restoran yang cukup terkenal. Winna benar jika Diandra harus mengisi penuh perutnya.
"Oh, ya, dandan yang cantik juga. Bakal banyak pria tampan di sana. Siapa tahu ada yang kena di hatimu," tukas Winna sembari mengedipkan mata. Diandra mengerucutkan bibir, pura-pura marah mendengarnya. Winna yang hafal dengan sifatnya hanya melengos pergi.
Seperginya Winna, Diandra meletakkan sketsanya. Ia berhenti sejenak dan melihat kalender di ujung meja.
Tinggal beberapa hari lagi. Hari yang ingin ia lupakan, tapi tak pernah bisa. Terlebih setiap kali orang lain mengingatkannya tentang pasangan. Hari itu sontak menyeruak dengan cepat dalam ingatannya.
"Baiklah. Ini terakhir kalinya. Aku harap aku benar-benar menemukan seseorang di sana," gumam Diandra lemah. Tanpa harapan.
***
"Kamu tidak ke rumah hari ini, Di?" suara Miko di ujung telepon menyambut kepulangan Diandra. Biasanya ia akan pulang ke rumah Miko jika lembur. Jaraknya lebih dekat daripada ke tempat kosnya. Tapi kali ini Diandra memilih tak pulang ke sana.
Ia sungkan pada Vita yang sudah repot mengurusi Valent, putra mereka yang masih berusia dua tahun. Sekalipun Miko dan Vita tak pernah keberatan dengan kedatangannya, Diandra merasa ia harus mulai berhenti merepotkan mereka.
"Tidak, Kak. Kebetulan tadi ada yang memberiku tumpangan pulang," jawab Diandra bohong.
"Benarkah? temanmu yang mana?"
"Bukan teman kerjaku. Tapi teman Winna yang kebetulan rumahnya searah denganku."
"Perempuan?"
"Iya."
"Aku pikir laki-laki."
Diandra menghela napas dalam. Ia tahu kemana arah pembicaraan Miko. Pasti kakaknya itu berpikir Diandra mulai memiliki hubungan khusus dengan laki-laki. Sayang harapannya kali ini harus berakhir sama. Diandra tidak akan membawa seorang laki-laki ke rumah Miko untuk dikenalkan sebagai pasangan.
"Oh, ya. Liburan kali ini, kamu tidak akan pulang lagi? Papa kangen banget sama kamu."
Rumah. Diandra hampir lupa jika ia masih memiliki rumah untuk pulang. Benar-benar sebuah rumah yang berisi keluarganya. Bukan rumah sepetak yang harus ia bayar sewanya tiap bulan. Tapi sudah bertahun-tahun ia tak pernah menginjakkan kakinya di sana. Tidak sejak ia memutuskan untuk melepaskan semuanya.
"Aku rasa tidak. Studio tempatku bekerja mendapatkan kontrak kerjasama yang cukup besar. Jadi aku rasa aku akan sangat sibuk akhir-akhir ini."
"Baiklah, aku mengerti. Aku akan menjelaskannya pada Papa dan Anjani."
"Ya, sampaikan salamku juga pada mereka. Aku sangat merindukan mereka meski aku belum bisa pulang. Terutama mama."
"Aku janji akan menyampaikannya."
"Baiklah. Terima kasih, Kak."
***
Ruangan luas itu tampak seperti istana. Dengan lampu-lampu kristal yang menggantung di langit-langit. Lalu meja yang penuh dengan makanan enak. Dan juga berpuluh-puluh orang dengan penampilan yang luar biasa elegan. Beberapa dari mereka datang berpasangan, atau bahkan berkelompok. Seperti Diandra.
"Wah, jujur, ya. Ini pertama kalinya aku masuk ke restoran semewah ini. Benar-benar mengagumkan," celetuk Rio, salah satu animator Dreamation yang juga rekan kerja Diandra.
"Aku juga. Tapi melihat penampilan tamu yang lain aku jadi merasa malu. Penampilanku buruk sekali," timpal Ita yang datang dengan memakai celana jeans yang berpadu dengan kemeja lengan pendek bermotif floral.
