BAB XI
Di atas bumi yang sama, kita berpijak di antara ragu. Di bawah naungan langit yang sama, kita saling merindu.
🍃🍃🍃
Diandra menempatkan bunga Lili pemberian Galung dalam sebuah vas kaca bening lalu meletakkannya di meja belajar. Sesekali ia memandangi bunga-bunga tersebut lalu senyum-senyum sendiri tanpa sebab. Semua kegiatannya bersama Galung hari ini membuatnya tak bisa berpikir tentang kesedihan. Hatinya hanya ingin berbahagia.
"Sejak kapan kamu jadi gila gitu, Di? Senyum-senyum sendiri sama bunga. Eh, tapi sejak kapan kamu suka beli bunga? Aku jadi curiga, deh," tanya Miko yang memiliki kebiasaan sama seperti adiknya, Anjani. Mereka tak pernah mengetuk pintu setiap kali masuk ke kamar Diandra.
"Kak Miko. Apaan, sih? Bisa, nggak, kebiasaan main nyelonong ke kamar orang dihilangin?" protes Diandra.
"Ya, bisa aja, sih. Tapi tergantung situasi dan kondisi."
"Alasan macam apa itu? Bisa, ya, bisa, nggak pakai nyalahin situasi dan kondisi."
Miko tertawa lebar, lalu mengambil setangkai bunga Lili dari vas milik Diandra. Ia tidak peduli meski adiknya itu mengomel karena tindakannya.
"Bunga ini bagus. Vita juga suka sama bunga ini. Kalau nggak salah ini berarti cinta yang tulus," ujar Miko menyebut nama kekasihnya. "Dan, ini membuat aku bertanya-tanya, siapa yang memberimu bunga ini?"
"Mau tahu aja," jawab Diandra cuek.
"Tapi kamu beneran punya cowok? Bukan cuma khayalan kamu aja?"
"Ya iyalah, cowok beneran, Kak. Yang cakep, baik dan romantis."
"Bagus deh. Berarti kebahagiaan kita lengkap sudah. Aku nggak perlu repot lagi jagain kalian berdua. Kamu udah punya cowok yang terdengar super baik itu. Dan, Anjani juga udah mau tunangan sama calon pilihan Mama yang katanya juga super tampan."
"Apa? Anjani mau tunangan? Yang bener, Kak? Dia nggak pernah cerita sama aku."
"Gimana mau cerita kalau kamu sibuk dengan cowok kamu."
"Ah, enggak, kok. Aku masih punya waktu buat curhat-curhat. Malah Anjani yang belakangan jarang beredar di pandanganku. Dia selalu asyik dengan teman-teman sekelasnya."
Miko hanya tertawa lebar, menampakkan deretan giginya yang indah bak model iklan pasta gigi. Namun, kakak sepupu Diandra itu memang punya wajah yang menarik, terlepas dari penampilannya yang sedikit geeky.
"Tapi cowok kamu itu beneran baik, kan?"
"Ya, iyalah. Dia baik banget malah. Kalau nggak baik, mana mau dia sama adik Kak Miko yang paling jelek ini."
"Bagus deh. Soalnya biar kata jelek, aku nggak mau sampai ada yang nyakitin kamu."
"Iya, makasih buat kekhawatirannya."
"Tapi, serius, ingetin cowok kamu. Dia bakal berurusan sama Miko kalau sampai bikin Diandra nangis."
Diandra tertawa mendengar ocehan Miko, namun tetap mengangguk mengiyakan. Dengan cara apa pun Miko atau Anjani mengatakan suatu hal padanya, Diandra selalu yakin bahwa ada rasa sayang yang menyertai.
***
Galung duduk menghadap sebuah meja makan, sendirian. Ayahnya masih sibuk menelepon di salah satu sudut restoran. Tamu istimewa yang akan mereka temui belum menampakkan diri. Sembari menunggu, ia hanya bisa memainkan jemarinya di atas meja. Sesekali ia menebarkan pandang mengamati restoran.
Restoran mewah itu adalah tempat favorit ibu Galung dulu. Ia ingat pernah makan di sana beberapa kali saat masih kecil.