"Santai saja. Buat diri kalian senyaman mungkin di pesta ini," saran Winna. Rio dan Ita hanya mengangguk mengiakan meski sejatinya mereka tetap tidak bisa tenang berada di antara tamu-tamu yang ada. Terlebih Diandra.
"Kamu tahu, Win. Ini sangat berlebihan untuk sebuah peresmian sebuah kerjasama film pendek. Studio animasi kita, kan, belum terkenal." Diandra memberi komentar sembari membenarkan letak kacamatanya.
"Ah, Whateverlah, Di. Ini maunya produser. Sekalian mengundang rekan-rekan bisnisnya yang lain. Yang penting kerjasama kita bisa berjalan lancar," jawab Winna tak acuh. Ia kemudian membaur dengan tamu yang lain. Menikmati hidangan serta hiburan yang ada.
Rio dan Ita yang tadinya tak nyaman akhirnya mengikuti tindakan bosnya itu.
Diandra sendiri bergeming di tempatnya. Ia hanya mengamati lalu lalang para tamu yang memang tidak terlihat selevel dengannya. Para tamu pria memakai tuksedo dan tamu wanita memakai gaun. Mereka tampak elegan. Berbeda dengannya yang hanya memakai celana jeans dan blus putih berbalut vest warna khaki.
Ia tak terlalu memusingkan dress code. Setidaknya bukan ia sendiri yang menjadi makhluk asing disana. Rio dan Ita jelas termasuk kelompoknya.
Perhatian Diandra tertuju pada sebuah meja yang cukup ramai. Ada cukup banyak wanita di sana, mengerumuni seorang pria saja. Ia tak bisa melihat dengan jelas wajah-wajah mereka. Namun, pemandangan itu membuatnya yakin siapa laki-laki yang tengah berada di sana. Mungkin salah satu orang yang berpengaruh di acara tersebut.
"Sendirian?" tanya sebuah suara. Suara laki-laki. Diandra menoleh dan mendapati seorang laki-laki muda dengan penampilan casual berdiri di sampingnya. Tersenyum lebar ke arahnya.
"Maaf?" Diandra memastikan bahwa memang dirinyalah yang tengah diajak bicara.
"Ya, kamu. Sendirian? Karena penampilanmu berbeda dengan tamu lainnya. Menarik," ujar laki-laki itu.
Entah kata menarik itu berarti apa. Cantikkah? Atau justru aneh? Yang jelas laki-laki yang mengucapkannya pun harus bercermin dan melihat jika dirinya tak jauh beda dengan Diandra. Mereka sama-sama memakai baju yang tak sesuai dengan dress code. Sama-sama seperti makhluk asing yang terdampar.
"Maksudku cantik," ralat laki-laki itu cepat. Seolah bisa membaca isi pikiran Diandra. Hal itu justru menimbulkan kecurigaan. Kenapa juga ia tiba-tiba muncul dan memuji Diandra? Jika bukan karena ia seorang playboy, pastilah karena ini modus lain untuk penipuan.
Bukankah penampilannya juga tak sama dengan tamu yang lain? Bisa jadi laki-laki itu adalah tamu gadungan. Penyusup.
Diandra tak mengatakan apa pun. Berusaha untuk tak menanggapi. Namun, laki-laki itu berusaha menarik perhatiannya dengan mengulurkan tangan.
"Bayu," ujarnya. Tersenyum memamerkan deretan giginya yang putih.
Jadi ini modus untuk berkenalan, batin Diandra. Tentunya ia bukan gadis ingusan bodoh yang akan begitu saja tertarik untuk berkenalan. Laki-laki bernama Bayu itu memang cukup rupawan. Secara garis besar bisa dibilang penampilannya menarik. Sayangnya Diandra tidak akan berubah menjadi gadis remaja centil hanya karena hal itu.
"Di, ayo aku kenalkan kamu dengan sutradara film ini." Winna yang tadinya tengah menyantap makanan tahu-tahu sudah ada di samping Diandra. Winna mengajaknya menuju seorang laki-laki seumuran yang tengah berbincang dengan Rio dan Ita. Tindakan Winna menyelamatkan Diandra untuk tak membalas uluran tangan Bayu. Membuatnya bisa bernapas lega. Namun, ia bisa melihat Bayu tersenyum padanya saat ia tanpa sengaja menoleh.
Diandra tak mengacuhkan Bayu dan terus mengikuti arah yang dituju Winna. Kali ini sosok sang sutradara yang membuatnya penasaran dan akhirnya terkejut.
Langkah Diandra terhenti beberapa meter dari laki-laki itu. Ia mengenalnya.
Tidak. Diandra tidak mengenalnya. Ia hanya tahu siapa laki-laki itu sembari berusaha mengesampingkan semua kemungkinan dan terus berjalan mendekat.
"Hai, Win," sapa laki-laki itu. Ia tersenyum ramah pada Winna, lalu berganti melihat Diandra. Ada sedikit ekspresi terkejut dari raut wajahnya, namun tak bertahan lama. "Diandra?"
"Kalian saling kenal?" tanya Winna heran.
"Tidak juga. Kami dulu satu sekolah saat SMU. Kami tidak pernah sekelas, tapi ,ya, aku tahu tentang Diandra." Andro, laki-laki itu, memberikan jawaban. Andro, sahabat dari laki-laki yang tidak ingin Diandra temui.
"Oh, begitu rupanya. Di, Andro ini sutradara hebat yang aku ceritakan padamu. Sebenarnya dia ini sepupuku juga, tapi jangan bilang-bilang, ya, nanti dikira film ini ada unsur nepotisme. Andro terpilih karena dia memang mampu, kok," cerita Winna panjang lebar.
"Tentu saja. Itu sudah tertulis hitam di atas putih, Win. Lagipula ini pertama kalinya aku mengambil film animasi. Pasti akan menyenangkan." Andro tersenyum. Namun, sudut matanya mengamati gerak-gerik Diandra. Tampak jelas gadis itu tidak nyaman berada lebih lama di sana. Padahal ia bahkan belum mendapatkan bagian terbaiknya. "Oh, ya, aku rasa kalian juga harus mengenal produser kita. Dia pasti senang bertemu kalian."
Tanpa menunggu jawaban, Andro beralih tempat menuju meja yang tadi sempat menarik perhatian Diandra. Meja berisi seorang laki-laki yang dikerumuni banyak wanita.
"Senangnya. Aku dengar produser kita itu ganteng banget," celetuk Ita.
"Iya, aku pernah melihatnya di majalah," timpal Winna.
Diandra tidak ikut bersuara. Entah mengapa perasaannya mendadak tidak nyaman. Ia berfirasat buruk, tetapi ia tidak bisa berpikir untuk mencari alasan menghindari pertemuan tersebut.
***
Tak lama kemudian Andro melambaikan tangan pada Winna dan kelompoknya. Memberi tanda agar mereka ikut bergabung di meja tersebut. Semuanya bersemangat, kecuali Diandra. Ia lebih berharap bisa menghilang dari sana.
Sayangnya seringkali harapan tak sesuai dengan kenyataan. Status Diandra sebagai anak buah Winna mengharuskannya untuk mengikuti langkah kaki bosnya itu. Mendekat ke arah meja yang ditempati Andro. Menyibak kumpulan para wanita yang terpaksa harus menyingkir karena kedatangan mereka.
"Selamat malam. Senang bertemu dengan kalian. Saya Galung Putra Wicaksono."
Tak perlu melihat wajahnya. Nama dan suaranya adalah bukti yang jelas tentang sosok sang produser. Dan fakta itu membekukan tubuh Diandra. Berbeda dengan teman-temannya yang justru bersemangat dengan pertemuan itu.