"Sebentar lagi mereka datang," ujar ayah Galung yang sudah kembali. Beliau duduk di sebelah Galung, dan dengan cepat menangkap rasa bosan di wajah putranya. "Kamu tidak suka dengan acara ini?"
"Tidak juga. Aku hanya merindukan ibu. Tempat ini mengingatkanku pada ibu."
Pak Puguh terdiam. Sebenarnya beliau juga merasakan hal yang sama. Tiap inchi dari restoran itu mengingatkannya pada mendiang sang istri. Namun, beliau sendiri memang tak pernah lupa. Hatinya masih dipenuhi semua kenangan tentang ibu Galung.
"Oh, ya. Ayah dengar putri Pak Dimas satu sekolah denganmu." Tak ingin larut dalam kenangan sedih, beliau memilih mengalihkan topik pembicaraan.
"Anjani. Ya, dia siswa kelas sebelah. Tapi aku tidak begitu mengenalnya."
"Benarkah? Padahal Bu Olla cerita kalian dekat."
"Ah, aku rasa mamanya hanya berkhayal, Yah. Aku sama sekali tidak dekat dengan putrinya. Aku hanya mencoba bersikap baik padanya karena dia anak relasi bisnis Ayah."
Percakapan singkat tersebut terhenti dengan kedatangan tamu yang mereka tunggu. Anjani bersama kedua orang tuanya tiba dengan wajah berseri-seri. Bahkan penampilan gadis itu seperti tengah bersiap menghadapi sebuah pertemuan penting. Padahal ini hanya makan malam biasa.
"Maaf, Pak Puguh. Sudah lama menunggu, ya," ujar Pak Dimas basa-basi.
"Ah, tidak. Kami juga belum lama di sini. Silakan duduk."
Galung sama sekali tidak menunjukkan sikap ramah seperti ayahnya. Entah mengapa ia merasa tidak nyaman melihat Anjani terus mencuri pandang padanya. Bahkan senyuman gadis itu terlihat aneh. Namun, Galung memilih diam, tak ingin merusak acara sang ayah.
Setelah beberapa saat berbasa-basi, mereka akhirnya memesan makanan. Anjani yang sengaja duduk di samping Galung kembali menunjukkan sikap yang sedikit berlebihan. Ia mendahului Galung melakukan semua hal. Terkesan bermaksud melayaninya. Dan itu sangat risi untuk Galung.
"Oh, ya, Pak Dimas. Bagaimana dengan rencana pembangunan resort di pulau Bali itu? Apa kita sudah menemukan lokasi yang cocok?" Pak Puguh memulai percakapan bisnis mereka. Selalu begitu. Makan malam atau acara apa pun tak akan pernah lepas dari tujuan utama terjalinnya hubungan mereka. Bisnis.
Ayah Anjani bersiap menjawab ketika tanpa diduga istrinya dengan cepat memotong.
"Itu bisa diatur Pak Puguh. Sebenarnya ada hal lebih penting yang ingin kami bicarakan saat ini."
"Oh, ya. Apa itu, Bu Olla? Apakah ada masalah dengan rencana kerjasama bisnis kita?"
"Oh, tidak. Ini bukan tentang kerjasama bisnis. Ini tentang anak-anak kita."
Tatapan Galung secepat kilat beralih pada mamanya Anjani. Ia tidak suka kalimat itu. 'anak-anak kita'. Itu terdengar seperti sebuah hal rumit yang akan melibatkan dirinya.
"Maaf. Saya kurang paham dengan maksud Anda."
Ayah Anjani kembali bermaksud menjawab. Namun, lagi-lagi istrinya melakukan hal yang sama. Tindakannya membuat Galung punya cukup alasan untuk tidak suka pada wanita tersebut.
"Anak-anak kita. Anjani dan Galung. Mereka, kan, sebaya, satu sekolah dan juga cukup dekat. Saya bermaksud mempererat hubungan kita lebih dari sekedar relasi bisnis. Mungkin kita bisa mendekatkan mereka dalam ikatan pertunangan."