Winna begitu bersemangat memperkenalkan dirinya pada Galung. Begitupun Ita dan Rio. Perkenalan itu tampak menarik sampai tiba pada giliran Diandra.
Galung. Masih penuh pesona seperti dulu. Tampan dan berkharisma. Akan tetapi, tatapannya pada Diandra begitu menusuk. Seolah hati Diandra berdarah karena tatapan tersebut. Tatapan dari pria yang pernah mencintainya dan ia cintai, tetapi keadaan yang menawan mereka sekarang justru tak bisa mendapatkan sebutan apa pun. Mereka orang asing.
"Diandra." Dengan suara pelan Diandra mengenalkan dirinya. Tak berharap mendapatkan tanggapan yang baik. Mengingat perpisahan mereka juga bukanlah hal yang baik.
Seperti dugaannya, Galung tak mengatakan apa pun. Diandra layaknya pelengkap yang tak perlu dihiraukan. Tak tahu pasti dengan perasaannya, sedih atau lega, Diandra hanya bisa bersikap sebagaimana mestinya. Tetap berada di sana meski dianggap tak tampak.
"Pak Galung, pesta ini meriah sekali. Saya sungguh takjub karena peresmian kerjasama kita yang tidak seberapa itu dihargai sebaik ini," ujar Winna memulai percakapan.
Galung tersenyum. Pujian bukanlah hal yang asing untuknya.
"Tentu saja. Kerjasama sekecil apa pun, tetap memerlukan penghargaan yang layak. Saya tidak suka meremehkan rekan kerja saya. Seperti perasaan, bisnis juga sensitif. Jika ingin bertahan lama, kita harus bisa saling menghargai, bukan?"
Kalimat itu terdengar sebagai sindiran tajam untuk Diandra. Ia memasang telinganya setebal mungkin. Bersiap mendengarkan sindiran terburuk sekali pun. Toh, ia sadar, Galung pasti sangat membencinya.
"Hai, Galung. Ternyata kamu ada di sini. Aku kangen banget sama kamu." Seorang wanita cantik dengan penampilan bak model tiba-tiba datang ke meja mereka. Tindakannya sontak membuat suasana menjadi tidak nyaman. Karena tanpa sungkan wanita itu merangkul lengan Galung dengan manja. Bahkan bermaksud menciumnya, kalau saja Galung tidak mencegahnya.
Diandra dan teman-temannya merasa tidak nyaman. Pertemuan yang membahas pekerjaan tentu tak bisa diselingi dengan adegan mesra apa pun. Sangat tidak profesional. Akan tetapi, si wanita tampak tak ambil pusing sehingga Galung terpaksa undur diri untuk bisa membawanya pergi.
"Aduh, siapa sih wanita itu? Cantik, sih, cantik, tapi, kok, ya, nggak bisa lihat situasi begitu," keluh Ita seperginya Galung dan wanitanya.
Winna dan Rio hendak ikut berkomentar, namun beruntung mereka ingat jika masih ada Andro di sana.
"Model pendatang baru. Namanya Janet. Kami sudah cukup lama mengenalnya. Boleh dibilang dia tergila-gila pada Galung. Tapi, wanita mana yang tidak tergila-gila padanya. Iya, kan?" Andro balas berkomentar.
Ita, Rio dan Winna hanya tersenyum mengiakan. Sementara Diandra justru tak mendengarkan. Pandangannya teralih pada Galung dan wanita tadi. Otaknya dengan jelas melarang hal itu, tetapi ia tak bisa melawan hatinya.
Diandra masih memikirkan Galung.
***
Mulai bab ini, rentang waktunya berubah. Para tokoh sudah memasuki dunia kerja. Buat para pembaca, silakan tinggalkan kritik dan saran jika ada setting atau apa pun yang sekiranya kurang tepat. Kebetulan saya tidak banyak melakukan riset sehingga sangat memungkinkan terjadi kesalahan. Tetapi, semoga cerita ini tetap dapat dinikmati. Terima kasih.
Salam Baca 😉
SukiGaHana
14022018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top