Galung yang tengah minum seketika tersedak. Tante-tante itu sepertinya sedang berkhayal sehingga seenaknya saja mengatakan hal tersebut. Namun, melihat senyum malu-malu Anjani, Galung yakin jika khayalan wanita itu hampir mendekati kenyataan.
"Maaf, Tante. Saya sudah memiliki pasangan. Jadi sebaiknya Tante carikan laki-laki lain saja untuk ditunangkan dengan Anjani," tukas Galung cepat. Ia sama sekali tak ingin berbasa-basi. "Dan, maaf juga saya tidak bisa berlama-lama di sini untuk mendengarkan Tante meyakinkan saya. Saya harus pergi."
Tanpa menunggu persetujuan siapa pun Galung bangkit dari duduknya dan beranjak pergi. Ia muak dengan acara makan malam tersebut. Mendadak ia benci dengan Anjani. Gadis itu ternyata sama saja dengan gadis lain. Ia berusaha mendekati Galung dengan berbagai cara. Bahkan ia lebih buruk karena menggunakan kekuasaan orang tuanya untuk mewujudkan hal itu.
***
Pukul sepuluh malam. Suasana rumah telah hening. Anjani dan kedua orang tuanya belum pulang dari acara makan malam mereka. Sementara Miko sudah terlelap di kamarnya. Ia kelelahan setelah menemani Vita mengikuti acara baksos di pinggir kota.
Namun, Diandra masih terjaga. Ia tengah membaca buku ketujuh serial Little House karya Laura Ingalls, A Long Winter. Diandra sengaja membacanya kembali, karena buku-buku itu belum ia kembalikan pada Galung. Ia masih ingin membaca ulang cerita tersebut. Sekaligus mengisi kesendiriannya.
Dering ponsel Diandra memecah keheningan. Nama Galung tertera di layar ponsel, membuatnya sedikit terkejut. Tidak biasanya kekasihnya itu menelepon malam-malam. Karena ia tahu Diandra seringkali sudah tidur pada pukul sembilan malam.
"Apa aku menganggu tidurmu?" Suara Galung terdengar gusar. Dan, itu membuat Diandra khawatir.
"Aku belum tidur. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Diandra yang ingat bahwa malam ini Galung berencana makan malam bersama ayahnya. Mendadak kemungkinan buruk terlintas di kepalanya. Ia takut Galung dan ayahnya kembali terlibat pertengkaran.
"Selalu lebih baik ketika bisa mendengarmu," jawab Galung. Ia selalu tidak pernah sungkan mengatakan perasaannya. Tindakan Galung yang ekspresif itu membuat Diandra semakin bertambah menyukainya. "Tapi, aku ingin sekali melihatmu. Meski aku tahu itu tidak mungkin."
"Kamu mengalami malam yang buruk bersama ayahmu?" tanya Diandra hati-hati.
"Tidak juga. Makan malam kami menyenangkan. Aku hanya merindukanmu."
Kalimat Galung seperti sebuah pelukan untuk Diandra, menghangatkan hati. Meski sejatinya Galunglah yang lebih membutuhkan perhatian semacam itu.
"Apa yang bisa aku lakukan untuk mengobati rindumu itu? Katakan saja."
Hening beberapa saat sampai akhirnya Galung mengeluarkan suara. "Tidak ada. Ya sudah, tidurlah. Kamu harus istirahat. Sampai jumpa besok." Tak disangka ia justru mengakhiri pembicaraan. Diandra heran, tetapi hanya mampu mengiyakan.
"Kamu juga, Lung."
"Iya. Jangan khawatirkan aku. Yang penting, mimpikan aku, ya." Suara Galung terdengar sekali lagi sebelum percakapan itu benar-benar berakhir.
***
Hallo! Mulai minggu ini jadwal update Angin Padang Rumput setiap Rabu dan Sabtu, ya.
Boleh banget ninggalin krisar atau vomen. Saya terbuka untuk masukan positif karena saya juga dalam proses belajar.
Salam Baca 😉
31012018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top